Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Jumat, 24 Desember 2010

BEBAN KESEJAHTERAAN DALAM KAWASAN HUTAN (Edisi 2 2009)

Pengantar
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Nagara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kita tentu masih ingat penggalan kalimat pada pembukaan UUD 1945 di atas, karena itu merupakan salah satu tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesejahteraan didefinisikan sebagai hal atau keadaan sejehtera, keamanan, atau ketenteraman. Kesejahteraan berasal dari kata dasar 'sejahtera' yang artinya aman sentosa (bebas dari bahaya) dan makmur (serba kecukupan, tidak kekurangan). Secara nasional kemakmuran, diartikan kehidupan negara yang rakyatnya mendapat kebahagiaan jasmani dan rohani akibat terpenuhi kebutuhannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002). Hal ini mengisyaratkan bahwa suatu bangsa atau negara belum bisa dikatakan sejahtera secara sempurna, jika belum terpenuhi kebutuhan masyarakatnya secara rohani dan jasmani. Kita tidak akan merasa tenteram jika setiap saat kehidupan kita terancam oleh bencana alam, banjir, longsor, kebakaran dan kekeringan, atau bahkan bencana sosial seperti kebodohan, wabah penyakit, serta rusaknya moral, walaupun secara ekonomi kita mampu (punya).

Berdasar penjelasan di atas, maka kita dapat mengerti bahwa dimensi kesejahteraan sangat luas, yang mencakup deminsi fisik (jasmani) dan non fisik (psikis atau rohani). Hal tersebut yang ingin diwujudkan dalam Pembentukan Pemerintah Indonesia pada awal kemerdekaan, yang kemudian mendasari dan dijabarkan dalam setiap peraturan perundang-undangan yang lahir kemudian, serta menjadi tujuan/sasaran rencana pembangunan sejak masa pemerintahan orde lama, kemudian pemerintahan orde baru sampai sampai masa orde reformasi. Termasuk dalam hal ini adalah pembangunan sektor kehutanan.

Berangkat dari pengertian di atas, tulisan singkat ini ingin mengurai dimensi kesejahteraan yang tersimpan dalam kawasan hutan dan ingin diwujudkan dalam pembangunan sektor kehutanan, khususnya bidang konservasi sumber daya alam pada kawasan konservasi. 

Pembagian kawasan hutan
Dalam UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa berdasarkan fungsi pokoknya hutan dibedakan menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Berdasarkan UU Kehutanan tersebut, masing-masing fungsi hutan didefinisikan sebagai berikut:
  1. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
  2. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 
  3. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 
Sesuai dengan UU no 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang, berdasarkan fungsi utamannya penataan ruang Indonesia dibedakan dalam 2 kawasan utama, yaitu : 1) kawasan lindung, dan 2) kawasan budi daya. Berdasarkan UU Tata Ruang tersebut kawasan lindung didefinisikan sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budi daya, diartikan sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

Dalam penataan ruang nasional ini hutan lindung dan hutan konservasi masuk dalam katergori kawasan lindung sedang hutan produksi masuk dalam kategori kawasan budi daya. Hal ini tidak bertentangan dengan UU Kehutanan, tetapi merupakan penyederhanaan, karena memang fungsi lindung dangan fungsi konservasi sangat berkaitan bahkan terkadang keduanya tidak dapat dipisahkan. Dan kedua fungsi hutan tersebut secara nyata sangat berbeda dengan fungsi hutan produksi, yang penekanan utamanya pada fungsi ekosistem.

Hal ini sesuai dengan penjelasan UU Penataan Ruang, yang menjelaskan bahwa yang termasuk dalam kawasan lindungan adalah:
  • Kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;
  • Kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air; 
  • Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; 
  • Kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan
  • Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.
Adapun yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan.

Dimensi kesejahteraan dalam kawasan hutan
Sebagimana dijelaskan di muka, bahwa dimensi kesejahteraan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah sangat luas mencakup dimensi fisik (jasmani) dan dimensi psikis (rohani), demikian pula yang ingin diwujudkan dalam pembangunan sektor kehutanan. Di muka juga telah dijelaskan, bahwa dalam pengelolaan hutan, pemerintah telah membagi fungsi hutan menjadi hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Dalam pembagian fungsi hutan tersebut tersirat adanya pembagian dimensi kesejahteraan yang hendak diwujudkan pada masing-masing kawasan hutan. 

Dengan demikian maka penekanan pencapaian dimensi kesejahteraan pada hutan produksi berbeda dengan hutan lindung serta hutan konservasi. Secara garis besar pencapaian dimensi kesejahteraan tersebut dibedakan dalam 2 (dua) pembagian tata ruang, yaitu pada kawasan budi daya dan kawasan lindung. Pada kawasan budi daya penekanan demensi kesejahteraan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan fisik (ekonomi/finasial), sementara dalam kawasan lindung adalah kesejahteraan non fisik (psikis/rohani). Hal ini bukan berarti dalam kawasan budi daya tidak dituntut untuk ikut mewujudkan kesejahteraan non fisik, dan kawasan lindung tidak dibebani pencapaian kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, masing-masing kawasan dituntut untuk ikut mewujudkan setiap dimensi kesejahteraan, namun dalam porsi yang berbeda-beda sesuasi dengan fungsi pokoknya. 

Sebagai contoh pada hutan konservasi, selain sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, perlindungan sistem penyangga kehidupan ternyata juga dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan secara lestari yang dimaksud antara lain: pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, pengambilan plasma nutfah untuk menunjang kegiatan budi daya di luar kawasan hutan konservasi dll. 

Demikian pula pada kawasan hutan produksi, selain beban produktifitas kayu (kesejahteraan ekonomi), ternyata dalam pemanfaatannya terdapat rambu-rambu yang mencerminkan adanya beban kesejahteraan non fisik (psikis/rohani) dalam kawasan hutan produksi. Rambu-rambu tersebut antara lain; dalam pemanfaatan hutan produksi harus dilakukan berdasarkan rencana (karya tahunan, rencana lima tahun dan rencana pengusahaan), disyaratkan adanya daerah perlindungan plasma nutfah, tidak boleh menebang pohon yang berada di sepadan sungai/pantai, pada tebing yang terjal, tidak boleh dilakukan tebang habis dan lain sebagainya, yang intinya agar fungsi ekologi kawasan juga tetap berjalan secara optimal.

Keterkaitan fungsi hutan 
Menurut Drs. Trisnu Danisworo, MS., Kepala Balai Besar KSDA Papua Barat, keterkaitan antara pemanfaatan hutan dan tata ruang adalah dalam hal tujuan akhir untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan UU Tata Ruang hutan produksi masuk dalam kawasan budidaya, yang berarti pola pemanfaatannya lebih bertumpu pada produktifitas lahan untuk mendukung kepentingan ekonomi (kesejahteraan jasmani). Sedangkan hutan konservasi dan hutan lindung masuk dalam kawasan lindung yang berarti pola pemanfaatannya lebih mengedepankan pada aspek ekologi (kesejahteraan rohani), lihat bagan berikut :

Walaupun kawasan hutan dibedakan menurut fungsi pokok dan kedudukannya dalam penataan ruang nasional, namun sebenarnya antar kawasan hutan tersebut memiliki keterkaitan yang erat. Dari segi topografi biasanya kawasan lindung berada pada dataran tinggi sedangkan kawasan budi daya pada dataran rendah. Dalam fungsinya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan lindung akan berdampak pada kawasan budi daya yang secara topografi biasanya berada di bawah kawasan lindung. 

Contoh yang mudah dipahami dalam hal ini adalah fungsi ekologis hutan produksi, hutan lindung dan kawasan konservasi sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Sebagai daerah tangkapan air ketiga kawasan ini harus dikelola dan dimanfaatkan secara hati-hati. Kesalahan kecil saja dalam pengelolaannya akan berdampak besar terhadap kehidupan di daerah aliran sungai (DAS) di bawahnya. Dampak yang paling kecil, yang akan dirasakan adalah terjadinya erosi tanah pada daerah hulu dan sedimentasi pada daerah hilir, dan dampak paling besarnya adalah hilangnya kesejahteraan masyarakat karena defisit sumber daya alam. Hilangnya kesejahteraan masyarakat ini karena terganggunya sistem tata air pada daerah hulu (catchment area), yang berakibat pada menurunnya debit air pada saat musim kemarau dan meluapnya air sungai saat musim penghujan. 

Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar