Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Rabu, 07 September 2011

Cagar Alam Pegunungan Arfak (Edisi 9 2011)


Letak dan Luas
CA Pegunungan Arfak ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 783/Kpts-II/1992 tanggal 11 Agustus 1992 seluas + 68.325,00 hektar. CA Pegunungan Arfak secara geografis membentang di Pulau Papua Bagian Kepala Burung pada koordinat 133°460’ – 134°150' E, 00' – 1°30’ S dengan ketinggian antara 15 meter hingga 2.900 meter di atas permukaan laut. Secara administrasi pemerintahan, CA Pegunungan Arfak termasuk dalam 8 (delapan) wilayah kecamatan atau distrik, yaitu Menyambouw, Membey, Hingk, Tanah Rubuh, Warmare, Manokwari Selatan, Ransiki dan Oransbari Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Menurut administrasi pengelolaan hutan, CA Pegunungan Arfak berada dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Bintuni Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Manokwari BBKSDA Papua Barat.

Potensi Hayati
Berdasarkan ketinggiannya kawasan CA Pegunungan Arfak memiliki perwakilan tipe ekosistem yang cukup lengkap dengan tiga tipe ekosistem hutan yang utama yaitu, (1) Hutan hujan dataran rendah – lowland forest (<300 meter), (2) Hutan hujan kaki gunung – foothill forest (300-1.000 meter) dan (3) Hutan hujan lereng pegunungan – lower montane forest  (1.000 - 2.800 meter). Kawasan CA Pegunungan Arfak menjadi tempat koleksi biologi pertama di Papua yang dikembangkan oleh Peneliti Eropa Lesson, Beccari dan Albertis pada tahun 1824-1827 dan 1872-1875. Hasil survei FAO pada tahun 2005 menemukenali 2.770 jenis anggrek di CA Pegunungan Arfak dan mendapati jenis anggrek yang menarik dan paling indah yakni Flame Of Irian (Mucuna novaeguinea) yang berwarna khas merah merona hitam dan merupakan spesies yang langka di dunia dan hanya dapat ditemukan di CA Pegunungan Arfak. Berbagai jenis kupu-kupu sayap-burung (Ornithoptera spp.) yang menjadi buruan kolektor kupu-kupu internasional hidup di kawasan ini dengan populasi yang masih cukup tinggi ada 6 (enam) jenis. Kupu-kupu sayap-burung (Ornithoptera arfakensis, O. rohchildi) yang paling menarik perhatian para peneliti berkunjung ke CA Pegunungan Arfak, kini keberadaannya terancam kepunahan meskipun sudah ditangkarkan oleh masyarakat suku Arfak. Di dalam kawasan CA Pegunungan Arfak diperkirakan terdapat 110 spesies mamalia dengan 44 spesies yang telah tercatat, 320 spesies aves, dimana 5 (lima) diantaranya merupakan satwa endemik di Kawasan Pegunungan Arfak-Tambrauw seperti, Cendrawasih Arfak (Astrapia nigra), Parotia barat (Parotia sefilata), dan Namdur polos (Amblyornis inornatus).

Atraksi Wisata
Beberapa lembaga dan pengatur perjalanan, seperti Yayasan Paradisea di Manokwari, telah memasarkan sumber daya kawasan (burung pintar) dan budaya (‘rumah kaki seribu’ atau dalam bahasa lokal disebut Mod Aki Aksa atau Igkojei) sebagai eco-tourism. Rumah kaki seribu yang oleh suku Sough disebut Tumisen, terkenal dengan tahan lama dan kokoh, karena tiangnya banyak terbuat dari jenis kayu bua yang tidak mudah patah meskipun hanya berdiameter 5-10 sentimeter. Karena tiang yang dibutuhkan cukup banyak, rumah tradisional ini  disebut ‘rumah kaki seribu.


Aksesibilitas
CA Pegunungan ini dapat ditempuh dari kota Manokwari dengan kendaraan roda 4 dan dilanjutkan dengan berjalan kaki, baik melalui jalan di sisi Timur maupun Barat kawasan. Berbeda dengan sarana jalan di belahan Barat yang kurang baik, di belahan Timur kawasan dapat dicapai melalui jalan yang cukup bagus sampai Distrik Oransbari.
Isu-Isu Konservasi
Beberapa isu konservasi terkait dengan pengelolaan CA Pegunungan Arfak antara lain:

  1. Pemekaran Kabupaten Manokwari menjadi dua kabupaten.
  2. Keadaan pal-pal batas yang saat ini tidak dapat ditemukan pada bagian kawasan rawan perambahan.
  3.  Data potensi kawasan yang sangat terbatas.

Sumber
Rencana Pengelolaan Jangka Panjang CA Pegunungan Arfak BBKSDA Papua Barat 2010

Rabu, 17 Agustus 2011

PELEPASLIARAN SATWA DILINDUNGI NURI KEPALA HITAM ( Lorius lorry ) (Edisi 9 2011)



Jumat, 22 Januari 2011 di TWA Sorong telah dilakukan pelepasan burung Nuri (Lorius lorry). Burung ini merupakan hasil tangkapan dari masyarakat yang telah dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku. BKSDA Maluku telah menunjuk TWA Sorong yang merupakan salah satu kawasan konservasi lingkup Balai Besar KSDA Papua Barat sebagai tempat pelepasliaran. Tentunya pelepasliaran ini mengingat burung ini merupakan burung endemik di pulau Papua. Sebanyak 8 ekor burung telah dilepasliarkan. Burung-burung ini telah lolos uji kesehatan dari pihak karantina Sorong. 

Pelepasliaran ini telah dilakukan serah terima burung dari pihak BKSDA Maluku kepada Kepala Balai Besar KSDA Papua Barat dan disaksikan oleh pihak BKSDA Maluku, karantina Sorong,  dan BBKSDA Papua Barat.

Burung  burung ini telah merasakan kebebasan di alamnya setelah dilakukan pelepasliaran. Mereka merasa bebas dan leluasa. 

Oleh : Tim Redaksi Buletin Konservasi Kepala Burung

PAHLAWAN PENYU BELIMBING (Edisi 9 2011)

SEKILAS TENTANG MASA TUGAS
Setelah lulus SKMA Manokwari memulai karir sebagai kepala survey dan pengawas blok RKT dan RKL pada HPH PT. Wapoga Mutiara Timber Grup (anak perusahaan KLI) selama kurun waktu 1994 - 1998. Dimulai pada tahun 1994 bertugas di Base Camp PT. Wapoga Mutiara Timber Group yang terdapat di derah Urfas Waropen Atas atau lebih di kenal dengan nama Wapoga Kampung tepatnya berada di tepi sungai Wapoga. Tahun 1995 dan tahun 1996 berhasil mengajak 3 (tiga) suku terasing keluar dari hutan ke kampung Wapoga yaitu suku Burate, Demisa, dan Sodate. Tahun 2000 lulus tes PNS dan SK Penempatan di Sub Balai KSDA Papua II yang sekarang menjadi Balai Besar KSDA Papua Barat dan mulai bertugas di  Kawasan Suaka Margasatwa Jamursba Medi Distrik Sausapor pada tanggal 15 Juni tahun 2000. Tahun 2004-2007 di kontrak oleh WWF Region Sorong untuk melakukan monitoring dan pendataan Penyu Belimbing di Pantai Jamursba dan Warmon. Selain itu ia juga terlibat langsung dengan kegiatan Penelitian yang di lakukan oleh NOAA dan UNIPA.

PROFIL

  • Nama : Betuel Samber
  • NIP : 19690731 200003 1 001
  • Jenis Kelamin : Laki-laki
  • Status : Sudah menikah
  • Agama : Kristen Protestan
  • Pekerjaan : PNS pada Balai BKSDA Papua Barat
  • Alamat Rumah : Jl. Sorong - Teminabuan Km. 16, Kelurahan Klablim  Kompleks Kolam Buaya

PROGRAM KEGIATAN dan PENGHARGAAN
1. Program Kegiatan
Program-program yang sudah dilakukan mengacu pada isu-isu terkait pengelolaan habitat dan populasi penyu di Pantai Jamursba Medi dan Pantai Warmon dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

2. Penghargaan
Mendapatkan Medali dan Piagam sebagai  ” Conservation Hero 2010” dari Disney Wordwide Conservation Fund dan SOLO (Save Our Leatherback Operation).

Oleh : Tim Redaksi Buletin Konservasi Kepala Burung

Selasa, 16 Agustus 2011

Kelayakan TWA Sorong Sebagai Kawasan Hutan Sumber Benih (Edisi 9 2011)



    Taman Wisata Alam Sorong merupakan suatu kelompok hutan yang terletak antara tanjung Sorong dan Sungai Warsamson seluas ± 945,9 Ha telah ditetapkan dengan SK Manteri Pertanian Nomor : 397/Kpts/Um/5/1981, tanggal 7 Mei 1981 sebagai kawasan dengan fungsi sebagai taman wisata dengan nama “Taman Wisata Alam Sorong”. Kawasan ini berada pada pemerintahan Distrik Sorong Timur Kota Sorong Provinsi Papua Barat. Dan kawasan ini berada dibawah wilayah kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat.

Benih bermutu genetik unggul hanya dapat diperoleh dari sumber benih yang dikelola dengan baik, yaitu dengan menerapkan pengetahuan pemuliaan pohon dalam pengelolaannya, volume produksi kayu per satuan luas, daya tahan terhadap hama dan penyakit serta dapat memperpendek daur tanaman sehingga sangat menguntungkan dalam pengusahaannya. Dengan kata lain, benih unggul secara genetik merupakan faktor yang sangat efektif dan efisien guna meningkatkan keuntungan dalam bisnis pembangunan hutan tanaman.

Beberapa aspek yang merupakan kendala dalam penyediaan benih bermutu genetik unggul tersebut antara lain :
  1. Masih kurangnya sumber  sumber benih seperti kebun benih dan tegakan benih lainnya yang secara khusus memang diperuntukan untuk menghasilkan benih yang berkualitas tinggi.
  2. Lemahnya manajemen tentang pembangunan dan pemeliharaan sumber benih, sehingga sumber benih yang ada belum dimanfaatkan secara baik oleh pengelola, pemilik dan pengguna.
  3. Lemahnya sistem evaluasi sumber benih sehingga berdampak pada belum optimalnya pemanfaatan sumber benih.
  4. Belum tersusunnya petunjuk teknis pembangunan, identifikasi dan deskripsi serta evaluasi sumber benih.

Aspek lain seperti belum diterapkannya metode dan atau teknik pembangunan sumber benih yang baik.

Pustaka
Total luas hutan tanaman Damar (Agathis labillardieri Warb) di kelurahan Klablim adalah seluas 284,8 Ha, yang ditanam sejak tahun 1956 sampai tahun 1964. Pembungaan Damar (Agathis labillardieri. Warb)  di Taman Wisata Alam Sorong ini terjadi pada minggu III dan IV bulan Desember. Produksi buah/pohon  sebanyak 83 buah dengan persentase biji berisi dalam setiap kerucut sebanyak 81% dalam setiap kerucut. Dalam satu buah, jumlah benih 88  90 pada musim panen yang baik. (Balai Penelitian Kehutanan Manokwari).

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1976), Struktur vegetasi dapat dikatakan mencapai pertumbuhan klimaks apabila terdiri dari beberapa lapisan/strata tajuknya. Adapun pembagian stratifikasi dapat dicirikan sebagai berikut :
  • Startum A, merupakan lapisan teratas yang terdiri dari pohon  pohon dengan tinggi lebih dari 30 meter bentuk tajuknya tidak merata, batang bebas cabang tinggi.
  • Stratum B, merupakan lapisan kedua yang mana terdiri dari pohon  pohon yang tingginya antara 20 - 30 meter, tajuknya pada umumnya merata, pada batang pohon biasanya banyak cabang dan tidak begitu tinggi. 
  • Stratum C, merupakan lapisan ketiga dimana terdiri dari pohon  pohon yang tinginya antara 4 - 20 meter, pohon  pohon pada stratum ini rendah dan biasanya banyak cabang.
  • Stratum D, merupakan lapisan pohon perdu dan semak dan anakan pohon, yang tingginya antara 1  4 meter.
  • Stratum E, merupakan lapisan tajuk tumbuh  tumbuhan penutup tanah (cover) dengan tinggi kurang dari 1 meter.

Kusmana dan Istomo (1995) membedakan lapisan lapisan masyarakat tumbuh  tumbuhan sebagai berikut :
  1. Tingkat semai, apabila pohon  pohon yang mempunyai tinggi antara 0,3 sampai 1,5 meter.
  2. Tingkat pancang, apabila pohon  pohon yamg mempunyai tinggi antara > 1,5 dengan diameter < 10 cm.
  3. Tingkat tiang, apabila pohon  pohon yang mempunyai diameter antara 10 cm  19 cm.
  4. Tingkat pohon inti, apabila pohon  pohon yang mempunyai diameter antara 20 cm  49 cm.
  5. Tingkat pohon besar, apabila pohon  pohon yang mempunyai diameter > 50 cm.

Kriteria umum kelayakan sumber benih yang baik yang ditetapkan oleh Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Departemen Kehutanan adalah :

1. Aksesibilitas mudah
Tegakan diterima sebagai calon sumber benih jika mudah dikunjungi, dekat jalan dan topografi yang ringan. Sehingga mudah untuk dilakukan kegiatan pengamatan bunga dan buah setiap musim, pengumpulan dan pengangkutan benih dan pekerjaan lainnya.
2. Jumlah pohon
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika jumlah pohon cukup yaitu minimal 25 pohon. Pada hutan alam jarak antar pohon minimal 100 m, dan pada hutan tanaman jarak minimum tidak menjadi persyaratan.
3. Kualitas tegakan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika kualitasnya termasuk rata  rata hingga diatas rata-rata. Penentuan kualitas tegakan ini tergantung pada produk yang dihasilkan apakah sebagai kayu pertukangan pulp getah, daun, dsb. 
4. Pembungaan dan Pembuahan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika terlihat berbunga atau berbuah, ada infiormasi telah berbunga atau berbuah, dibawah tegakan terlihat banyak anakan atau terlihat sisa-sisa bunga dan buah yang gugur. 
5. Keamanan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika bebas dari perambahan, penyerobotan, penebangan liar, tebang pilih, gangguan ternak dan kebakaran.
6. Kesehatan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika bebas atau sedikit terserang hama penyakit, yang terlihat dari ciri-ciri kematian pohon yang acak dalam jumlah kecil dan tidak mengelompok.

Tegakan akan diterima sebagai sumber benih jika semua tolak ukur diatas dapat terpenuhi. Sebaliknya tegakan akan ditolak sebagai sumber benih jika salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi.

Kelayakan TWA. Sorong Sebagai Sumber Benih Ditinjau Dari Syarat Kebun Benih :
1. Aksesibilitas 
TWA. Sorong terletak di tengah kota Sorong, hal ini merupakan suatu keunggulan karena ada lokasi hutan di tengah kota, di samping itu kawasan ini berbatasan dengan jalan utama, sehingga mudah untuk dijangkau. 
2. Jumlah pohon
Tegakan Damar (Agathis labillardieri. Warb.) yang merupakan hutan tanaman yang ditanam  sejak tahun 1956 sampai tahun 1964 memiliki luas hutan 284,8 Ha. yang memiliki jumlah rata  rata per hektar lebih dari 25 pohon.
3. Kualitas tegakan
Kualitas tegakan untuk tegakan Damar (Agathis labillardieri. Warb.) pada TWA. Sorong memiliki kualitas yang tidak diragukan lagi dari segi peruntukannya baik untuk kayu pertukangan, maupun untuk dimanfaatkan getahnya. Hal ini dapat dilihat dari kwalitas tegakan yang sudah merupakan stratum A (diatas 30m) dan memiliki Ø (dimeter) rata-rata ≥ 50cm, disamping itu pula banyaknya getah (damar) yang keluar dengan sendirinya dari batang pohon Damar.
4. Pembungaan dan Pembuahan
Dengan usia tegakan yang cukup tua yang berkisar antara 47-55 tahun sudah dapat dipastikan bahwa tegakan damar pada kawasan ini telah mengalami pembungaan dan pembuahan disamping itu hal ini dapat didukung dengan bukti banyaknya anakan  anakan damar di bawah tegakan, disamping banyaknya siasa  sisa bunga dan buah yang gugur di bawah tegakan.
5. Keamanan
Dengan letaknya yang dekat dengan kantor pusat BBKSDA Papua Barat secara otomatis pengawasan terhadap kawasan ini akan menjadi prioritas utama sehingga penyerobotan dan penebangan liar bisa ditekan sekecil mungkin.
6. Kesehatan
Angka kematian tegakan damar pada kawasan ini cukup kecil, hanya berupa pohon tumbang karena sistem perakaran yang lemah akibat erosi dan beberapa tegakan mengalami kekeringan akibat usia yang cukup tua.

Secara keseluruhan 6 (enam) syarat yang ditentukan oleh Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Kehutanan untuk suatu tegakan bisa ditetapkan sebagai sumber benih telah dipenuhi oleh TWA Sorong. Kini bagaimana kawasan ini ditetapkan sebagai sumber benih sehingga intensitas pengelolaan TWA Sorong bisa lebih ditingkatkan, di samping itu kebutuhan akan bibit dalam upaya reboisasi ataupun penghijauan bisa dipenuhi dari kawasan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1981. Mengenal Sifat  Sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Anonymous, 1999. Undang  undang Kehutanan No. 41 Departemen Kehutanan. 
Arief, A.2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 
Buletin Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, 1996.
Informasi Singkat Benih. 2001, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan.
Dr. Ir. C. Kusuma, MS dan Ir. Istomo, MS. 1995.  Ekologi Hutan Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Marsono, DJ. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe  Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan Universitas Gadja Mada. Yogyakarta.
Petunjuk Teknis Identifikasi dan Deskripsi Benih. 2003, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan, Jakarta.

Penulis : Abd. Latif Lestaluhu

Jumat, 12 Agustus 2011

Peningkatan Pengunjung di TWA Sorong (Edisi 9 2011)


Semakin hari orang semakin disibukan dengan berbagai aktivitas pekerjaannya. Begitulah yang tergambar pada masyarakat Sorong secara luas saat ini. Kota yang semakin hari semakin berkembang dengan adanya pembangunan. Kondisi pasar perdagangan yang terus melaju telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setempat. Namun dengan fenomena tersebut tentunya ada dampak negatif yang harus diperhatikan, yaitu masyarakat semakin hari semakin sibuk, jalanan semakin macet dan semrawut, hingga memicu meningkatnya jumlah tindak kriminal. Dengan melihat berbagai peristiwa tersebut, secara tidak disadari masyarakat membutuhkan ruang tersendiri untuk refreshing, salah satunya adalah TWA Sorong. Secara tidak langsung, hal itu berdampak pada peningkatan kunjungan masyarakat ke TWA Sorong. Banyak masyarakat yang refreshing ke sana. Tidak hanya untuk berwisata saja, akan tetapi banyak kaum pelajar atau yang menamakan organisasi tertentu untuk ikut mengunjungi kawasan dengan maksud yang bermacam – macam, diantaranya melakukan kemah, outbond, penelitian, survey, dll.

Profil TWA Sorong
Secara administrasi TWA Sorong terletak di Distrik Sorong Timur Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, Papua Barat. Kawasan konservasi ini mempunyai luas sebesar ± 945,9 Ha. Kawasan TWA merupakan kawasan konservasi yang dipangku oleh Seksi Konservasi Wilayah II Bidang I Balai Besar KSDA Papua Barat.
A. Fasilitas umum (sarpras) di TWA Sorong
Lokasi TWA Sorong saat ini sudah ada sebagian fasilitas umum yang terbangun, seperti shalter, jalan track di sekitar camping ground, jembatan, dan toilet. Namun sebagian besar sarpras tersebut sudah rusak. Shalter  yang sebelumnya bagus dan bisa digunakan sebagai tempat teduh, saat ini telah rusak berat tidak bisa dipakai karena roboh, bahkan puing – puingnya pun sudah hilang entah kemana.
Camping ground yang menjadi tujuan utama pengunjung saat ini telah tertata rapi. Namun masih perlu dilakukan penyempurnaan lagi. Fasilitas yang ada di camping ground adalah jalan setapak yang sudah bagus, papan informasi panduan mengenai tujuan track jalan, tempat duduk, toilet, dan shalter. Namun yang masih bisa berfungsi secara baik adalah jalur track, tempat duduk, dan papan informasi. Sementara fasilitas yang lain harus diperbaiki dan kedepan harus dirawat secara berkala.

B. Fungsi TWA Sorong
TWA merupakan kawasan pelestarian alam yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Selain itu TWA juga berfungsi sebagai kawasan yang berfungsi untuk pengawetan makhluk hidup dan sebagai tempat perlindungan kawasan/ ekosistem.
TWA Sorong tentunya memberikan kontribusi yang besar terhadap masyarakat sekitar bahkan masyarakat Sorong secara luas. Kondisi alam menjadi terjaga dan berdampak terhadap tercegahnya bencana alam seperti tanah longsor maupun banjir. Masyarakat dapat merasakan manfaatnya diantaranya yaitu sebagai tempat wisata dimana udara iklim mikronya yang terasa segar sehingga memberikan kenyamanan tersendiri. Dengan potensi sumber daya alam yang ada dan sarana prasarana yang sudah tersedia meskipun belum maksimal, tentunya TWA Sorong terbukti bisa digunakan masyarakat umum sebagai alternatif tempat rekreasi alam. Banyak masyarakat luar baik perorangan amupun atas nama organisasi tertentu yang telah melakukan kunjungan ke TWA Sorong dengan maksud yang bermacam – macam, yaitu untuk berwisata, kemah , maupun penelitian/ pendidikan. Dengan adanya intensitas kegiatan masyarakat umum yang semakin meningkat di TWA ini telah memberikan kontribusi terhadap keberadaan TWA Sorong sendiri. Adanya aktivitas tersebut telah memberikan image bagi TWA Sorong bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi alam yang semakin dibutuhkan oleh masyarakat secara umum kedepan. Oleh karena itu, kunjungan ini menjadi salah satu katalis dalam pembangunan TWA Sorong sendiri, sehingga kedepan diharapkan TWA Sorong dapat berfungsi secara optimal.

C. Jumlah Pengunjung di TWA
Berdasarkan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) Januari 2010 - Maret 2011 di Kawasan Konservasi di Papua Barat adalah sebagai berikut:



Sumber : SIMAKSI Januari 2010 – Maret 2011 Balai Besar KSDA Papua Barat

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa pengunjung di kawasan konservasi di Papua Barat sebanyak 978 orang wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Sebanyak 960 kunjungan dilakukan di TWA Sorong dengan maksud tujuan yang berbeda – beda, yaitu wisata sebanyak 85 orang, praktek/ penelitian sebanyak 82 orang, dan kemah/ camping sebanyak 793 orang.


Diagram Kunjungan di TWA Sorong Tahun 2010 dan 2011

 D. Tindak Lanjut Pembangunan Sarpras TWA Sorong
Pembangunan secara intensif sarana prasarana di TWA Sorong tentunya harus segera dilakukan untuk meningkatkan jumlah pengunjung sekaligus memberikan kenyamanan dan memenuhi keinginan para pengunjung. Dengan pembangunan ini tentunya akan memberikan keseimbangan antara fasilitas yang ada dengan antusias pengunjung. Pembangunan TWA Sorong oleh pihak swasta kedepan diharapkan dapat dilakukan oleh pihak yang berani berinvestasi disertai komitmennya tetap menjaga kelestarian sumebrdaya alam yang ada.

E. Tetap menjaga dan meningkatkan promosi
Kegiatan dalam usaha mewujudkan terciptanya pembangunan TWA Sorong sesuai fungsinya tentunya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, terutama masyarakat. Dengan pembangunan yang melibatkan semua pihak ini diharapkan akan meringankan beban yang menjadi permasalahan pengelolaan TWA, sehingga solusinya dapat dipecahkan secara bersama – sama secara bijak sekaligus dapat mengakomodir keinginan semua pihak, terutama bagi masyarakat sekitar kawasan. Hal penting yang selalu dibutuhkan adalah promosi. Kegiatan promosi ini merupakan diseminasi ke masyarakat luas yang sangat penting untuk memberikan informasi terkait daya tarik wisata alam TWA Sorong.  Dengan promosi maka pengunjung diharapkan kedepan semakin banyak dan TWA Sorong dapat dikenal secara nasional bahkan internasional.

Penulis : Alfa Sandy Aprazah, S.Hut.

TINJAUAN BLACK BOX PENGELOLAAN EKOWISATA DALAM KAWASAN YANG DILINDUNGI (Edisi 9 2011)

A. Latar Belakang
            Ekowisata merupakan suatu perjalanan bertanggung jawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata sesungguhnya adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial (Anonim, 1993).
            Strategi untuk membuat pengelolaan ekowisata merupakan bentuk dari suatu seni yang mempergunakan kecakapan dan sumberdaya dalam mencapai sasaran program jangka panjang dengan memperhatikan kelestarian alam dan peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Strategi pengelolaan ekowisata di suatu daerah akan sangat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat maupun dalam upaya pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Ekowisata dapat mendorong perekonomian masyarakat disekitarnya, dengan cara memberikan jasa keindahan alam kepada wisatawan dimana cara ini dapat memotivasi masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan alam di Kawasan Yang Dilindungi.
            Kawasan Yang Dilindungi memiliki ciri dan karakteristik tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan ekowisata dan wisata minat khusus lainnya, dimana Kawasan Yang Dilindungi mengandung aspek pelestarian dan pemanfaatan yang didasarkan pada keanekaragaman dalam ekosistemnya. Kawasan Yang Dilindungi yang dapat berfungsi sebagai ekowisata atau ekoturism yang berbasis lingkungan adalah kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam) kawasan Suaka Alam (Suaka Margasatwa dan Cagar Alam) dan Hutan Lindung melalui kegiatan wisata alam terbatas, serta Hutan Produksi yang berfungsi sebagai Wana Wisata.
            Dalam rangka mencari model pengelolaan ekowisata dalam kawasan Yang Dilindungi perlu diketahui faktor eksternal dan internal yang merupakan entry point pengelolaan dari kawasan tersebut. Faktor eksternal dari kawasan berupa kebijakan pembangunan baik sektor kehutanan, wilayah dan pariwisata, lokasi, pengelolaan kegiatan, publikasi dan informasi, peluang usaha bagi masyarakat, pembukaan lahan, habitat flora dan fauna, flora dan fauna endemik, pengaruh budaya barat, situasi keamanan, sampah dan biaya hidup masyarakat. Faktor internal dari kawasan berupa potensi sumberdaya alam, potensi wisata, aksesibilitas, lahan, adat istiadat, SDM, sarana dan prasarana, pengusahaan ekowisata, pengelolaan kawasan topografi, SDM dan tata ruang.

B. Pengertian dan Prinsip Ekowisata
            Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan pengelolaan ekowisata juga menggunakan strategi konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami (Dephutbun, 2000).
            Ekowisata sebagai bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan serta kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata itu tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga (Anonim, 1993).
            Ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area yang masih alami, selain itu ekowisata dapat menciptakan kegiatan bisnis. Dari perspektif ini ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999).
            Prinsip pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi seyogyanya dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengelolaan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata dapat menjamin pembangunan yang ramah lingkungan (ecologcal friendly) dan tentunya berbasis kerakyatan (Community based). Terkait dengan hal ini, ada 8 (delapan) prinsip The Ecotourism Society  yang diadopsi dari Epierwood (1999) yaitu :
  1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam (Kawasan Yang Dilindungi) dan budaya masyarakat lokal;
  2. Pendidikan kader konservasi lingkungan;
  3. Mengatur pengelolaan dan pelestarian kawasan ekowisata sehingga berpengaruh langsung terhadap penghasilan atau pendapatan masyarakat setempat;
  4. Masyarakat diikutsertakan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan ekowisata;
  5. Keuntungan secara nyata dapat secara langsung di rasakan oleh masyarakat dari kegiatan ekowisata agar masyarakat terdorong untuk menjaga kelestarian Kawasan Yang Dilindungi;
  6. Menjaga keharmonisan (harmonisasi) dengan alam Kawasan Yang Dilindungi;
  7. Optimalisasi daya dukung lingkungan Kawasan Yang Dilindungi;
  8.  Ekowisata merupakan sumber penghasilan Pendapatn Asli Daerah dan Negara.
 C. Konsep dan Tantangan Pengelolaan Ekowisata
            Pengelolaan ekowisata dapat dilaksanakan dengan model pengelolaan pariwisata lainnya. Pada umumnya ada dua aspek yang perlu dipikirkan, pertama aspek tujuan wisatawan, kedua adalah aspek pasar. Aspek pasar perlu dipertimbangkan sesuai dengan sifat dan perilaku obyek serta daya tarik wisata kawasan dan budaya lokal dengan tetap menjaga kelestarian dan keberadaan kawasan.
            Pada hakekatnya konsep ekowisata bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkan alam serta budaya masyarakat, sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam tetapi hanya menggunakan jasa alam untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan. Potensi dan keanekaragamn sumberdaya alam Kawasan Yang Dilindungi merupakan salah satu peluang dan prospek untuk pengelolaan ekowisata. Namun kemampuan untuk merubah potensi yang dimiliki tersebut menjadi potensi ekonomi belum dapat dilakukan secara optimal.
            Tantangan dalam pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi adalah lemahnya kemampuan dalam pengelolaan data dan informasi tentang sumberdaya alam hayati serta ekosistemnya. Dimana data-data dan informasi tersebut merupakan dasar untuk merancang dan menyusun program ekowisata di suatu Kawasan Yang Dilindungi. Faktor lain yang dapat menunjang kegiatan ekowisata adalah sarana dan prasarana serta kualitas SDM (Mardiastuti, 2000).
            Ada bahaya melekat lainnya yang merupakan tantangan dalam mempromosikan ide kawasan yang dilindungi sebagai daya tarik wisatawan. Pertama, banyak kawasan yang penting nilai pelestariannya kecil sekali daya tariknya bagi wisatawan (misalnya hutan tropika yang luas dan umumnya rawa bakau). Kedua, apabila pengambilan keputusan mendapat petunjuk hingga menganggap bahwa eksistensi kawasan terutama adalan untuk keuntungan ekonomi, dan bila ternyata harapan itu tidak terpenuhi, mereka mungkin mulai mencari alternatif pemanfaatan lain yang lebih menguntungkan. Juga akan bahaya bila pemerintah berusaha memaksimalkan keuntungan ekonomi dari kawasan melebihi daya dukungnya, misalnya pembangunan hotel besar, jalan raya, lapangan golf yang dirancang untuk menarik lebih banyak pengunjung dapat mengurangi nilai almia dari kawasan. yang akhirnya berubah menjadi kawasan dimana tujuan utamanya lebih besar kepada masa wisatawan daripada pelestarian (McKinnon at al, 1993).
           
D. Black Box Pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi
            Pengelolaan pariwisata hutan untuk ekowisata saat ini mengacu pada Kebijakan Pariwisata Alam yang berlandaskan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 18 dan No. 13 tahun 1994 sebagai berikut  :
1.   Kebijakan Umum
            Pengelolaan ekowisata dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
2.   Kebijakan Operasional
            Untuk menjabarkan kebijakan umum yang dimaksud, maka ditetapkan kebijakan operasional pengusahaan ekowisata terlebih dahulu, antara lain sebagai berikut :
  • Pengusahaan ekowisata diserahkan kepada pihak ketiga yaitu : perorangan, swasta, koperasi, atau BUMN.
  • Pengusahaan ekowisata dilaksanakan pada sebagian kecil area blok pemanfaatan, dan tetap memperhatikan pada aspek kelestarian.
  • Pengusahaan ekowisata alam tidak dibenarkan melakukan perubahan mendasar pada bentang alam dan keaslian habitat.
  • Pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pengusahaan ekowisata harus bercorak pada bentuk asli tradisional dan tidak menghilangkan ciri khas atau identitas etnis setempat.
  • Kegiatan pengusahaan ekowisata harus melibatkan masyarakat setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi.
  • Pengusahaan ekowisata harus melaporkan semua aktivitasnya secara berkala untuk memudahkan kegiatan monitoring, pengendalian dan pembinaannya.
            Pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi diberi batasan sebagai kegitan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat serta bagi kelestarian sumberdaya kawasan yang berkelanjutan. Lima aspek utama berkembangnya ekowisata adalah (1) adanya keaslian kawasan dan budaya lokal, (2) keberadaan dan dukungan masyarakat, (3) pendidikan dan pengalaman,                            (4) keberlanjutan, dan (5) kemampuan manajemen pengelolaan ekowisata. Sementara wisata minat khusus atau alternative tourism mengandung empat aspek yang menguntungkan bagi lingkungan dan masyarakat, yaitu (1) pendidikan, (2) keberlanjutan, (3) peningkatan perekonomian, dan (4) petualangan. Kedua bentuk pariwisata ini sangat prospektif dalam penyelamatan hutan (Choy dalam Fandeli, 2000).
            Model black box pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi sehingga sumberdaya alam kawasan itu dapat dimanfaatkan dengan cara yang bijaksana. Pengelolaan ekowisata alam dengan budaya lokal masyarakat dapat menjamin kelestarian kawasan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Ekowisata dalam kawasan konservasi merupakan upaya untuk menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam lintas generasi.
            Menurut Rasemary (1999) dalam Fandeli (2000), pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) promosi,                    (2) penambahan paket-paket wisata, (3) memperbesar exposure, (4) menyusun data base tamu selengkap mungkin agar dapat merencanakan langkah pemasaran yang lebih akurat, (5) melakukan pemasaran yang agresif baik sendiri ataupun dengan menunjukkan agen-agen, (6) memberikan pelayanan yang baik melalui penampilan karyawannya, keramahannya, ketepatannya dan lain-lain.
            Implementasi model pengelolaan ekowisata juga memerlukan tahapan-tahapan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, dimana upaya-upaya penelitian dasar dan terapan dikembangkan untuk mengeksplorasi baseline data kawasan dan sosial masyarakat sekitar yang tentu perlu didukung oleh seluruh stakeholder yang berkompeten. Stakeholder sektor ekowisata cukup meluas, yakni pemerintah, swasta, LSM, penduduk lokal, perguruan tinggi serta organisasi internasional yang relevan.
            Pengelolaan ekowista hendaknya dianalisis secara komprehensif dengan memperhitungkan strategi Kebijakan Pengelolaan Model Ekowisata itu sendiri. Dalam pada itu, berikut ini diagram Black Box  yang menggambarkan uraian tentang faktor-faktor eksternal maupun internal yang berupa masukan hasil evaluasi faktor-faktor yang berpengaruh dan harapan yang ingin dicapai sebagai luaran atau tujuan pengelolaan.


Gambar Simplifikasi Diagram Black Box Analisi Model Pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi

            Simplifikasi diagram black box diatas diharapkan akan menjadi model suatu Pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi yang terarah, terukur dan sistematis dengan memperhatikan parameter input lingkungan, input terkontrol, input tidak terkontrol, output yang diinginkan, output yang tidak diinginkan dan parameter rancang bangun. Pengembangan ekowisata di dalam dan disekitar kawasan yang dilindungi sesuai model diatas diharapkan merupakan salah satu cara terbaik untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi kawasan terpencil, dengan cara menyediakan kesempatan kerja setempat, merangsang pasar setempat, memperbaiki prasarana angkutan dan komunikasi.
            Kawasan yang dilindungi dapat memberikan kontribusi banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan.  Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar bagi wisatawan, mendatangkan keuntungan ekonomi yang berarti bagi negara, dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat.
            Peranan pengelolaan kawasan yang dilindungi dalam menentukan tujuan dan fasilitas wisata harus dikembangkan melalui koordinasi erat dengan otorita pariwisata regional dan nasional. Badan pariwisata diharapkan dapat memberikan bantuan dana dalam pembangunan fasilitas ekowisata di kawasan. Pengelola kawasan yang dilindungi juga harus menjelaskan kepada otorita pariwisata daerah, sejauh mana kawasan yang dilindungi dapat dimanfatkan pengunjung agar kapasitas daya dukung tidak dilampaui.
            Akhirnya dengan kecenderungan permintaan wisata alam (ekowisata) akhir-akhir ini yang semakin meningkat sejalan dengan nilai kelangkaan, estetika dan edemisme sumberdaya Kawasan Yang Dilindungi yang masih asli, maka model pengelolaan ekowisata seyogyanya perlu memerlukan suatu model pengelolaan yang integrited dan holistik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1993. Ecotourism Guidance for Planner and Manager. The Ecotourism Society. North Bennington Vermont.
Anonim, 1996. Hasil Simposium Ekotourism Indonesia. INDECOM. Gadog. Bogor.
Dephutbun, 2000. Teknik Pengelolaan dan Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati. Proceeding. Workshop. Bogor.
Eplerwood, M., 1999. Successfull Ekotourism Business. The right Approach. World Ekotourism Conference. Kota Kinibalu. Sabah.
Fandeli, C., 1999. Pengelolaan Kepariwisataan Alam Prospek dan Problematikanya. Seminar dalam memperingati Hari Bumi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Fandeli, C., 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Mardiastuti, A., 2000. Penelitian dan Pendidikan untuk Kegiatan Ekotourisme di Taman Nasional. Makalah dalam Lokakarya Pengelolaan Ekoturisme di Taman Nasional. Cisarua. Bogor.
McKinnon et al., 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Penulis : Azis Maruapey, S.Hut., MP. (Staf Pengajar Kehutanan Faperta Unamin Sorong Papua Barat)