Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Sabtu, 29 Januari 2011

1% Yang Menentukan Dalam Siklus Hidup Penyu (Edisi 6)


Penyu dewasa melakukan perkawinan pada perairan dangkal dekat pantai peneluran, atau habitat yang biasa untuk mencari makan (Carr 1954 cit. Witzell 1983; Zamani 1996 cit. Mulyono 2000). Penyu jantan akan terlihat dengan satu atau beberapa penyu betina pada masa kawin (Bustard 1972). Perkawinan biasanya dilakukan pada pagi hari atau saat matahari akan muncul. Perkawinan mereka terjadi di lepas pantai 1-2 bulan sebelum peneluran pertama pada musim tersebut. 

Saat kawin, penyu jantan berada di punggung penyu betina dengan jalan mencengkeram bahu betina dengan kuku yang terdapat pada flipper depan. Waktu yang dibutuhkan mulai bercumbu hingga selesai kopulasi kurang lebih 4-6 jam. Kopulasi dilakukan dengan pasangan yang berbeda-beda selama musim kawin. 

Penyu betina menyimpan sperma yang diperoleh dari beberapa jantan di dalam tubuh mereka untuk membuahi 3-7 kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7 sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut, dengan selang waktu 2 minggu. Hanya penyu betina yang akan naik ke pantai untuk bertelur. Biasanya waktu yang dipilih adalah malam hari karena suhu lebih dingin dan sedikit pemangsa. Penyu bertelur berkisar antara 75-195 butir telur, dengan kedalaman sarang 30-60 cm. Setelah meletakkan telurnya penyu menutup lubang sarang dengan pasir menggunakan sirip belakangnya, kemudian menimbun lubang badan dengan keempat siripnya dan kembali ke laut. Proses ini terjadi kurang lebih selama 1-2 jam. 

Seekor penyu jantan melakukan kopulasi dengan beberapa ekor betina, setelah melakukan kopulasi penyu jantan akan bermigrasi ke feeding ground.  Penyu betina melakukan aktivitas tidak jauh dari pantai peneluran. Beberapa minggu setelah kopulasi, penyu betina menuju daratan untuk bertelur. Setelah bertelur, penyu betina akan kembali kelaut (Nuitja 1992).

Limpus (1985) juga menjelaskan bahwa setelah telur penyu menetas, tukik akan keluar dari sarang dan bergerak menuju laut. Selanjutnya anak penyu/tukik akan berkelana, mula- mula di perairan dangkal dan kemudian ke laut bebas hingga tidak di ketahui lagi tempatnya. Para ahli menyebut sebagai  Tahun Yang Hilang ( The lost Year ) sampai dewasa kelamin dimana penyu akan datang lagi ke pantai peneluran.

Jika kita perhatikan daur hidup penyu di atas maka terlihat bahwa penyu betina akan naik ke darat selama 1-2 jam untuk bertelur, selebihnya hidup penyu dihabiskan di laut. Hidup penyu di darat tidak lebih dari 1 % dari hidupnya namun sangat menentukan bagi perbaikan populasinya di dunia. Oleh karena upaya perlindungan dan pelestarian habitat penyu merupakan upaya konservasi yang sangat berharga bagi keleastarian populasi penyu di dunia.

Oleh : Gusta Fitria Adi, S.Hut

Minggu, 02 Januari 2011

Konservasi & Pemekaran Wilayah (Edisi 6 2010)

Di Indonesia wacana pemekaran daerah/wilayah bergulir dengan kencang sejak masa reformasi tahun 1998 dan mungkin akan terus bergulir sampai pada batas ideal sebuah daerah untuk melakukan pembangunan. Secara umum wacana ini gencar disuarakan di Luar Jawa terutama di Indonesia Bagian Timur, yang selama ini seakan menjadi anak tiri dari pembangunan nasional. Sejak tahun 2000-an, wacana ini bergulir di Provinsi Papua Barat dan sampai sekarang telah melahirkan 9 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang terdiri dari 1 kota dan 8 kabupaten.

Daerah yang baru dibentuk, laksana bunga yang sedang mekar, nampak indah dan menarik bagi siapapun yang memandangnya. Demikian pula DOB menjadi perhatian semua kalangan baik dari pemda, politikus, pedagang/pebisnis sampai para pencari kerja. Hampir semua kalangan, tertarik terhadap DOB seringkali melihat dari sisi ekonominya, karena DOB menjajikan berjuta harapan.

Berawal dari sisi ekonomi inilah, sisi lain DOB sering terlupakan apalagi konservasi sumber daya alamnya. Bahkan untuk sisi yang satu ini dianggap suatu yang bertentangan dengan semangat DOB, bahwa konservasi akan menghalangi semangat pembangunan, menghambat perolehan PAD, menyempitkan ruang gerak dll. Semua kalangan terutama Pemda melihat konservasi sebagai sebuah momok yang harus disingkirkan. Haruskah demikian???

Sebenarnya konservasi merupakan sisi lain dari DOP yang dapat dilaksanakan bersamaan dengan sisi yang lain. Konservasi tidak hanya melarang dan melarang, yang terkesan menghambat pembangunan daerah pemekaran. Bagi DOB seharusnya lebih diuntung karena sejak awal konservasi dapat direncanakan untuk mendukung sektor pembangunan yang lain sehingga kesejahteraan masyarakat secara hakiki benar-benar terwujud. Kesejahteraan dalam arti yang sebenarnya, sejahteraan secara ekonomi dan aman secara ekologi, sehingga pundi-pundi PAD dapat dinikmati secara lestari oleh generasi sekarang dan akan datang.

Dengan melihat uraian di atas, maka mari kita hilangkan dalam benak kita kerangka berfikir “Konservasi Vs Pemekaran Wilayah” dan kita ganti dengan “Konservasi & Pemekaran Wilayah”. Karena sebenarnya kedua hal ini dapat bersanding dan berjalan seiring bahkan saling membutuhkan.


Potensi Obat Anti HIV “Callophylum spp” Di TWA Sorong (Edisi 6 2010)


I. Pendahuluan
Seperti telah kita ketahui, Indonesia adalah salah satu negara megabiodiversity dengan keragaman kekayaan sumber daya alamnya. Sebagai negara megabiodiversity, Indonesia memiliki sumber daya plasma nutfah yang melimpah salah satunya pada hutan humida tropis. Masih banyak jenis flora dan fauna yang belum teridentifikasi dan diketahui manfaatnya di areal hutan humida tropis Indonesia. Ironisnya degradasi hutan telah berimbas pada penurunan fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan dan penurunan keanekaragaman plasma nutfah di dalamnya. Terlepas dari laju degradasi hutan, upaya pemanfaatan plasma nutfah terus dilakukan terutama untuk zat aktif obat-obatan dalam usaha untuk mendukung keberlangsungan hidup manusia khususnya dari ancaman bahaya penyakit yang dewasa ini semakin beragam jenisnya.

II. Tanaman Penghasil Zat Bioaktif Calanolid A (Bahan Obat Anti Virus HIV)
Zat bioaktif Calanolid A adalah obat anti HIV yang diperoleh dari tanaman hutan humida tropis (Callophyllum). Calanolid A mencegah virus HIV yang menyerang nukleus pada sel T yang sehat. Calanolid A juga mencegah sel T yang telah terserang memproduksi virus HIV baru dan juga  berperan dalam menurunkan jumlah virus HIV dalam tubuh. 

Beberapa jenis Bintangur (Callophyllum spp) telah diketahui sebagai penghasil bahan obat anti virus HIV. Penemuan ini diawali dari kerjasama Amerika Serikat dengan Pemerintahan Sarawak yang telah menemukan jenis Callophyllum lanigerum sebagai penghasil zat bioaktif yang disebut Calanolid A. Zat ini telah dipatenkan oleh USA dan telah ada ijin membuat obat anti virus HIV. Selain Callophyllum lanigerum  diketahui Callophyllum sp. Juga sebagai penghasil zat bioaktif yang disebut Calanolid A (Soekotjo,2007). 

Di Indonesia penelitian mengenai tanaman penghasil Calanolid A  dilakukan oleh Dr. Subagus dari Farmasi UGM yang telah menemukan jenis Callophyllum lanigerum di Pulau Rempang Kepulauan Riau. Diperkirakan tidak hanya di Pulau Rempang, tapi juga di Batam dan pulau-pulau lainnya. Bahkan dimungkinkan di perbatasan Kalimantan Barat dengan Kalimantan Timur terdapat jenis tersebut. Di Indonesia ada sekitar 30  40 species Bintangur. Jenis yang telah dikaji baru sekitar 11 species, sehingga masih tersedia banyak jenis lagi yang mungkin memiliki khasiat obat (Soekotjo,2007).

III. Potensi Vegetasi Penghasil Anti Virus HIV di TWA Sorong
Kawasan TWA Sorong terletak pada koordinat 0˚51' -  0˚58' LS dan 131˚21' - 131˚21' BT. Sedangkan berdasarkan administrasi pemerintahan kawasan ini termasuk dalam Distrik Sorong Timur Kota Sorong, Propinsi Papua Barat. Kawasan TWA Sorong sendiri ditunjuk sebagai kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.397/Kpts/Um/5/1981 tanggal 7 Mei 1981 dengan luas 945,9 Ha.

Vegetasi tingkat pohon pada kawasan hutan TWA Sorong berdasarkan survey lapangan sebanyak 57 spesies. Jenis yang dominan adalah Intsia spp., Agathis spp., Vatica spp., Pometia pinnata., Canarium spp., Callophyllum spp., Pometia pinnata F., Anisoptera spp., Horea sangol., Melaleuca Leucadendron L. Sedangkan sepuluh vegetasi tingkat pohon dengan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi di kawasan hutan TWA Sorong disajikan pada diagram  1 .

Dari diagram diketahui bahwa  Callophyllum spp., memiliki Indeks Nilai Penting terbesar ke 6 (enam) pada kawasan hutan TWA Sorong. Sangat dimungkinkan TWA sorong menyimpan potensi besar sebagai sumber penghasil Calanolid A obat anti virus HIV dan jenis obat-obatan lainnya yang belum ditemukan. Oleh karena itu upaya penelitian dan pemanfaatan jenis flora dan fauna sebagai sumber obat khususnya pada hutan humida tropis perlu terus ditingkatkan menginggat laju deforestasi yang terus berjalan dan semakin beragamnya jenis penyakit yang berkembang saat ini.


Diagram 1

DAFTAR PUSTAKA
  • Anonimous, 2008. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Wisata Alam Sorong Periode 2009  2028 Kota Sorong Provinsi Papua Barat. Departemen Kehutanan Dirjen PHKA BBKSDA Papua Barat.
  • Http://www.aidsmeds.com/archive/calanolide-A_1617.shtml. di download tanggal 28 Mei 2010.
  • http://www.bic.web.id/in/lain-lain/312-pindahkan-demi-kelestarian.html.di download tanggal 28 Mei 2010.
  • Soekotjo, 2007. Laporan Bulan Februari “Membangun Hutan Tanaman Komersial yang Prospektif, Sehat, dan Lestari dalam Hutan Alam”. Departemen Kehutanan RI Dirjen BPK.
  • Soekotjo, 2007. Laporan Bulan Maret “Membangun Hutan Tanaman Komersial yang Prospektif, Sehat, dan Lestari dalam Hutan Alam”. Departemen Kehutanan RI Dirjen BPK.

Oleh : Eko Yuwono, S.Hut

SEBUAH PELAJARAN BERHARGA DARI RAJA AMPAT (Edisi 6 2010)


Benarkah pemekaran daerah selalu mengorbankan konservasi? Pertanyaan tersebut menggugah jiwa konservasi ribawan sebagai pejuang konservasi yang berada di garis depan yang senantiasa berpikir keras agar konservasi tidak terlupakan bahkan dikorbankan dengan adanya pemekaran daerah.

Wancana pemekaran daerah baru terus bergulir sampai pada batasan ideal untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan pemekaran daerah sesuai PP Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yaitu membentuk daerah otonom yang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Tujuan tersebut sebagai upaya peningkatan taraf hidup masyarakat suatu daerah, percepatan pembangunan fisik (infrastruktur), pembagian wilayah administrasi dan pemerintahan.

Hal tersebut juga mendasari pembentukan daerah otonomi baru (DOB) termasuk Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan pembentukan beberapa daerah administrasi di Papua. Melalui UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres Nomor 1 tahun 2003, yang melahirkan Provinsi Papua Barat pada tahun 2003/2004. Pada  awal pembentukannya Provinsi Papua Barat memiliki 8 kabupaten dan 1 kota (Kabupaten Manokwari, Sorong, Teluk Bintuni, Raja Ampat, Kaimana, Teluk Wondama, Fak-fak dan Kota Sorong). 

Kemudian pada awal tahun 2009 lahir 2 kabupaten baru yaitu kabupaten Tambraw dan Maybrat. Faktor-faktor yang secara umum mendorong pemekaran di Papua khususnya daerah Kepala Burung antara lain; potensi kekayaan sumber daya alam, letak geografis yang strategis, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk dan mempunyai nilai history yang didukung oleh kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur, aksesibilitas, dan dukungan (aspirasi) masyarakat.

Berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001, masyarakat Papua memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat. Lahirnya kebijakan Otsus diharapkan dapat mengakomodir aspirasi masyarakat Papua, termasuk aspirasi pemekaran daerah. Namun demikian pada beberapa daerah, pemekaran daerah terkesan dipaksakan dan terlihat hanya untuk memenuhi kepentingan politik semata, bahkan telah mengorbankan sumber daya alam.  
Pada awal terbentuknya, DOB akan giat melakukan optimalisasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan optimalisasi ruang untuk menunjang pembangunan. 

Berbagai sumber daya alam dieksploitasi besar-besaran hanya untuk mengejar PAD dan banyak kawasan hutan dikonversi untuk memenuhi kebutuan ruang bagi pembangunan infrastruktur. Aktivitas pemanfaatan sumber daya alam dan pembangunan pada DOB seringkali mengabaikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 23 Tahun 1997 tengang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Renataan Ruang sering diabaikan bahkan dianggap bertentangan dengan UU tentang daerah otonom dll. 

Berikut penulis sampaikan sebuah pelajaran berharga dari Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Raja Ampat yang dibentuk dalam rangka pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat, yang sekarang menjadi Provinsi Papua Barat. Kabupaten Raja Ampat dibentuk berdasarkan UU No 26 Tahun 2002. Raja Ampat merupakan wilayah kepulauan yang terletak di jantung pusat segitiga terumbu karang (Coral Triangle) dunia dan mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, terdiri dari 610 pulau besar dan kecil, 34 pulau di antaranya berpenghuni, dengan panjang garis pantai 4.860 Km, serta 80% wilayah daratnya merupakan kawasan konservasi. Berdasarkan hasil penelitian CII dan TNC, Raja Ampat memiliki kekayaan 1.200 species ikan dan 600 species terumbu karang yang masih utuh dan memiliki 75% jenis dari keanekaragaman species hayati bawah laut yang  ada di dunia.

Sebelum pemekaran, wilayah Raja Ampat merupakan kawasan perlindungan setempat dan kawasan perlindungan kabupaten Sorong serta Provinsi Papua pada umumnya.  Bahkan saat ini dalam Rencana Tata Ruang Nasional, Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan perlindungan nasional dan kawasan strategis nasional serta telah diusulkan sebagai warisan dunia. Hal ini menunjukan pentingnya wilayah Raja Ampat baik secara lokal, regional maupun nasional serta internasional, sehingga perlu dilestarikan. Karena pentingnya Raja Ampat, sejak awal terbentuknya ada beberapa LSM internasional yang terjun langsung mengawalnya, agar pembangunan yang dilaksanakan didasarkan pada data-data ilmiah dan tidak mengorbankan kelestarian sumber daya alam dengan semata-mata bertumpu pada aspek ekonomi.

Setelah menjadi DOB, Raja Ampat harus memeras keringat untuk mengurus segalanya termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dan menggali sumber-sumber perolehan PAD. Pada tahun-tahun awal inilah, Pemda Raja Ampat seperti berada pada persimpangan jalan, antara pelestarian dengan eksploitasi sumber daya alam. Kebijakan yang diambil Raja Ampat pada tahun-tahun ini terlihat kontradiksi. Sebagai contoh kebijakan penetapan 7 jejaring Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), yang seharusnya didukung oleh pelestarian kawasan daratnya, ternyata dibaringi dengan penerbitan Kuasa Pertambangan (KP), yang jumlahnya relatif banyak. Setidaknya ada 9 KP tambang nikel yang telah diterbitkan, yang lokasinya berada dalam kawasan lindung (kawasan konservasi dan hutan lindung). Hal ini tentunya akan berdampak negatif pada KKLD yang telah ditetapkan, seperti adanya limbah, erosi dan sedimentasi di wilayah laut dll.

Contoh lain adalah deklarasi Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari pada tahun 2006 yang seharusnya didukung oleh pengembangan infrastruktur bahari (lautan) untuk mendorong perkembangan ekonomi daerah, namun ternyata yang dikembangkan adalah infrastruktur darat berupa jaringan jalan lingkar pulau yang menghubungkan kampung-kampung. Jaringan jalan ini selain tidak efektif karena bertentangan dengan adat kebiasaan (sosial budaya) masyarakat yang 90% hidupnya sebagai nelayan, juga telah merusak kehidupan masyarakat sendiri karena sebagian berada pada kawasan konservasi yang seharusnya dijaga. 

Kondisi dan permasalahan di Kabupaten Raja Ampat, telah menjadi sorotan publik  baik yang pro maupun yang kontra terhadap kebijakan pembangunan yang telah diambil oleh Pemda. Seakan sadar dari kesalahan yang ada, pada Mei 2010 melalui pernyataannya di Media, Bupati Kabupaten Raja Ampat Marcus Wanma, menyatakan bahwa Raja Ampat sebagai “Kabupaten Bahari” tidak lagi memberikan ijin Kuasa Pertambangan kepada Perusahaan Pertambangan yang beroperasi di Raja Ampat. Ia mengakui, “aktifitas pertambangan yang ceroboh akan banyak menimbulkan kerugian karena bakal merusak alam di darat dan laut. Contohnya, ada tawaran investor pertambangan nikel di wilayah Waigeo Timur dan Barat, tetapi ditolaknya karena terdapat potensi perikanan dan kelautan yang tinggi”. (Jubi, 2010, Kompas, 2010).

Pernyataan Bupati Raja Ampat tersebut kiranya menjadi pelajaran berarti bagi DOB-DOB lain, bahwa ternyata mengeksploitasi tambang hanya akan diperoleh kenimatan sesaat dalam jangka waktu yang sangat singkat dan selebihnya akan menuai petaka karena hilangnya kesimbangan lingkungan dan musnahnya sumber daya alam. Bahkan pertambangan juga akan melahirkan budaya baru yang menghancurkan budaya masyarakat dalam waktu yang sangat singkat pula. Namun pada sisi lian kesadaran ini harus didukung oleh stakeholders lain, sehingga upaya konservasi tidak menjadi momok bahkan berlawanan dengan upaya pembangunan pada daerah pemekaran.

Dalam mendukung pembangunan daerah tersebut, Balai KSDA Papua Barat sebagai salah satu stakeholders yang berkepentingan terhadap pelestarian sumber daya alam telah melakukan peran nyata, sebagai berikut :
  1. Memaksimalkan pengelolaan kawasan konservasi melalui dukungan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terhadap kawasan konservasi,
  2. Penyusunan  Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi,
  3. Meningkatkan kegiatan sosialisasi perlindungan dan pengamanan hutan, dan
  4. Meningkatkan koordinasi mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten sebagai upaya sinkronisasi penataan ruang agar kawasan konservasi tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung. (Balai Besar KSDA Papua Barat, 2008)
Pelajaran lain yang dapat diambil adalah bahwa keputusan untuk memekarkan suatu daerah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Untuk mempersiapkan suatu daerah yang menginginkan pemekaran, periode persiapan disesuaikan dengan kondisi dilapangan, yang bisa mencapai masa 10 tahun, di mana sebelum dimekarkan pemerintah pusat dan pemerintah induk harus mempersiapkan fasilitas dan persiapan yaitu aparatur pemerintahan, fasilitas pemerintahan, infrastruktur, sumber daya manusia, pembagian sumber daya secara seksama meluputi sumber daya manusia dan sumber daya alam termasuk di dalamnya adalah aspek Konservasi. Pada akhirnya akan ditentukan apakah daerah tersebut layak dimekarkan atau tidak.

Daftar Pustaka
  • Balai Besar KSDA Papua Barat. 2008. Kondisi dan Permasalahan Kawasan Konservasi Di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Sorong.
  • Jubi. 2010. Kebijakan Tambang Ancam Potensi Kekeyaan Bawah Laut di Raja Ampat. www.tabloidjubi.com.
  • Kompas. 2010. Tidak Boleh Ada Eksploitasi Tambang Dikawasan Raja Ampat. http://akuindonesiana.wordpress.com/2010/05/05/tidak-boleh-ada-eksploitasi-tambang-dikawasan-raja-ampat/.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 129. 2000. Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. 
  • Undang-Undang Nomor 21. 2001. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
  • Undang-Undang Nomor 45. 1999. Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
Oleh : Brian Stefano Korowotjeng, S.Hut

Sabtu, 01 Januari 2011

STRATEGI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DI ERA DAERAH OTONOM (Edisi 6 2010)


Pengantar
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 pulau termasuk pulau yang bernama dan belum bernama (Depdagri, 2002). Lima pulau besar yang terdapat di wilayah Indonesia antara lain Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.290 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan luas perairan 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan pedalaman 2,9 juta km2, perairan teritorial 0,3 juta km2 dan perairan ZEE 2,7 juta km2 (Dishidros-Oseanografi TNI AL, 1997; Atlas Sumberdaya Pesisir Kab. Teluk Bintuni, 2003)

Secara geografis, negara Kepulauan Nusantara ini terletak di sekitar katulistiwa di antara 94o45' BT - 141o01'BT dan 06o08' LU - 11o05'LS. Secara spasial, wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke timur sepanjang 5.110 km dan dari Utara ke Selatan 1.888 km (Sugiarto, 1982).

Sejak masa reformasi, tahun 2000-an, wilayah Indonesia terus mengalami pemekaran, mulai dari tingkat yang terendah desa/kelurahan sampai pada tingkat provinsi. Sampai tahun 2010 ini, pemekaran wilayah Indonesia telah melahirkan 5 provinsi baru, sehingga menjadi 32 provinsi yang terdiri dari +498 kabupaten/kota. Di antara 498 kebupaten/kota tersebut beberapa kabupaten/kota merupakan Daerah Otonomi Baru (DOB) hasil pemekaran wilayah sejak masa reformasi. Hal ini karena untuk memenuhi persyaratan pembentukan provinsi baru, sehingga kabupaten/kota yang terbentuk kebanyakan berada pada wilayah provinsi baru dan atau di provinsi induk.

Khusus pada daerah pemekaran, kebutuhan sumber daya alam bagi pembangunan infrastruktur sangat tinggi. Sumber daya alam ini mecakup juga kebutuhan ruang (spasial) yang terkadang berbenturan dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan sebelumnya. Tulisan singkat ini mencoba mencari upaya pemenuhan kebutuhan ruang bagi daerah pemekaran, yang aman dan berkelanjutan. Aman secara peraturan perundang-undangan dan lingkungan serta berkelanjutan dalam mendukung pembangunan daerah pemekaran dan meningkatkan kesejahteran masyarakat.

Pemekaran Daerah
Pemekaran Daerah adalah pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, tantang Pemerintah Daerah pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pembentukan daerah baru dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Namun yang sering terjadi adalah pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sebagai contoh yang terjadi di Papua adalah :
  1. Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat,
  2. Pemekaran Kabupaten Manokwari menjadi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Teluk Bintuni,
  3. Pemekaran Kabupaten Sorong menjadi Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat.
Adapun penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah baru, berdasarkan pengamatan penulis belum pernah terjadi di Indonesia. Namun demikian berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, hal tersebut dapat dilakukan dan sangat mungkin terjadi. 

Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, syarat teknis dan syarat fisik kewilayah. Syarat administrative maliputi persetujuan DPRD dan pemimpin daerah (gubernur/ bupati/walikota) dari daerah induk, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Untuk pembentukan provinsi baru harus ada persetujuan dari DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi (pasal 5 ayat (2) dan (3)). 

Syarat teknis dalam pembentukan daerah baru meliputi faktor-faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah. Syarat teknis ini mancakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (pasal 5 ayat (4)). Syarat fisik sebagaimana dimaksud adalah meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Gambaran Kinerja DOB
Pada bulan Juli 2008 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Bekerja Sama Dengan United Nations Development Programme (UNDP) menerbitkan sebuah buku yang berjudul Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Ada 4 aspek yang dievaluasi dalam buku tersebut, yaitu aspek ekonomi, aspek keuangan pemerintah, dan aspek pelayanan publik dan aparatur pemerintahan. 

Setelah lima tahun pemekaran, beberapa aspek memang menunjukkan gejala yang positif seperti meningkatnya pembangunan prasarana fisik, munculnya fasilitas layanan publik di DOB. Namun demikian, daerah yang tidak mekar pun secara umum menunjukkan kinerja yang serupa. Studi ini juga mengevaluasi kondisi umum pada saat sebelum pemekaran (tahun 1999) dilakukan, dan ternyata kondisi daerah pemekaran tidak jauh berbeda dengan daerah kontrol. Namun setelah terjadi pemekaran daerah pada periode 2001-2005, posisi daerah DOB jauh tertinggal dari daerah induk maupun daerah kontrol. Sehingga dapat dikatakan, bahwa ketidakseimbangan dalam aspek perekonomian terjadi setelah lima tahun pemekaran ini diberlakukan. Dari aspek ini terdapat dua masalah utama yang dapat diidentifikasi:
1. Pembagian Potensi Ekonomi Tidak Merata. 
Perkembangan data yang ada menunjukkan bahwa wilayah-wilayah DOB memiliki potensi ekonomi yang lebih rendah daripada daerah induk. Hal ini terlihat pada nilai PDRB daerah DOB yang lima tahun terakhir ini masih berada di bawah daerah induk, meskipun PP 129/2000 mensyaratkan adanya kemampuan ekonomi yang tidak jauh berbeda antara daerah induk dengan calon daerah otonom baru. Secara riil potensi yang dimaksud adalah kawasan industri, daerah pertanian dan perkebunan yang produktif, tambak, pertambangan, maupun fasilitas penunjang perekonomian lainnya.
2. Beban Penduduk Miskin Lebih Tinggi. 
Daerah pemekaran umumnya memiliki jumlah penduduk miskin yang relatif lebih besar. Hal ini membawa implikasi bahwa untuk menggerakkan perekonomian daerah sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat diperlukan upaya yang jauh lebih berat. Penduduk miskin umumnya memiliki keterbatasan sumber daya manusia, baik dalam hal pendidikan, pengetahuan maupun kemampuan yang dapat menghasilkan pendapatan. Di samping itu, sumber daya alam di kantong-kantong kemiskinan umumnya juga sangat terbatas, misalnya, tanah yang hanya dapat ditanami tanaman pangan dengan produktivitas rendah.

Grafik  Indeks Kinerja Perekonomian Daerah


Grafik diatas menunjukan bahwa kinerja perekonomian DOB paling rendah dibanding dengan daerah induk, daerah kontrol dan daerah mekar. Hal-hal yang diduga menjadi penyebab rendahnya kinerja perekonomian DOB antara lain, pertama, pembagian sumber-sumber perekonomian antara daerah DOB dan induk tidak merata. Daerah induk biasanya mendominasi pembagian sumber daya ekonomi seperti kawasan industri maupun sumber daya alam produktif. Kedua, investasi swasta di DOB relatif kecil sehingga selama lima tahun terakhir tidak banyak terjadi perubahan yang cukup signifikan untuk mendongkrak perekonomian daerah. Ketiga, perekonomian di DOB belum digerakkan secara optimal oleh pemerintah daerah baik karena kurang efektifnya program-program yang dijalankan, maupun karena alokasi anggaran pemerintah yang belum optimal.


Grafik di atas menunjukan bahwa pada tahun 2005, meski daerah DOB memiliki nilai PDRB per kapita hampir sama dengan daerah rata-rata, namun ternyata tingkat kemiskinan di daerah DOB relatif tinggi (mencapai 21,4% dari total penduduk) dibandingkan dengan daerah induk (16,7%). Di samping itu, angka kemiskinan daerah pemekaran (gabungan daerah induk dan DOB) masih lebih tinggi dibandingkan daerah kontrol. Hal ini menandakan bahwa meski daerah pemekaran memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol, jumlah penduduk miskin di daerah pemekaran juga lebih tinggi.

Di sisi keuangan daerah, studi tersebut menyimpulkan bahwa daerah baru yang terbentuk melalui kebijakan Pemerintahan Daerah menunjukkan kinerja yang relatif kurang optimal dibandingkan daerah kontrol. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah, yaitu ketergantungan fiskal yang lebih besar di daerah pemekaran berhubungan dengan besarnya alokasi belanja modal di daerah pemekaran; optimalisasi pendapatan dan kontribusi ekonomi yang rendah; dan porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah yang rendah. Semua ini mengindikasikan belum efektifnya kebijakan keuangan daerah terutama di daerah otonom baru dalam menggerakkan aktifitas ekonomi di daerah baik yang bersifat konsumtif maupun investasi. 

Mengenai aspek kinerja pelayanan publik studi ini mengidentifikasi bahwa pelayanan publik di daerah pemekaran belum berjalan optimal, disebabkan oleh beberapa permasalahan, antara lain tidak efektifnya penggunaan dana; tidak tersedianya tenaga layanan publik; dan belum optimalnya pemanfaatan pelayanan publik. Dari aspek kinerja aparatur pemerintah daerah diidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan yang tersedia; kualitas aparatur yang umumnya rendah; dan aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment.

Dampak Pemekaran Terhadap Kawasan Hutan
Dimuka telah disebutkan bahwa kebanyak DOB memiliki potensi sumber ekonomi yang lebih rendah dari daerah induk. Sebagian besar atau bahkan semua potensi ekonomi eksisting dikuasai oleh daerah induk. Tidak hanya itu, bahkan sarana infrastruktur pemerintahan pada DOB belum tersedia sama sekali. Kondisi semacam inilah yang antara lain menjadi penyebab tingginya kebutuhan sumber daya alam dan kebutuhan ruang pada DOB.

Kebutuhan ruang bagi DOB sangat mendesak karena semua DOB membutukan ruang untuk membangun infrastruktur daerah mulai dari jaringan jalan sampai ruang untuk membangun gedung perkantor serta fasilitas umum lainnya. Selain itu DOB juga membutuhkan ruang untuk pengembangan ekonomi, yaitu ruang budi daya yang lebih luas, mengingat sebagian besar ruang budi daya berada pada daerah induk.


Gambar  Jalan Trans Papua Barat Lampiran Peta Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.672/Menhut-II/2008 tanggal 29 Oktober 2008.

Sebagai gambaran akan kebutuhan ruang tersebut, dapat dilihat dari rencana pembangunan Jalan Trans Papua Barat. Rencana pembangunan jalan tersebut telah mendapat persetujuan/ijin prinsip dari Menteri Kehutanan, yaitu dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.672/Menhut-II/2008 tanggal 29 Oktober 2008 tentang Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Ruas Jalan Guna Menghubngkan Daerah Terisolir/Pedalaman dan Pesisir Pada Kawasan Hutan. Dalam peta lampiran SK. Menteri Kehutanan tersebut dicantumkan bahwa ruas jalan yang dimaksud seluas 5.330,85 ha dengan panjang 1.332,71 km. Ruas jalan sepanjang itu terdiri dari 1.332,71 km jalan baru dengan lebar 14 m dan luas  1.865,81 ha dan jalur hijau dan jalur pengembangan sepanjang 1.332,71 km dengan lebar 26 m dan luas 3.465,04 ha.


Gambar Pembangunan Kota Waisai, sebagian masuk dalam kawasan CA. Waigeo Barat 

Gambaran lain adalah apa sekarang tengah terjadi di DOB Kabupaten Raja Ampat. Kabupaten Raja Ampat terbentuk sejak tahun 2002 dengan terbitnya UU nomor 26 Tahun 2002. Kabupaten yang sebagian wilayah daratnya merupakan kawasan hutan konservasi ini, sejak saat itu telah melakukan upaya pembangunan infrastruktur daerah, khususnya di Kota Waisai yang menjadi pusat pemerintahan. Infastruktur yang dibangun selama ini antara lain; rumah sakit umum, perumahan 100, perumahan 200, perumahan 300, PAM, perumahan DPR, Polres, stadion olah raga, pembangunan jalan yang menghubungkan antara Kota Waisai dengan distrik/kampung di sekitarnya sepanjang + 53.792 meter. Semua fasilitas tersebut berada dan menfaatkan ruang yang berdasarkan peta hutan dan perairan berfungsi sebagai kawasan hutan. Bahkan dalam rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Raja Ampat merencanakan rasionalisasi kawasan hutan konservasi luasan 7,63% dari luas hutan konservasi darat seluas 519.137 ha.

Dua gambaran di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan ruang DOB berpengaruh nyata terhadap eksistensi kawasan hutan termasuk di dalamnya hutan konservasi. Hal ini tentunya akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya alam dalam kawasan hutan. Dampak ini akan semakin besar, jika pemanfaatan dan rasionalisasi (baca alih fungsi) kawasan hutan tidak sesuai dengan prosedur dan uji kelayakan kawasan. Karena bisa jadi pemanfaatan dan fungsi baru tidak sesuai dengan karakteristik sumber daya alam, bentang alam dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat yang ada. 

Bagaimana Dengan Konservasi?
Kegiatan konservasi dengan segala macam variannya sering dipandang sebelah mata bahkan dicibir sebagai penghalang/penghambat pembangunan dan sangat bertentangan dengan semangat DOB. Konservasi dikenal hanya dari sisi perlindungan dan pengawetan saja dengan mengabaikan sisi pemanfaatannya, sehingga konservasi dalam konteks pembangunan dinilai negatif yang senantiasa dibenturkan dengan pembangunan. 

Dengan dalih pembangunan, perolehan PAD dan penyediaan ruang budi daya yang lebih besar, kebanyakan DOB melakukan terobosan-terobosan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dengan dalih ini juga sebagian atau bahkan semua DOB menginginkan resionalisasi kawasan hutan termasuk di dalamnya hutan konservasit secara pintas tanpa melalui pengkajian yang seksama dan tanpa mengikuti prosedur yang telah tetapkan. 

Hal bukan berarti bahwa DOB harus pasrah dengan pola dan struktur ruang yang ada. Namun yang dimaksudkan adalah bahwa penetapan pola dan struktur ruang DOB harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan secara nasional (RTRWN), secara regional (RTRWP) dan jika dibutuhkan perubahan pola dan struktur ruang harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentunya hal ini bukan untuk membatasi gerak daerah dalam pemanfaatan ruang, akan tetapi untuk tujuan pembangunan yang lebih luas dan masa depan yang panjang.  

Dengan demikian tidak ada lagi benturan kepentingan antara konservasi dengan pembangunan dan semangat DOB, antara kawasan lindung dan kawasan budi daya. Hal ini, kerena semua merupakan bagian dari pembangunan yang tentunya memiliki peran masing sesuai dengan fungsi peruntukannya. 

Akhirnya kita berharap agar semangat pembangunan pada DOB, khususnya dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, dilakukan sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga fungsi kawasan hutan (budi daya dan lindung) lebih terasa dan lestari dalam mendukung pembangunan daerah.

Sumber bacaan:
  • Anonim. 2003.Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Teluk Bintuni. Bintuni.
  • Anonim. 2007. Drar Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Raja Ampat.
  • Darmawan Dkk. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bekerja Sama Dengan United Nations Development Programme (UNDP). BRIDGE (Building and Reinventing Decentralised Governance). Jakarta.
Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut