Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa terlepas dari keberadaan tumbuhan dan satwa bahkan senantiasa menyertai kehidupan umat manusia. Dalam rantai makanan (perjalanan makan dan dimakan), tumbuhan bertindak sebagai produksen, yang mengubah energi matahari menjadi energi kimia berupa bahan makanan yang dibutuhkan oleh konsumen (satwa). Satwa sebagai kosumen memiliki tingkatan-tingkat dari konsumen I sampai pada top predator, yang akan mati dengan sendirinya dan diuraikan oleh zasat renik (bakteri dan mikrobia). Yang menjadi dimana keberadaan manusia dalam rantai makanan tersebut?
Dalam rantai makanan tersebut manusia tentunya bertindak sebagai konsumen. Namun tingkatan konsumen yang mana? Konsumen tingkat pertama, tingkat II, tingkat III atau top prodrator? Manusia manjadi makhluk yang sangat unik dan menarik, karena dia berada dalam semua tikatan konsumen mulai tingkat I, tingkat II sampai menjadi top prodrator. Manusia membutuhkan semua baik tumbuhan produksen maupun hewan sebagai konsumen pada semua tingkatannya. Kebutuhan manusia terhadap tumbuhan dan satwa tidak sebatas sebagai sumber energi (makanan) tetapi sangat luas meliputi semua sisi kehidupannya baik pangan, sandang maupun untuk tempat tinggal, bahkan belakangan juga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier seperti rekreasi, menjaga kehormatan dll.
Pemakaian tumbuhan dan satwa untuk memenuhi kebutuhan manusia sering disebut sebagai upaya pemanfaatan tumbuhan dan satwa. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 8 tahun 1999, pemanfaatan tumbuhan dan satwa diartikan penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan Untuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa yang bijaksana, lestari dan berkesinambungan pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa dan PP Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar yang telah dijabarkan dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan Atau Penangkapan Dan Peredaran Tumbuhan Dan Satwa Liar. Tulisan singkat ini akan menguraikan prosedur pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar (TSL) dalam negeri sesuai beberapa peraturan tersebut.
Bentuk-Bentuk Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa
Berdasarkan PP nomor 8 tahun 1999, bentuk-bentuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa adalah sebagai berikut: a. Pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. Penangkaran; c. Perburuan; d. Perdagangan; e. Peragaan; f. Pertukaran; g. Budidaya tanaman obat-obatan; dan h. Pemeliharaan untuk kesenangan.
Bentuk-bentuk pemanfaatan tersebut berlaku untuk semua jenis tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi, dan tidak semua berlaku untuk jenis tumbuhan dan satwa yang telah dilindungi. Hal ini mengingat ada beberapa jenis tumbuhan dan satwa yang telah ditetapkan sebagai jenis-jenis dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Secara nasional jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi tercantum dalam lampiran PP nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, sedangkan secara internasional masuk dalam daftar merah IUCN atau masuk dalam daftar appendiks I CITES. Untuk jenis-jenis yang dilindungi pemanfaatannya bersifat khusus dan harus mendapat ijin dari menteri, bahkan kepala nagara.
Gambar 1 : Bagan Bentuk-bentuk Pemanfaatan TSL
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dapat bersifat komersial maupun non komersial dan dapat dilakukan oleh perorangan dan atau lembaga yang telah memiliki badan hukum. Adapun asal spesimen tumbuhan dan satwa dapat berasal dari Habitat alam atau Hasil Penangkaran berupa hasil pengembangbiakan satwa (captive breeding), pembesaran satwa (ranching), perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propagation). Khusus untuk pemanfaatan langsung dari alam, lokasi pengambilan atau penangkapannya harus di luar kawasan konservasi dan dalam jumlah yang sesuai dengan kouta yang telah ditetapkan.
Mekanisme Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa dari alam didasarkan atas kota pemanfaatan yang setiap tahun ditetapkan oleh Direktur Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai otoritas pengelola (Management Authority) atas pertimbangan LIPI sebagai otoritas keilmuan (Scientific Authority). Untuk mengawasi peredaran pemanfaatan tumbuhan dan satwa agar sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan, maka pemerintah telah menetapkan mekanismenya yang tercantum dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan Atau Penangkapan Dan Peredaran Tumbuhan Dan Satwa Liar.
Dalam SK Menteri Kehutanan tersebut pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dibedakan menjadi pemanfaatan non komersial (meliputi kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan, peragaan non-komersial, pertukaran, perburuan dan pemeliharaan untuk kesenangan) dan komersial meliputi kegiatan penangkaran, perdagangan, peragaan komersial dan budidaya tanaman obat (pasal 24). Dalam rangka pemanfaatan tumbuhan dan satwa tersebut maka perlu dilakukan pengambilan dan penangkapan dan peredaran spesimen tumbuhan dan satwa liar baik untuk kepentingan non komersial maupun komersial. Pemanfaatan untuk non komersial dapat dilakukan oleh:Perorangan, Lembaga konservasi, Lembaga penelitian, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (Organisasi Non-Pemerintah), sementara untuk pemanfaatan komersial dapat dilakukan oleh Perusahaan perorangan, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah; atau Badan Usaha Milik Swasta.
Gambar 2. Prosedur izin Pengambilan dan Penangkapan TSL
A. Prosedur izin pengambilan dan penangkapan TSL
Untuk dapat melakukan pengambilan dan penangkapan TSL baik secara perorangan atau kelompok harus mengajukan permohonan kepada Kepala Balai Besar KSDA Papua Barat. Permohonan ini memuat keterangan jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran, wilayah pengambilan, deskripsi rinci tujuan pengambilan dan penangkapan. Setelah menerima permohonan Kepala Balai Besar KSDA akan menelaah dan menilai serta melakukan pemeriksaan silang dengan ketersediaan spesimen dalam kuota dan lokasi pengambilan atau penangkapan. Jika hasil telaahan menyatakan ditolak maka Kepala Balai Besar mengirim surat balasan kepada pemohon yang isinya penolakan permohonan dan jika permohonan diterima maka akan dikeluarkan Surat Izin Pengambilan dan Penangkapan TSL oleh Kepala Balai Besar yang berlaku selama 1 tahun.
B. Prosedur izin pengedar TSL dalam negeri
Peredaran TSL dibedakan menjadi pengedaran non komersial dan komersial, serta peredaran dalam negeri dan pengedaran luar negeri (dalam tulisan ini hanya sajikan peredaran TSL dalam negeri saja). Peredaran non-komersial dalam negeri spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar merupakan kegiatan mengedarkan tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri dengan tujuan untuk tidak memperoleh keuntungan ekonomis baik dalam bentuk uang maupun barang. Yang termasuk kegiatan peredaran non komersial dalam negeri antara lain :
- Mengedarkan spesimen dengan tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan dengan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar sebagai obyek penelitian, termasuk material koleksi herbarium atau museum;
- Mengedarkan spesimen dengan tujuan pemeliharaan untuk kesenangan, termasuk membawa spesimen barang bawaan pribadi (household effects), jarah buru (hunting trophy) dan cinderamata (souvenir);
- Mengedarkan spesimen dengan tujuan tukar menukar antar Lembaga Konservasi;
- Mengedarkan spesimen dengan tujuan pengembangbiakan.
Gambar 3. Prosedur izin Peredaran TSL Dalam Negeri
C. Prosedur peredaran TSL dalam negeri
Untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan tumbuhan dan satwa, maka setiap tumbuhan alam dan satwa liar yang diangkut keluar daerah (provinsi) atau keluar wilayah kerja suatu Balai / Balai Besar KSDA harus dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SAT-DN). Hal berlaku untuk pemanfaatan non komersial dan komersial. Untuk pemanfaatan non komersial, spesimen yang diperkenankan untuk diangkut keluar wilayah kerja suatu Balai KSDA jumlah dibatasi sebagai berikut:
- Tumbuhan hidup selain anggrek sebanyak 2 batang;
- Satwa hidup sebanyak 2 ekor;
- Kulit satwa atau produk dari kulit satwa liar sebanyak 5 lembar kulit atau 10 buah (pasang) produk kulit, seperti dompet, ikat pinggang, sepatu, tas tangan dan sarung tangan;
- Gaharu sebanyak 2 kg;
- Pakis sebanyak 10 kg;
- Produk berupa minyak, obat-obatan, dan lain-lain produk, sesuai dengan kebutuhan pribadi;
- Anggrek sebanyak 10 batang.
Sementara untuk pemanfaatan komersial jumlah spesimen yang dapat diizinkan diangkut maksimal sebanyak kuota yang telah diberikan kepada masing-masing pemohon. Jika kuota sudah habis maka izin SAT-DN tidak dapat diterbitkan lagi. Penerbitan SATS-DN dapat dilakukan setelah dapat ditunjukkan atau dibuktikan adanya:
- Izin Pengedar Dalam Negeri tumbuhan dan satwa liar;
- Izin terkait dengan legalitas asal usul spesimen; dan
- laporan mutasi stok tumbuhan dan satwa liar.
Adapun prosedur pengurusan SAT-DN untuk pemanfaatan komersial dan non komersial sama. Pemohon mengajukan permohonan kepada Kepala Balai Besar/ Kepala Bidang KSDA Wilayah, kemudian Balai Besar/Bidang KSDA Wilayah melakukan pemeriksaan kesesuaian spesiemen yang anggkut dengan surat permohonan (jenis, jumlah/berat) dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Berdasarkan surat permohonan dan BAP tersebut kemudian kepala Balai Besar atau Kepala Bidang KSDA Wilayah menerbitkan SAT-DN. SAT-DN berlaku maksimal untuk jangka waktu 2 bulan.
Gambar 4. Prosedur Izin Surat Angkut TSL Dalam Negeri
Realisasi Pemanfaatan TSL di Papua Barat
Seperti yang telah diketahui secara umum, bahwa Papua merupakan bioregeon yang sangat kanya akan sumber daya alam hayati baik dalam populasi maupun jumlah jenisnya. Kekayaan keanekaragaman hayati ini setidaknya tercermin pada banyaknya kuota jumlah individu dan jenis TSL yang boleh dimanfaatan dalam setiap tahun. Bahkan diantara jenis-jenis yang dimanfaatkan tersebut terdapat jenis yang secara nasional telah dilindungi, namun secara lokal (khusus Papua) dinyatakan sebagai jenis yang boleh diburu (satwa buru), seperti lola merah dan buaya.
Dalam 3 tahun terakhir (2006-2008) kouta TSL Papua Barat yang dapat dimanfaatkan mencapai 217.709,33 ekor satwa (reptil 108.958,33 ekor, aves 3.523,33 ekor, insecta 35.009,33 ekor, ikan napoleon 1.250 ekor, mamalia 7.968,33 dan ampibi 61.000 ekor) dan 65.000 kg (gaharu 31.666,67 kg dan lola merah 33.333,33 kg). Dari jumlah kuota tersebut ternyata selama 3 tahun terakhir realisasinya dapat dikategorikan rendah, dengan rata realisasi sebesar 39,95 %. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan rendahnya realisasi kuota pemanfaatan TSL ini antara lain:
- rendahnya kinerja perusahaan;
- menurunnya jumlah populasi dari jenis-jenis yang terdapat dalam kuota;
- faktor pasar.
Tabel 1. Rata-rata kuota dan realisasi kuota TSL di Papua Barat dalam 3 tahun terakhir (2006-2008)
Sesuai dengan peraturan, maka setiap izin pemanfaatan (pengambilan dan penangkapan) TSL langsung dari alam dikenakan pungutan. Pengutan ini berupa Penerimaan Nagara Bukan Pajak (PNBP), yang besar 6 % dari harga pasar dari setiap jenis (telah ditetapkan daftar patokan harga pasar TSL) oleh menteri perdagangan. Sesuai dengan peraturan tersebut perolehan PNBP dari pemanfaatan TSL pada Balai Besar KSDA Papua dalam 3 tahun terakhir mengalami fluktuasi. Namun pada tahun 2008 mengalami kenaikan yang pesat jika dibanding dengan penerimaan PNBP pada tahun 2006 dan 2007, sebagaimana disajikan pada gambar 5.
Dalam realita lapangan kita sering menjumpai praktek pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik untuk pemanfaatan TSL komersial maupun non komersial. Beberapa realita lapangan yang sering dijumpai antara lain:
- Beredaran jenis-jenis TSL yang dilindungi di rumah-rumah dan di pasar, yang diperdagangkan secara komersial dan non komersial untuk kesenangan;
- Tidak disertainya spesimen TSL yang dikirim keluar wilayah suatu KSDA dengan SAT-DN;
- Pengajuan permohonan SAT-DN dalam waktu yang sangat singkat/mendekati waktu keberangkatan pemohon;
- Pengangkutan spesimen TSL yang tidak sesuai dengan dukumen angkut (SAT-DN) baik dalam jumlah (ekor atau kg) maupun jenis TSL yang diangkut.
Gambar 5. Grafik Penerimaan PNBP BBKSDA Papua Barat Tahun 2006, 2007 dan 2008
Empat realita dalam pemanfaatn TSL tersebut setidaknya mewakili dari kasus-kasus yang pelanggaran yang sering terjadi. Dan hal ini merupakan sebuah tantangan yang hendaknya ddicari jalan keluar, agar pemanfaatan TSL benar-benar terkendali dan lestari. Tidak perlu saling menyalahkan, tapi hendaknya semua lapisan masyarakat ikut bertanggung jawab atas pengendalian dan pengawasan dalam pemanfaatan TSL. Karena memang ini merupakan tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan jangka panjang bersama.
Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut
Cukup komplex
BalasHapusPulau komodo direncanakan akan akan tutup sementara untuk perlindungan habitat di sana
BalasHapus