Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Selasa, 28 Desember 2010

CAGAR ALAM TELUK BINTUNI PENYANGGA PERIKANAN MASYARAKAT (Edisi 5 2010)

Kondisi Umum
Berdasarkan pembagian administratif pemerintahan, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di wilayah kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat (IJB). Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten hasil pemekaran di propinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. Pada tingkat Distrik, kawasan Cagar Alam ini berada di dalam wilayah administratif Distrik Bintuni, Distrik Idoor, dan Distrik Kuri. Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam, CATB berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan Resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah KSDA III Bintuni, Bidang KSDA Wilayah II Manokwari, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat yang berkedudukan di Sorong. 

CATB terletak di bagian timur kawasan perairan Teluk Bintuni. Secara geografis terletak antara 02º.2'-2º.41' BT dan 133º.31'-134º.02' LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
  • Bagian utara berbatasan dengan areal HPH PT Yotefa Sarana Timber
  • Bagian selatan berbatasan dengan sungai Naramasa dan HPH PT BUMWI
  • Bagian Barat berbatasan dengan Sungai Wasian, dan perairan Teluk Bintuni
  • Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Distrik Idoor dan HPH PT Henrison Iriana
Berdasarkan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Provinsi dan perairan Papua, luas Kawasan CATB adalah124,850 Ha, dimana lebih 90% areal merupakan ekosistem hutan mangrove. Kawasan CATB dapat diakses dari beberapa tempat. Untuk mencapai kawasan CATB dari ibukota Provinsi Papua Barat (Manokwari) dan Sorong, dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat udara jenis Twin-Otter ke kota Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni) selama kurang lebih 45 menit dan kendaraan roda empat (Toyota Hard-top) dari Manokwari dengan waktu tempuh kurang lebih 10-12 jam. Selanjutnya dari kota Bintuni kawasan CATB dapat diakses dengan dua cara, yaitu (1) menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua ke batas utara kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 10-5 menit; (2) menggunakan perahu motor (longboat) menyusuri sungai Steenkol/Wasian ke batas barat kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 30-45 menit.

Nilai Ekologis
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) pertama kali diusulkan oleh WWF pada tahun 1980-an. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan diusulkan areal ini sebagai kawasan konservasi adalah: luasan mangrove yang ada merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua (Irian Jaya saat itu); Kawasan ini merupakan areal penting untuk menyangga kegiatan perikanan komersil dan industri udang yang ada; Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), Di kawasan in hidup kurang lebih 160 jenis jenis burung, lebih dari 17 marsupial, dan kurang lebih 39 jenis mamalia (Petocz, 1987).

Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantaiadalah menjadi penyambung darat dan laut, serta peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang, badai dan juga merupakan panyangga bagi kehidupan biota lainnya yang merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitamya. Selain itu fungsi ekologis hutan mangrove yang penting adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun Iepas pantai. Menurut Kusmana dan Onrizal (1998) pada tingkat ekosistem sebagai wetland secara keseluruhan hutan mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai (1) pembangunan lahan dan pengendapan lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4) melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan dan pelatihan.

Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya semuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan. Pada sisi lain diketahui bahwa menurunnya produksi perikanan di Bagan Siapi-api yang sebelum perang Dunia II merupakan wilayah penghasil utama ikan di Indonesia bahkan di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Noor et al. 1999).

Fungsi ekologi mangrove daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan

Fungsi ekologi mangrove daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan. Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di sekitar pohon mangrove. Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel partikel detritus.Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae (udang-udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995; Suhaeb 1999; Rencana Pengelolaan CATB 2005).

Penyangga Produksi Perikanan
Dengan mengetahui fungsi ekologi tersebut di atas, eksistensi hutan mangrove kawasan CATB menjadi sangat vital. Hal ini karena sebagian besar masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan CATB sangat menggantungkan kehidupan sehari-hari mereka pada hasil perikanan. Selain itu, keberadaan industri perikanan tangkap di daerah Teluk Bintuni, yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD), eksistensinya sangat tergantung pada bekerjanya fungsi ekologi tersebut di atas. 

Kegiatan di bidang perikanan merupakan cabang usaha yang dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat di Kawasan Teluk Bintuni, di samping kegiatan menokok sagu. Kegiatan nelayan di Kawasan Teluk Bintuni, terutama di Distrik Babo dan Distrik Aranday sebagian besar bersumber dari hasil tangkapan udang. Sedangkan pada Distrik Bintuni bersumber dari hasil tangkapan ikan dan kepiting.


Selain perolehan dari udang yang jumlahnya tertera dalam di atas pada beberapa Kampung di Kawasan Teluk Bintuni, Kelurahan Bintuni Timur juga memperoleh 70 kg kepiting seharga Rp 350.000 per bulannya. Sedangkan untuk pendapatan keluarga dari hasil ikan dan olahannya terlihat dalam tabel Nilai Pendapatan Keluarga Per Bulan Khusus Hasil Ikan dan Olahannya Beberapa Kampung di Sektor Perikanan di Kawasan Teluk Bintuni. Kampung Kalitami II juga menghasilkan ikan asap/asar 80 ikat per bulannya atau Rp 400.000 ditambah dengan jenis ikan asin 15 ikat atau seharga Rp 105.000. Sedangkan Kelurahan Bintuni timur menghasilkan tambahan untuk ikan asin 20 ikat atau Rp 140.000 rata-rata perbulannya. Di Distrik Bintuni (Kelurahan Bintuni Timur), umumnya nelayan menangkap ikan 2 sampai 3 kali per minggu. Hasil tangkapan setiap trip berkisar 4 sampai 10 kg, dengan harga jual Rp 6000 per kg. Selain ikan, kepiting juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan. Hasil tangkapan kepiting nelayan berkisar antara 5 sampai 12 ekor per hari, dengan harga jual per ekor adalah Rp 5.000 (Atlas Sumberdaya Pesisir Teluk Bintuni, 2003).

Selain masyarakat, ternyata juga telah berkembang industri perikanan di sekitar Teluk Bintuni. Sejak tahun 1970-an terdapat 5 perusahaan penangkapan udang yang mengoperasikan armadanya, namun sejak tahun 1990-an tinggal satu perusahaan penangkap udang yang secara intensif dan reguler mengoperasikan armadanya sepanjang tahun. Kepadatan stok udang dan ikan demersal di Teluk Bintuni masing-masing adalah sebesar 0,041 ton/km2 dan 1,059 ton/km2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua, 2001; Atlas Sumberdaya Pesisir Teluk Bintuni, 2003).

Sumber:
  • .........2003. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Teluk Bintuni, Proyek Pesisir USAID. Jakarta.
  • ...........2005. Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat 2005-2029. Balai KSDA Papua II. 
Oleh : Gusta Fitria Adi, S.Hut

REHABILITASI MANGROVE PANTAI BANTEMIN KAIMANA (Edisi 5 2010)


Dengan mengusung tema “Kemarin Kami Belajar, Sekarang Kami Menanam, Agar Esok Kami Masih Memiliki Bumi Yang Lestari” Kelompok pelajar SLTA se-Kaimana yang tergabung dalam Mangrove Community melakukan rehabilitasi mangrove pada bulan Januari 2010. Kelompok pelajar ini sadar bahwa mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan makluk hidup terutama manusia.  Mereka juga sadar bahwa aktivitas masyarakat di sepanjang pantai Kaimana seperti penambangan pasir dan pembuangan sampah yang kurang peduli lingkungan telah mempercepat kerusakan pantai dan menganggu kestabilan lingkungan. Mereka menyadari bahwa semua aktivitas tidak ramah lingkungan tersebut telah menlenyapkan ribuan hektar hutan mangrove di Kaimana, yang berdampak pada menurunnya ketersediaan ikan dan terganggunya kualitas dan kuantitas ekosistem pesisir. 

Dalam salah satu sambutannya, ketua panitia menyampaikan bahwa sekarang dunia sedang mengalami perubahan yang diakibatkan oleh pemanasan global. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah kerusakan dan hilangnya kawasan hutan termasuk hutan mangrove. Bagaimana kita mengambil andil/peran dalam mendinginkan atau meminimalisir perubahan tersebut? Tentunya dengan bertindak sebaik mungkin terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang ada disekitar kita. Pesan tersebut, sangat sesuai dengan tema yang mereka usung dan kegiatan lapangan ”menanam mangrove”. 

Kegiatan kelompok pelajar Mangrove community yang berlangsung pada bulan Februari tersebut selain melibatkan pelajar SLTA se-Kaimana, juga melibatkan instansi terkait dan TNI/Polri. Pada kegiatan tersebut Seksi Konservasi Wilayah (SKW) IV Kaimana Bidang KSDA Wilayah II, Balai Besar KSDA Papua Barat juga ikut hadir melakukan penanaman bersama-sama dengan berbagai instansi terkait, Polri, dan Distrik Kaimana. Terlibatan instansi terkait dan TNI/Polri diharapkan dapat memberikan contoh/teladan yang baik bagi seluruh masyarakat sehingga kegiatan ini akan terus berkembang.

Ada yang menarik dari rehabilitasi mangrove di Kaimana tersebut, yaitu berkaitan dengan metode penanaman. Kurang lebih selama satu tahun sebelum acara puncak dimulai mereka telah mempelajari dan mempraktekan proses pembibitan tanaman mangrove. Kemudian ketika bibit mangrove telah siap mereka memobilitasi anggota dan masyarakat untuk melakukan penanam. Sesuai dengan kondisi pantai Kaimana, mereka melakukan penanaman dengan 3 (tiga) metode sebagai berikut :
  1. Penanaman tanaman mangrove dibelakang tiang kayu yang sudah dicor dengan semen; 
  2. Memasukan tanaman mangrove dalam bambu besar yang telah di lubangi kemudian bambunya di tanam sebagai media tanam dan tiang pancang; dan 
  3. Penanaman secara langsung tanpa perlakuan apapun tanpa penghalang dan ajir untuk ditanam.

Mangrove community adalah sebuah kelompok organisasi para pelajar SLTA yang sekretariatnya berada di SMU Negeri 1 Kaimana yang  peduli terhadap lingkungan.  Kelompok pelajar tersebut diajarkan bagaimana memahami pentingnya kesadaran terhadap lingkungan, apa akibat yang dapat timbul akibat dari kurangnya kesadaran akan pentingnya lingkungan terhadap kehidupan makluk hidup. 

Mungkin kegiatan ini sangat kecil pengaruhnya namun bila dilakukan secara terus menerus akan mampu memberikan dampak bagi kehidupan sekitar secara mikro yang lebih baik.  Sekecil apapun kegiatan tersebut, mereka telah berbuat untuk masa depan planet bumi dan generasi pewaris negeri yang lebih baik. Dan apabila kita tidak mendukung atau tidak berbuat atau bahkan malakukan pengrusakan terhadap sumber daya alam, maka berarti kita telah mewariskan kepada anak cucu kita malapetaka dan kesensaraan. Kita semua hidup di dunia ada amanat dari yang maha kuasa untuk saling mempedulikan dan memanfaatkan sumber daya secara arif dan bijaksana.

Oleh : Zeth Parinding, S.Hut, MP

MENGANGKAT KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN HUTAN LESTARI (Edisi 5 2009)


I. Eksistensi masyarakat adat, lokal, tradisional dalam pengelolaan Hutan
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat adat, lokal, tradisional yang pada umumnya tinggal dan berada di dalam maupun disekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini secara turun temurun. Pengelolaan hutan tersebut dilakukan berdasarkan kearifan, aturan dan mekanisme kelembagaan yang ada dan mampu serta teruji menciptakan tertib hukum pengelolaan, pengelolaan yang berbasis masyarakat dan pemanfaatannya berdimensi jangka panjang. Dapat dikatakan bahwa tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan sangatlah kecil.

Menurut data dari Direktorat Jenderal PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) saat ini terdapat sekitar 2.040 Desa di daerah penyangga kawasan konservasi yang jumlah penduduknya mencapai sekitar 660.845 keluarga. Sebagian penduduk tersebut bergantung pada sumber daya alam di kawasan hutan.
         
II. Kegagalan Pengelolaan Hutan di Indonesia
Sumber daya hutan di Indonesia sekarang berada dalam kondisi kritis. Arif Aliadi dalam Haeruman (1995) menge-mukakan pada Tahun 1970 luas hutan Indonseia 143,5 Juta hektar. Luas ini berkurang menjadi 104,6 Juta pada tahun 1990, dan pada tahun 2030 diperkirakan luasnya menjadi 61 juta hektar. Apabila dilihat dari nilai uang maka kehilangan riil dari asset berupa hutan mencapai 202 triliun rupiah pada tahun 1990 dan 422 triliun rupiah pada tahun 2030. Kondisi tersebut akan tetap buruk karena luas hutan tanaman baru pada tahun 2030 diperkirakan baru mencapai 4 juta hektar.

Pemetaan hutan yang dilakukan pada tahun 1999 oleh Pemerintah Indonesia dengan bantuan dari Bank Dunia seperti dikutip FWI/GFW (2001) menyimpulkan bahwa laju deforestasi terbesar selama periode waktu ini adalah Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan, yang secara keseluruhan kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Jika kecenderungan deforestasi ini berlangsung terus (sebagaimana telah berlangsung sejak tahun1997) hutan dataran rendah non-rawa akan lenyap dari Sumatera pada tahun 2005 dan di Kalimantan setelah tahun 2010 (Holmes 2000 dalam FWI/GWF, 2001). Perubahan kondisi hutan menjadi tata guna lahan yang lain seperti disebut diatas, baik secara langsung maupun tidak langsung, akhirnya menjadi penyebab berkurangnya keanekaragaman hayati dan kualitas lingkungan. 

Sesungguhnya untuk mengantisipasi kerusakan hutan tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya di antaranya dengan reboisasi hutan melalui program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan), upaya-upaya konservasi berupa pelestarian genetika, jenis dan ekosistem yang dilakukan dalam bentuk penetapan sejumlah kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, wisata alam dan hutan lindung. Kawasan konservasi tersebut ditetapkan untuk tujuan (a) perlindungan ekosistem (b) pelestarian sumber daya genetik dan (c) pemanfataan yang lestari. 

Program reboisasi yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat selalu gagal. Kasus ini menjadi menarik karena ternyata yang menjadi sumber persoalan adalah belum bertemunya dua titik kepentingan antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola. Program-program yang direncanakan dan yang sudah dilaksanakan jarang melibatkan masyarakat sebagai stakeholder pengelolaan hutan. Menurut Munggoro (1998) kegagalan mengatasi krisis lingkungan dan ekonomi telah menyadarkan berbagai pihak untuk menengok kembali apa yang disebut sebagai kekuatan lokal (empowering the local). Pada waktu yang sama, pengakuan akan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan menggunakan tradisinya untuk membangun hutan belum proporsional.

Kurang berhasilnya konservasi di Indonesia disebabkan oleh tidak dipertimbangkan faktor politik, ekonomi dan sosial-budaya. Aspek ekologi meliputi upaya akonservasi untuk mengatasi kerusakan alam. Secara politik ekonomi, konservasi sumber daya hutan harus dilihat berdasarkan kepentingan pusat dan daerah. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan kawasan konservasi masih ditangani oleh Pemerintah Pusat. Bagi Pemerintah daerah, sejak lama kawasan konservasi dirasakan sebagai beban karena tidak dapat menghasilkan pendapatan daerah yang signifikan. Hal ini seharusnya tidak beloh terjadi, karena bagaimanpun kawasan konservasi memiliki peran dalam pembangunan daerah, terutama dalam menjaga kelestarian sistem penyangga di seuatu wilayah administrasi. Namun demikian ke depan perlu digali potensi SDA dalam kawasan konservasi yang dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

Secara sosial budaya, pengelolaan sumber daya hutan merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Banyak contoh menunjukkan keberhasilan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya hutan lestari. Namun, contoh-contoh tersebut seringkali terabaikan dalam mengelelola kawasan hutan. Misalnya Masyarakat yang mendiami kawasan Distrik Teluk Manyailibit, di Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat yang berada di sekitar kawasan Cagar Alam (CA) Waigeo Timur.   Pada dasarnya masyarakat di Teluk Manyailibit mempunyai sistem pengetahuan yang baik mengenai  keanekaragaman sumber daya tumbuhan dan kondisi lingkungannya secara turun-temurun.. Hal ini ditunjukkan dengan cara mereka mengenal keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut dan memanfaatkannya. Mereka mendiskripsikan bagian-bagian tumbuhan dengan baik dan memberikan penamaan di setiap bagian tumbuhan yang tentu saja sangat penting bagi mereka dalam membedakan jenis satu dengan jenis yang lainnya. Di samping itu, mereka juga mengenal dengan baik keanekaragaman kondisi lingkungan di sekitarnya. Sebagai contoh mereka mampu membedakan dengan baik berbagai macam bentuk tipe ekosistem yang ada di sekitarnya, baik yang asli maupun buatan. 

III. Kearifan Lokal dan Pengelolaan Hutan Lestari
Kelompok masyarakat tradisional yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya alam hayati dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Mereka berusaha mengenali, memahami dan menguasai agar mampu memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebelum masyarakat tersebut menerapkan teknologi adaptasi yang mereka miliki terhadap sumber daya alam hayati dan kondisi lingkungannya. Mereka mencoba mengenali karakter sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Pengenalan, pemahaman, dan penguasaan tersebut merupakan tahapan penting bagi masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan. 

Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat selama berabad-abad. Menurut Mathias, 1995. Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman, telah diuji penggunaannya selama berabad-abad, telah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan setempat (lokal), serta bersifat dinamis dan berubah-ubah. Menurut Darusman dalam Suharjito (2000) kearifan lokal atau tradisional mengandung arti resultante dan keseimbangan optimum yang sesuai dengan kondisi yang ada. Kearifan lokal merupakan salah satu menifestasi kebudayaan sebagai system yang cenderung memegang erat tradisi, sebagai sarana untuk memecahkan persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat lokal. 

Data dan fakta lapangan yang dikumpulkan oleh para peneliti dan pegiat LSM dari berbagai pelosok nusantara telah membuktikan bahwa, wilayah adat yang pengelolaan sumber daya alamnya dikelola secara otonom oleh komunitas-komunitas adat ternyata mampu menjaga kelestarian. Realitas demikian merupakan pertanda bahwa masa depan keberlanjutan sumber daya alam di Indonesia berada di tangan masyarakat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alamnya. Sebagian dari masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh makhluk, termasuk manusia.

Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai, dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Penelitian yang pernah dilakukan Nababan (1995) di 4 provinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain :
  1. Masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 
  2. Bahwa suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksluksif sebagai hak pengusaan dan/atau kepemilikan bersama (communal property resources) yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan dari pihak luar;
  3. Sistem pengetahuan dan struktur pemerintah adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, termasuk berbagai konflik dalam pemanfaatan sumber daya hutan;
  4. System alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh  orang luar komunitas;
  5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat selama ratusan tahun. Karenanya prinsip-prinsip ini pun bersifat multi dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi adat yang bersangkutan. Kalau komunitas-komunitas masyarakat adat ini bisa membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem lokal yang ada, apakah tidak mungkin bahwa potensi sosial budaya yang besar ini dikembalikan vitalitasnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan sekaligus untuk menghentikan pengrusakan terhadap masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara. Kearifan lokal yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial budaya untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan ekologis. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyakarat adat diyakini memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan ekologis di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan kritis (community based reforestation and rehabilition) dengan pohon-pohon jenis asli yang bermanfaat secara subsisten dan komersial. 

Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat diyakini mampu :
  • Mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumber daya alam lokal yang ada di wilayah adatnya (mis; community logging, community forestry, dsb); 
  • Mengatur dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali cukong-cukong kayu;
  • Mengurangi praktek-praktek “clear cutting” legal (dengan IPK) untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak dan tidak berkeadilan seperti IHPHH.
Daftar Pustaka
  • Aliadi,Arif. 2002 Pengetahuan Lokal Untuk Konservasi Sumber Daya Hutan. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi dan Budaya Lokal Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
  • Haeruman, H. 1995. Peranan Kehutanan Dalam Pembangunan Nasional Indonesia. Dalam E Suhendang (ed) 1995. Menguak Permasalahan Pengeloalaan Hutan Alam Tropis Di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  • Purwanto, Y. Efendi, Oscar. 2008. Etnologi Masyarakat Maya di Teluk Manyailibit, Pulau Waiego Kab. Raja Ampat. Ekspedisi Widya Nusantara. Puslit Biologi. LIPI. Bogor.
  • Anonim. 2002. Studi Hukum Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat. Kerjasama WWF dengan Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHSA). Jambi. 

Oleh : Rachmad Hariyadi, A.Md (Penyuluh Kehutanan pada Balai Besar KSDA Papua Barat)

Senin, 27 Desember 2010

Kebakaran Hutan, Sebuah Ancaman Bagi Kelestarian Sumber Daya Alam (Edisi 5 2010)

Pengantar
Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang telah berlangsung selama beribu-ribu tahun yang lalu, bahkan telah menjadi ciri hutan-hutan yang ada di Indonesia. Bukti ilmiah berdasarkan pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di Kalimantan Timur menunjukan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang kali terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode Glasial Kuarter (Goldamer, 1990; FWI-GFW, 2001).

Kejadian kebakaran hutan pada mulanya berskala lebih kecil dan lebih tersebar dengan frekuensi yang relatif lebih jarang dan waktu lebih panjang berbeda jika dibandingkan dengan kebakaran yang serupa pada tiga dasawarsa terakhir. Meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan ini diduga kuat karena besarnya proses deforestasi yang terjadi selama kurun waktu tersebut.

Kawasan hutan yang pernah terjamah dan dibuka berubah menjadi hutan sekunder yang memiliki kerapatan tajuk relatif lebih renggang dangan keragaman jenis lebih rendah jika dibanding dengan hutan primer. Pada hutan sekunder intensitas sinar matahari yang masuk sampai ke lantai hutan lebih besar, menjadi faktor utama terhadap meningkatnya suhu lingkungan dan penurunan kelembaban udara, sehingga hutan peka terhadap kebakaran. Pada sisi lain proses deforestasi menyisakan limbah hutan berupa potongan-potongan kayu dan ranting-ranting mati, serta menumbuhkan semak belukar yang merupakan unsur utama dalam proses kebakaran.

El-Nino dan Kebakaran Hutan
Pada tingkat makro, kondisi hutan yang rentan terhadap kebakaran tersebut, didukung oleh perubahan iklim global, yaitu fenomena iklim El-Nino. Fenomena iklim El-Nino ini menyebabkan musim kemarau dan kekeringan yang berkepanjangan melanda daerah-daerah tropis termasuk Indonesia. 

Fenomena El-Nino menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya ledakan kebakaran hutan yang tidak terkendali pada dua dasawarsa terakhir dengan rotasi tiga sampai lima (3-5) tahunan.  Dari tahun 1980 sampai tahun 2000 di Indonesia tercatat 5 kali kejadian kebakaran hutan berskala besar, yakni pada tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1993/1994, 1997/1998.

Pada tahun 1982/1983 kemarau panjang yang melanda Kalimantan antara bulan Juni 1982 dan Mei 1983 berakibat terbakar habisnya 3,2 juta hektar lahan; 2,7 juta hektar diantaranya merupakan hutan hujan tropis (2,1 juta hektar hutan sekunder dan hanya 0,6 juta hektar merupakan hutan primer). Pada akhir tahun 1987 sampai awal tahun 1988 kemarau panjang yang berujung pada kebakaran hutan melanda sekitar 0,3 juta hektar lahan di 27 propinsi dengan kerusakan yang lebih hebat. Dari luasan tesebut 80 % -nya merupakan areal bekas pembalakan. Kebakaran hutan kembali terjadi pada tahun 1991 pada 0,5 juta hektar lahan di 23 propinsi dengan fokus di Kalimantan, dan hampir 5 juta hektar lahan di 24 propinsi terbakar pada tahun 1994 (Forest & Land Fires in Indonesia; Plan of Action for Fire Disaster Management; United Nations Development Program (UNDP), September 1998, Volume 2; Slide Pelatihan Pencegaan Kebakaran Hutan 2001).


Pada tahun 1994 untuk pertama kalinya kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia menyeberang ke negara tetangga terutama ke Singapura dan Malaysia (BAPPENAS, 1999; FWI-GFW, 2001). Dengan kejadian pada tahun 1994 ini negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) mulai membicarakan kebakaran hutan di Indonesia sebagai masalah regional (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998; FWI-GFW, 2001).

Fenomina El-Nino kembali muncul pada 4 tahun kemudian yakni, pada tahun 1997/1998, dimana kebakaran hutan terjadi di 25 propinsi di Indonesia dengan fokus di Kalimantan dan Sumatera. Dilaporkan berdasar rekaman SATELIT NOAA titik api (hot spots) mulai terlihat pada bulan Juli 1997 dalam jumlah yang relatif kecil kemudian terus meningkat secara dramatis pada bulan Agustus dan September.  Api mulai reda pada bulan Desember, namun mulai muncul kembali pada bulan Januari 1998 dan mencapai puncaknya pada bulan Maret-April kemudian reda di bulan Mei 1998.

Luas lahan yang terbakar dalam kebakaran hutan tahun 1997/1998 ini mencapai hampir 9.8 juta hektar, kabut asap tebal yang dihasilkan menyelimuti areal hingga jarak 1.000 mil pada kawasan seluas 1 juta kilometer. Kabut asap juga telah mengakibatkan jarak pandang menjadi terbatas antara 20-50 meter sehingga banyak penerbangan dari dan ke daerah Kalimantan dan Sumatera dibatalkan. Bahkan penyebaran kabut asap tersebut sampai ke Singapura dan Malaysia yang berdampak pada memburuknya hubungan bilateral dengan kedua negara tersebut. 

Belum lagi hilang bekas duka kebakaran hutan tahun 1997/1998, El-Nino kembali melanda negeri ini pada tahun 2000. Kebakaran hutan kembali terjadi pada areal 2.960.000 hektar (hutan seluas 616 hektar dan lahan perkebunan seluas 12.830,76 hektar) di 7 propinsi. Walaupun luas lahan yang terbakar relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan kebakaran hutan tahun 1997/1998, namun kabut asap tebal yang dihasilkan menyebar jauh sampai ke daerah Thailand bagian Selatan.

Sejak tahun 2001 sampai sekarang, fenomena El-Nino dilaporkan belum terjadi, sehingga kebakaran hutan dan lahan relatif terkendali. Sajak tahun itu (1999-2005), rata-rata luas lahan yang terbakar hanya berkisar 11,737.14 hektar (Departemen Kehutanan; WWW/Wikipedia, 2010).

Penyebab Kebakaran Hutan
Secara umum dapat dilihat bahwa proses reaksi oksidasi exothermic yang melibatkan 3 unsur utama (oksigen, bahan bakar, api/faktor pemicu) yang terjadi di kawasan hutan dan lahan disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Dalam proses kebakaran hutan kedua faktor ini berfungsi sebagai unsur pemicu. Menurut Widodo (2005) kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia hampir 99 % disebabkan oleh faktor manusia baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan tersebut secara rinci adalah sebagai berikut: kegiatan konversi lahan menyumbang 34 %, peladangan liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan sosial 14,5 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam.

Diagram di atas memberikan gambaran bagi kita bahwa keberadaan api sebagai unsur pemicu banyak disebabkan oleh aktivitas/kegiatan manusia sementara yang disebabkan oleh alam hanya 1 % saja. Hal ini berarti pada awalnya keberadaan api pada dalam proses kebakaran hutan merupakan faktor yang disengaja oleh manusia, walaupun pada awalnya manusia tidak sengaja untuk membakar hutan (atau karena kelalaian). 

Sebagai contoh kita ambil kebakaran hutan karena api sisa api unggun saat manusia berkemah di dalam kawasan hutan dan api yang sengaja dibuat untuk membakar/mengasapi ikan/daging hasil buruan. Pada dua contoh tersebut awalnya keberadaan api disengaja dan dibutuhkan oleh manusia serta dalam kondisi terkontrol/terkendali sehingga memberi manfaat. Setelah kegiatan selesai manusia tersebut tidak mengira bahwa api yang dia tinggalkan dalam keadaan hidup, terterpa angin atau binatang sehingga menjalar kebenda-benda lain seperti rumput kering, semak dll, yang semakin lama-semakin membesar dan sulit dikendalikan.

Banyak kejadian kebakaran hutan terutama di Kalimantan dan Sumatera berawal seperti contoh di atas, namun dalam skala dan intensitas yang lebih besar, tidak hanya sekedar api unggun atau api untuk mengasapi ikan, akan tetapi api untuk membersihkan lahan dalam menyiapan lahan pada kegiatan peladangan masyarakat atau perkebunan. Dalam kejadian kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera sebagian besar api berawal dari ladang masyarakat, hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan pada saat kegiatan persiapan lahan dengan cara membakar. Dalam kegiatan pembersihan lahan tersebut dari awal api yang terbentuk memang sudah besar dan sulit dikendalikan sehingga menimbulkan api loncat dan menjalar keluar kawasan ladang atau perkebunan ke hutan sekunder dan terus menjalar ke hutan primer.

Dampak Kebakaran Hutan 
Berbicara dampak maka akan menyangkut dua hal, yaitu positif dan negatif. Dampak positif merupakan akibat dari adanya sebab yang membawa manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh manusia. Sedangkan dampak negatif diartikan sebagai akibat dari adanya sebab yang tidak membawa manfaat atau bahkan merugikan kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dampak positif kebakaran berkaitan erat dengan manfaat api dalam kehidupan sehari-hari, sementara dampak negatif merupakan hal-hal yang merugikan karena adanya api. Dalam kehidupan kita pasti terasa ada yang kurang jika tidak ada api. Jika tidak ada api maka kita tidak dapat memperoleh makanan atau minuman yang steril, kehidupan malam terasa gelap gulita dan lain-lain. Dalam kehidupan kita, api akan sangat bermanfaat manakala dia bisa kita kendalikan sehingga dapat dijadikan alat atau sarana untuk pemenuhan kebutuhan kita seperti untuk lampu penerangan, kompor dll. Sebaliknya jika api tidak dapat kita kendalikan maka bisa dipastikan dia akan menimbulkan dampak negatif bagi kita dan lingkungan kita seperti kebakaran rumah, kebakaran hutan dll.


1. Dampak positif dari kebakaran hutan dapat diperoleh dengan syarat-syarat sebagai berikut : Proses kebakaran dapat dikendalikan, artinya tingkah laku api yang tercipta dapat dikontrol secara seksama sehingga tidak menjalar atau meloncat (api loncat) keluar daerah yang dimaksud. Untuk memenuhi syarat ini maka hendaknya:

  • Tidak melakukan pembakaran pada periode yang terlalu kering.
  • Tidak membakar pada waktu angin bertiup kencang,
  • Membuat sekat bakar sebelum melakukan pembakaran.
2. Terjadi pada daerah yang tidak begitu luas. Hal ini untuk membatasi pergerakan api agar mudah dikontrol dan dikendalikan, sehingga tidak menimbulkan tingkah laku api yang ekstrim (tidak terkendali).

3. Frekuensi terjadinya kebakaran pada suatu tempat yang sama tidak terlalu sering.

Dengan demikian kebakaran pada kawasan hutan dan sekitarnya akan memberikan dampak positif jika dapat dikendalikan, tidak terjadi pada areal yang luas dan tidak terjadi pada tempat yang sama secara terus-menerus. Sementara dampak negatif ini timbul jika proses kebakaran tidak dapat dikendalikan dan keluar dari areal yang disengaja untuk dibakar, sehingga manfaat yang diharapkan berubah menjadi bencana yang merugikan dan bahkan mengancam keselamatan jiwa. Besar atau kecilnya dampak negatif ini sangat bergantung pada besar/kecilnya skala kebakaran, semakin besar skala kebakaran semakin besar pula dampak negatif  yang ditimbulkan. 

Menurut International Development Research Centre & Institute of Southeast Asian Studies Singapore, (1999) yang dikutip Departemen Kehutanan dan ITTO (2003), setidaknya kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan tahun 1997/1998 mencakup aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi, politik dan kesehatan. Sementara menurut BAPPENAS (1999) dalam FWI-GFW (2001) total kerugian dari semua aspek tersebut jika dikonversi kedalam nilai finansial mencapai angka US$ 9.298,00- juta. 

Dari angka tersebut ternyata kerugian terbanyak dialami oleh sektor kehutanan, baik berkaitan dengan manfaat hutan secara langsung (tangible) seperti nilai tegakan/kayunya dan non kayu, maupun manfaat tidak langsung (in tangible) seperti penyimpanan karbon, penanggulangan banjir, dll. Total kerugian kebakaran hutan khusus sektor kahutanan pada kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 mencapai nilai US$ 6.151,00 juta (lihat dalam tabel).

Tabel Penafsiran Nilai Kerugian Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan

Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Walau peristiwa kebakaran hutan baru tercatat sejak tahun 1982, namun sebenarnya usaha-usaha pencegahan dan penanganannya telah dilakukan jauh sebelum tahun tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen-dokumen penting kenegaraan yang mengisyarakat ada penanganan terhadap peristiwa kebakaran hutan. Dalam catatan sejarah upaya penanganan kebakaran hutan di Indonesia telah dilaksanakan sejak sebelum kemerdekaan, yaitu pada masa Pemerintah Kolonial Belanda sampai sekarang. 

Untuk lebih memudahkan penanganan secara hukum Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur penanganan kebakaran hutan. Berdasarkan Pasal 50 Huruf d, UU No 41 Tahun 1999 disebutkan “Setiap orang dilarang : membakar hutan”.  Pelanggaran terhadap pasal 50 Huruf d, tersebut di atas karena kelalaian dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 milyar.

Pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Beberapa catatan penting yang terdapat dalam PP Nomor 4 tahun 2001 adalah:
  1. Bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan kegiatan pembakaran hutan/lahan (pasal 4).
  2. Setiap orang wajib untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan atau lahan dilokasi kegiatannya (pasal 12 dan pasal 17).
  3. Setiap orang wajib melakukan pemulihan terhadap akibat dari kebakaran hutan dan atau lahan (pasal 20).
  4. Secara institusional kewenangan pengendalian kebakaran hutan dilakukan secara berjenjang, yaitu:
Menteri Kehutanan bertanggung jawab mengkoordinir pengendalian kebakaran hutan lintas propinsi dan lintas negara (pasal 23). Gubernur bertanggung jawab dalam hal mengkoordinir pengendalian kebakaran hutan lintas kabupaten  dan atau kota (pasal 27 dan 28). Pemerintah kabupaten dan kota sebagai instansi terdepan yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab secara operasional dalam pengendalian kebakaran hutan (pasal 30 dan 31).

Belajar dari peristiwa kebakaran hutan yang selama ini terjadi, kemudian pemerintah menetapkan daerah rawan kebakaran hutan dari tingkat kerawanan I sampai IV. Daerah Rawan I merupakan daerah yang sangat potensial dan atau sering terjadi kebakaran hutan dan lahan sehingga perlu penanganan lebih intensif dari Daerah Rawan II, III dan IV. Daerah rawan kebakaran hutan tersebut antara lain sebagai berikut:
  • Daerah Rawan I : Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimatntan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah;
  • Daerah Rawan II: meliputi Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT);
  • Daerah Rawan III: Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Bengkulu, Bangka, Belitung, Jawa Tengah, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku Utara, Maluku Selatan, Papua, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Gorontalo;
  • Daerah Rawan IV: Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Kebakaran Hutan dan Lahan Di Papua
Papua yang kondisi alamnya relatif lebih bagus dari pada Indonesia Bagian Barat, memiliki kondisi iklim yang relatif lebih stabil. Hampir tidak ada bulan tanpa hujan, bahkan Papua merupakan daerah satu-satunya di Indonesia yang sangat sulit dipotret oleh citra satelit karena senantiasa tertutup oleh awan/mendung. Dengan kondisi alam yang demikian, itu kebanyakan orang mengira bahwa Kebakaran hutan dan lahan tidak mungkin terjadi di Papua. Anggapan tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, kerena beberapa daerah di Papua ternyata juga rawan kebakaran hutan dalan lahan. Menurut data Bappenas, 1999, pada tahun 1997/1998 di Papua terjadi kebakaran hutan dengan luasan mencapai 1 juta ha, lebih dari 10 % dari total hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar waktu (FWI-GFW, 2001). Jika hal ini dikonversi dalam nilai uang maka kerugian atas kebakaran hutan dan lahan di Papua waktu itu yang terjadi sekitar US$ 929,80 juta atau Rp 8.4 triliun. sebuah angka yang sangat fantastis hampir sama dengan anggaran APBD Papua Barat.

Kejadian yang cukup hangat adalah kebakaran hutan yang terjadi di Kota Sorong pada akhir tahun 2009 dan awal 2010. Berdasarkan laporan Kepala SKW II Sorong, di TWA Sorong telah terjadi kebakaran hutan pada lahan seluas 2,306 ha (1.122 ha masuk dalam kawasan hutan dan 1.148 ha lahan perkebunan/ladang masyarakat). Sementara berdasarkan pantauan penulis, terlihat bahwa sebagian besar hutan dan lahan di Kota Sorong telah terbakar. Penyebab kebakaran hutan di Kota Sorong secara umum sama dengan apa yang terjadi secara nasional, yaitu kelalaian masyarakat. 

Kebakaran hutan dan lahan di Kota Sorong mungkin hanya kasus kecil dari apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Namun sekecil apapun kejadian ini harus ditangani dengan serius agar apa yang telah terjadi Kalimantan dan Sumatera tidak terulang di Papua, sehingga sumber daya alam Tanah Papua akan tetap lestari dan masyarakat sejahtera.

Sumber :
  • ----------- 2002. Alat Bantu Pengajaran Diklat Pencegahan Kebakaran Hutan, Departemen   Kehutanan dan ITTO. Bogor.
  • Keputusan Dirjen PHKA Nomor 21/Kpts/DJ-IV/2002. 2002. tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Di Indonesia. Jakarta
  • Kusumoantoro. 2004. Penyusunan Rancangan Kebakaran Hutan. Bogor. (tidak dipublikasikan).
  • Triwibowo dan Widodo. 2005. Melihat, Mendengar dan Merasakan di Dalam Hutan adalah Kunci Menjadi Rimbawan Profesional. Departemen Kehutanan dan JICA. Jakarta
  • http//id.wikipedia.org/Kebakaran Liar. 2010.
Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut





PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI TWA SORONG (Edisi 5 2010)

Pendahuluan
Kawasan hutan konservasi TWA Sorong berbatasan langsung dengan lahan pertanian/perkebunan/pemukiman masyarakat. Selama kurang lebih 4 bulan belakangan, cuaca di Kota Sorong dan sekitarnya terasa sangat panas, karena hujan lebat yang biasa turun, jarang terjadi. Bagi masyarakat saat-saat seperti merupakan waktu yang tepat untk melakukan pembersihan lahan pertanian/kebunnya (land clearing) dengan cara membakar tumbuhan dan semak-semak serta membuat perapian pada camp. Hal ini karena kondisi semak belukar atau bahan bakar dalam kondisi kering sehingga jika dibakar akan cepat habis dan tanahnya siap diolah, lebih-lebih jika didukung oleh hembusan angin yang kencang.

Kegiatan masyarakat dalam membakar/membuka lahannya di atas jika tidak diawasi secara ketat akan sangat membahayakan keberadaan TWA Sorong. Dimana api yang berasal dari lahan masyarakat tersebut dengan cepat akan menjalar ke kawasan TWA Sorong. Hal ini sebagaimana telah terjadi pada bulan Februari 2010 yang lalu, beberapa titik api yang berasal dari lahan masyarakat telah menjalar kekawasan TWA Sorong.

Kronologis Penanggulangan
Kronologis penanggulangan kebakaran hutan dan lahan pada TWA Sorong adalah sebagai berikut :
1. Titik Api I
Kebakaran pertama terjadi pada hari selasa tanggal 9 Februari 2010 sekitar jam 16.00 Wit, lokasi berada di lahan perkebunan milik keluarga Ramandey yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Sorong pada pal TWA 43 - 44. Kebakaran terjadi karena pemilik lahan membuat perapian di camp namun setelah meninggalkan lokasi kebun lupa memadamkan perapian. Api cepat menjalar dan tidak terkendali dikarenakan selain kondisi tumbuhan dan tanaman (sebagai bahan bakar) mengering juga angin bertiup cukup kencang.

Tim pemadam kebakaran yang terdiri dari Polhut, Pam Swakarsa, dan pemilik lahan melakukan penanggulangan kebakaran lahan dengan cara memadamkan api menggunakan kepyok dimulai pada jam 17.00 Wit sampai dengan jam 21.00 Wit namun api belum bisa dipadamkan. Hal ini dikarenakan keterbatasan peralatan khususnya chainsaw dan pompa air.

Kemudian pada keesokan harinya pada tanggal 10 Februari 2010 pukul 04.00 Wit, pemilik lahan tersebut melanjutkan upaya pemadaman yang kemudian dilanjutkan bersama Tim yang tiba dengan peralatan tambahan pada jam 07.00 Wit.  Kebakaran pada lokasi ini dapat dipadamkan pada jam 15.00 Wit.

2. Titik Api II
Kebakaran lahan terjadi pada hari rabu tanggal 10 Februari 2010 sekitar pukul 12.00 Wit, lokasi titik api berada pada lahan yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Sorong pada pal TWA 33. Informasi diperoleh Tim Penanggulangan kebakaran dari kelompok Pamswakarsa, namun Tim tidak dapat langsung menanggapinya karena masih fokus pada titik api I.

Sekitar pukul 15.00 Wit, 1 (satu) regu pemadam kebakaran dikirim untuk memadamkan titik api tersebut dengan menggunakan peralatan sederhana (kepyok). Tim membutuhkan waktu 2 (dua) jam untuk dapat memadamkan api yang berada pada lahan yang ditumbuhi semak-semak kering. 

3. Titik Api III
Pada hari rabu tanggal 10 Februari 2010, petugas resort KSDA Sorong menemukan adanya kebakaran lahan yang berbatasan langsung dengan kawasan TWA Sorong pada pal TWA 5. Lahan yang terbakar berupa kebun milik Anton Kehek. 

Penanggulangan dilakukan oleh 1 (satu) regu pada pukul 15.00 Wit karena pada waktu yang sama regu yang lainnya melakukan pemadaman pada titik api II. Upaya pemadaman kebakaran pada lokasi titik api ini menggunakan peralatan sederhana berupa kepyok dan batang pohon pisang. Api pada lokasi titik api ini dapat dipadamkan pada jam 17.00 Wit.

Pengawasan dan Pemetaan Lokasi Pasca Kebakaran
Pengawasan terhadap lokasi pasca kebakaran dilakukan oleh petugas Resort KSDA Sorong bersama kelompok Pamswakarsa pada hari kamis tanggal 11 Februari 2010. Pengawasan dilakukan dengan mengecek kembali bekas lokasi kebakaran untuk memastikan tidak ada lagi api yang dapat menimbulkan kebakaran karena angin masih bertiup dengan kencang.

Setelah dipastikan bekas lokasi kebakaran sudah bersih dari api maka pada hari jumat tanggal 12 Februari 2010 dilakukan pemetaan lokasi kebakaran oleh Tim. Berdasarkan hasil pemetaan dikatahui bahwa pada titik api I kebakaran telah menjalar ke kawasan TWA Sorong dengan luasan 1,122 ha, dan luas total hutan dsn lahan yang terbakar dalam 3 hari tersebut telah mencapai 2,306 ha, lihat tabel berikut.

Tabel Luas Hutan dan Lahan Yang Terbakar di Sekitar TWA Sorong


Oleh : Asnani Abdi