Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Jumat, 24 Februari 2012

Sebuah Peluang Jasa Lingkungan dari Kawasan Hutan Konservasi-Edisi 10 2011


Salah satu bentuk jasa lingkungan di kawasan hutan konservasi adalah sumber air. Pemanfaatan sumber air yang berasal dari kawasan hutan konservasi hanya mungkin dilakukan jika hutan tetap terjaga keberadaannya. Keberadaan dan kesehatan kawasan hutan konservasi tidak terlepas dari peran serta semua stakeholders termasuk masyarakat dan pemerintah daerah. Selama ini sumber air tersebut sangat berguna dalam menunjang kehidupan sehari-hari dan dimungkinkan untuk dapat terus dikembangkan pemanfaatannya.

Salah satu kemungkinan pengembangan pemanfaatan itu adalah menjadikannya sebagai sumber energi. Air yang mengalir dan air yang jatuh menyimpan potensi energi dan dapat dirubah menjadi energi listrik (hydropower). Akhir-akhir ini yang sering kita dengar adalah tentang sistem mikrohidro yaitu sumber energi air yang cocok untuk pemakaian individu maupun kelompok masyarakat tertentu. Ada beberapa kemungkinan alasan yang mendasari mengapa kita menginginkan sebuah sistem mikrohidro yaitu pemenuhan kebutuhan energi masyarakat sehari-hari ataupun alasan lebih lanjut adalah kesadaran kita untuk penggunaan energi yang ramah lingkungan karena mikrohidro relatif aman dan bebas polusi. 

Hal tersebut juga sejalan dengan fungsi pemanfaatan kawasan konservasi, sesuai yang tercantum dalam undang-undang no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 26 pada point (a) yang menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam. Dengan paradigma baru konservasi yang mempunyai tujuan diantaranya adalah mencakup tujuan ekonomi dan sosial serta dikembangkan untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya, maka kegiatan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dapat dijadikan alternatif kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

Apa itu PLTMH?

Indriatmoko (2008) menjelaskan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) merupakan teknologi yang memanfaatkan aliran air sebagai tenaga untuk memutar turbin dan dynamo atau generator sehingga menghasilkan energi listrik kurang dari 100 kilowatt. PLTMH biasanya digunakan untuk melayani kebutuhan listrik bagi masyarakat pedesaan yang tidak terjangkau layanan listrik negara. Teknologi ini mulai diterapkan di banyak negara berkembang semenjak tahun 1970an, misalnya di Nepal, Peru, Srilanka, Zimbabwe, dan sebagainya. Beberapa daerah di Indonesia sebetulnya sudah sejak lama mengenal dan menerapkan teknologi tersebut dengan cara merakitnya sendiri, misalnya di Sumatera Barat dan di Jawa Barat. PLTMH merupakan salah satu pilihan pengubahan energi yang paling ramah lingkungan karena tidak seperti pembangkit listrik berskala besar, PLTMH tidak mengganggu aliran sungai secara signifikan. 


Tidak seperti pembangkit listrik lainnya yang menggunakan bahan bakar fosil (batu bara, bensin, solar, dan sebagainya), PLTMH sama sekali tidak menggunakan bahan bakar tersebut. Penerapan PLTMH, oleh karena itu, merupakan upaya positif untuk mengurangi laju perubahan iklim global yang sedang menjadi isu penting dewasa ini. PLTMH berkaitan erat dengan sumber air di daerah hulu sebagai energi utamanya. Oleh karena itu pembangunan PLTMH membuat masyarakat semakin giat menjaga lingkungan, termasuk hutan demi terus tersedianya pasokan aliran sungai. Di sini masyarakat akan merasakan langsung jasa lingkungan yang seringkali tidak diperhitungkan. Listrik murah dan ramah lingkungan ini berdampak positif bagi masyarakat. Dana untuk membeli bahan bakar bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain, memajukan pendidikan karena anak-anak bisa belajar dengan baik di malam hari, memudahkan akses informasi melalui saluran televisi, hingga meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan produksi skala kecil yang menghasilkan pendapatan tambahan.

Pembangunan PLTMH di daerah pedesaan tidak lepas dari peran kolektif masyarakat itu sendiri. Merekalah yang mengelola secara mandiri dan membentuk lembaga pengelola, sehingga PLTMH bisa menjadi wahana belajar bagi masyarakat untuk memperkuat kebersamaan melalui aksi-aksi kolektif.

Cara Kerja dan Langkah-langkah Membangun PLTMH

Dalam Newsletter Cifor, Indriatmoko (2008) menguraikan beberapa prasyarat fisik diperlukan dalam membangun PLTMH, antara lain:
  1. Ketersediaan aliran air yang konstan atau tetap dalam ukuran debit tertentu. Ukuran debit air akan menentukan besarnya energi yang mampu dihasilkan. 
  2. Adanya turbin untuk memutar kumparan dinamo listrik. Ada berbagai macam jenis turbin yang sekarang dikembangkan oleh beberapa lembaga di Indonesia guna menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi alam yang beragam.
  3. Dinamo, untuk mengubah energi yang dihasilkan oleh putaran turbin menjadi listrik.
  4. Jaringan listrik dari rumah turbin ke pengguna.







Secara teknis, sistem kerja PLTMH dimulai dengan adanya aliran air yang mengalir dengan kapasitas dan ketinggian tertentu ditahan oleh dam kemudian mengalihkan air melalui sebuah pembuka di bagian sisi sungai (‘Intake’ pembuka) ke dalam sebuah bak pengendap. 

Bak pengendap digunakan untuk memindahkan partikel-partikel pasir dari air. Fungsi dari bak pengendap adalah sangat penting untuk melindungi komponen-komponen berikutnya dari dampak pasir.

Dari bak pengendap kemudian air di alirkan melalui saluran pembawa mengikuti kontur dari sisi bukit untuk menjaga elevasi dari air yang disalurkan hingga sampai ke bak penenang.

Fungsi dari bak penenang adalah untuk mengatur perbedaan keluaran air antara sebuah penstock dan headrace, dan untuk pemisahan akhir kotoran dalam air seperti pasir, kayu-kayuan. Dari bak penenang kemudian dialirkan melalui Penstock untuk dihubungkan pada sebuah elevasi yang lebih rendah ke sebuah menuju rumah instalasi (rumah turbin). 

Di rumah turbin, instalasi air tersebut akan menumbuk turbin, dalam hal ini turbin dipastikan akan menerima energi air tersebut dan mengubahnya menjadi energi mekanik berupa berputamya poros turbin. Poros yang berputar tersebut kemudian ditransmisikan/ dihubungkan ke generator dengan mengunakan kopling. Dari generator akan dihasilkan energi listrik yang akan masuk ke sistem kontrol arus listrik sebelum dialirkan ke rumah-rumah atau keperluan lainnya (beban). 

Begitulah secara ringkas proses Mikrohidro, merubah energi aliran dan ketinggian air menjadi energi listrik. Terdapat sebuah peningkatan kebutuhan suplai daya ke daerah-daerah pedesaan di sejumlah negara, sebagian untuk mendukung industri-industri, dan sebagian untuk menyediakan penerangan di malam hari.

Keuntungan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
  1. Dibandingkan dengan pembangkit listrik jenis yang lain, PLTMH ini cukup murah karena menggunakan energi alam.
  2. Memiliki konstruksi yang sederhana dan dapat dioperasikan di daerah terpencil dengan tenaga terampil penduduk daerah setempat dengan sedikit latihan.
  3. Tidak menimbulkan pencemaran.
  4. Dapat dipadukan dengan program lainnya seperti irigasi dan perikanan.
  5. Dapat mendorong masyarakat agar dapat menjaga kelestarian hutan sehingga ketersediaan air terjamin


Langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk membangun PLTMH di sebuah kampung/ komunitas masyarakat menurut Indriatmoko (2008),  antara lain:
  1. Masyarakat perlu berunding untuk membuat kesepakatan dan rencana bersama dalam upaya pembangunan PLTMH.
  2. Mengajak ahli untuk melakukan survey lapangan tentang potensi aliran air disekitar wilayah tersebut untuk pembangunan PLTMH, termasuk mengukur debit dan ketinggian air (sering disebut head).
  3. Menilai dampak lingkungan yang akan diakibatkan oleh pembangunan PLTMH.
  4. Menghitung kebutuhan listrik masyarakat yang akan memanfaatkan. Hal ini penting dilakukan karena kapasitas PLTMH tak terlalu besar, sehingga perlu perhitungan yang cermat untuk menghindari konflik masyarakat.
  5. Menghitung biaya yang diperlukan (pembelian seperangkat turbin,  pembangunan sipil, jaringan, dan sebagainya).
  6. Berunding untuk memikirkan dari mana biaya akan didapat, apakah swadaya, bantuan, atau semi-swadaya.

Setelah PLTMH terbangun Indriatmoko (2008) juga menyarankan bahwa pengelolaan dan perawatan merupakan hal yang sangat penting. Perangkat PLTMH (turbin, dinamo) dan bangunan fisik pendukungnya (bendungan, saluran air, bak penampung, jaringan listrik dan rumah turbin) memerlukan perawatan. Di samping maanfaatnya yang besar, listrik juga berbahaya sehingga perlu kehati-hatian menggunakannya. Perlu dipertimbangkan bagaimana cara merawatnya dan jika ada kerusakan, mekanisme mendapatkan biaya perawatan, siapa yang bertanggung jawab, dan sebagainya. Perlu kesepakatan berapa iuran yang harus dikumpulkan untuk biaya operasional dan perawatan serta perlu disepakati pula siapa orang yang ditunjuk sebagai operator. Intinya membangun PLTMH bukan pekerjaan sulit, namun pengelolaan dan perawatan ke depannya merupakan tantangan bagi masyarakat.

Pembangunan PLTMH tentunya menjadi peluang besar bagi para pengelola kawasan konservasi untuk ikut mendorong pemanfaatan jasa lingkungan bagi masyarakat di sekitar kawasan. Dengan keterlibatan berbagai stakeholder baik dari pemerintah, LSM, dan tentunya masyarakat niscaya hal ini dapat diwujudkan.

Sumber: 
  • Indriatmoko,Yayan. Mengubah Air menjadi Api Upaya Masyarakat Rumah Panjang Sungai Pelaik membuat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro. 
  • NEWSLETTER CIFOR - RIAK BUMI Mendorong Konservasi yang Bermanfaat Bagi Masyarakat Lokal No. 3 - November 2008.
  • http://dreamindonesia.wordpress.com/2011/06/11/panduan-sederhana-pembangunan-pembangkit-listrik-tenaga-mikro-hidro-pltmh/

Oleh : Tim Redaksi Buletin Kepala Burung

PENEMUAN PENYU BELIMBING (Dermochelys coreacea) DI KAIMANA-Edisi 10 2011

Penemuan Penyu Belimbing (Dermochelys coreacea) dalam kondisi mati di pesisir pantai Kaki Air Kecil di Kaimana Papua Barat, telah menguatkan dugaan kami tentang penyebab kematiannya. Ditambah lagi berdasarkan informasi sebelumnya yang diperoleh dari para nelayan atau masyarakat yang pernah melihat keberadaan penyu tersebut di Kaimana.  Penyu belimbing ini diduga mati karena keracunan makanan  karena ubur-ubur “pembunuh” (makanan alaminya adalah ubur-ubur) atau sampah plastik yang diduga ubur-ubur akibat sampah rumah tangga.  Jenis ubur-ubur yang ada di Kaimana terdiri dari berbagai jenis (belum ketahui jumlah yang pasti).  

Ada jenis ubur-ubur yang bukan saja membuat gatal, namun juga dapat menyebabkan kematian kepada manusia yang terkena ubur-ubur tersebut.   Ubur-ubur tersebut, biasanya oleh masyarakat disebut ubur-ubur biru.  Selain itu, kematiannya diduga disebabkan terdampar dikarang (terjebak karena pengaruh pasang surut air) dan tidak  mampu kembali ke laut (daerah tersebut berkarang).  Ada kemungkinan habitatnya selama ini di daerah tersebut puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu di sekitar Kaki Air Kecil.  Kondisi sekarang daerah tersebut telah terdapat pemukiman di sepanjang pantai, ditanggul (reklamasi pantai/perluasan daratan) dan adanya badan jalan serta berkurangnya pasir pantai.  Berkurangnya pasir ini, diduga karena pembangunan rumah, pembangunan dermaga, dan penggalian pasir di tempat lain yang berpengaruh terhadap ketersedian pasir di sekitar daerah tersebut.   

Penyu Belimbing yang ditemukan dalam kondisi mati pada hari Sabtu tanggal 11 Juni 2011 sekitar pukul 09.00 WIT, kemudian  diambil dan dikubur di sekitar pantai dermaga milik Conservation International Indonesia di Air Merah Kaimana sekitar pukul 11.45 WIT dengan disaksikan oleh Staf Seksi KSDA Kaimana, Staf Dinas Kelautan dan Perikanan, Staf Conservation International Indonesia Kaimana, serta masyarakat umum lainnya.  Adapun ukuran tubuh dari kepala sampai ekor dengan panjang 178 cm dan lebarnya 80 cm, panjang sirip depan 79 cm dan sirip belakang 40 cm, kerapas berbentuk belimbing dengan 5 jalur bahkan ada tambahan 2 lajur semu bagian pinggirnya dengan panjang 107 cm dan lebar 66 cm.  Warna tubuh meliputi kerapas atas, sirip, dan kepala berwarna hitam bertotol putih.  Kepala berbentuk seperti jenis-jenis burung betet.  Ada warna pink di kepala diduga karena mengalami kerusakan.  Dada Penyu Belimbing seperti di terlihat pada gambar.

Dengan ditemukannya 1 (satu) jenis Penyu Belimbing, maka di  Kaimana memiliki  3 (tiga) jenis penyu, yaitu Penyu Sisik, Penyu Hijau, dan Penyu Belimbing.  Penyu sisik yang ditemukan di Kaimana memiliki 2 ciri, yaitu: Penyu Sisik dan Penyu Sisik Semu.  Penyu Sisik Semu apakah mengalami perubahan atau evolusi? Hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki dan DNA.  Apakah masih ada jenis penyu lain lagi yang akan ditemukan di Kaimana ? Menginggat keanekaragaman hayatinya daerah ini cukup tinggi baik tumbuhan air dan pinggiran pantai maupun hewan air yang terkandung pada perairan laut dan perairan darat yang masih dipengaruhi pasang surut air laut ataukah karena terjebak oleh proses evolusi penaikan daratan (danau, sungai, kali, dan goa).

Oleh : Zeth Parinding, S.Hut., MP

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di Taman Wisata Alam Sorong-Papua Barat-Edisi 10 2011

TWA Sorong memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar. TWA ini merupakan penyangga lingkungan dan sumber oksigen bagi kehidupan makhluk hidup di sekitarnya. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan kepedulian secara bersama  sama untuk menjaga dan melestarikan hutan dari ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, misal adanya kebakaran hutan, perambahan, perkebunan liar, perburuan liar, pemukiman liar, Illegal logging di dalam kawasan Taman Wisata Alam Sorong.

Tekanan terhadap hutan telah berdampak pada semakin luasnya lahan  kritis yang ada. Kerusak hutan ini diakibatkan menurunnya kemampuan hutan dan adanya kondisi krisis ekonomi, sosial, budaya masyarakat sekitar dan masyarakat luas. Kerusakan ini mengakibatkan menurunnya fungsi dari Daerah Aliran Sungai (DAS) itu sendiri, sehingga berakibat pada kerusakan lingkungan, misalkan mengakibatkan longsor, banjir, kekeringan dan apabila hal ini terjadi pada sebagian besar DAS di Papua Barat maka dapat memberikan dampak pada cuaca yang tidak menentu di wilayah ini.

Kawasan TWA Sorong terletak pada koordinat 0˚51' - 0˚58' LS dan 131˚21' - 131˚19' BT, berdasarkan administrasi pemerintahan kawasan ini masuk ke dalam Distrik Sorong Timur, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Dalam pengelolaannya kawasan ini berada di bawah tanggung jawab Seksi Konservasi Wilayah II Teminabuan, Bidang KSDA Wilayah I Sorong, Balai Besar KSDA Papua Barat. topografi datar sampai bergelombang dengan kelas kelerengan datar seluas 520,1 Ha dan kelas kelerengan bergelombang seluas 425,8 Ha, Geologi kawasan TWA Sorong tersusun oleh batuan formasi Klasaman. Jenis tanah yang terdapat di TWA Sorong adalah Aquaents, Aquaepts, Hemits seluas 315,6 Ha dan Udults, Udepts, Aquts seluas 630,3 Ha.Letak geografis kota Sorong yang berada di bawah garis khatulistiwa menjadikan wilayahnya beriklim tropika basah dan memiliki suhu rata-rata relatif stabil. Berdasarkan catatan Badan Meteorologi dan Geofisika pada ketinggian 3 meter di atas permukaan laut, suhu udara minimum di kota Sorong sekitar 23,2˚ Celcius, dan suhu udara maksimum sekitar 32,6˚ Celcius. 

Ada 4 kampung yang berbatasan langsung atau berdekatan dengan kawasan yaitu Kampung Kolam Susu, Desa Srahwata, Kampung Klasuat dan Kampung 14. Etnik yang bermukim di desa-desa tersebut umumnya campuran etnik asli sorong dan sebagain kecil etnik pendatang. Etnik penduduk asli terutama dari suku Maybrat, suku Ayammaru, Suku Aifat Marey dan Suku Karon, sedangkan etnik urban atau pendatang umumnya berasal dari Merauke serta pendatang dari luar, yaitu Toraja, Timor, Seram, Tanimbar dan Sanger.

Seiring dengan perkembangan wilayah Kota dan Kabupaten Sorong, keberadaan Taman Wisata Alam Sorong menjadi sangat strategis di antara Kota dan Kabupaten Sorong serta terletak disepanjang Km 14 sampai dengan Km 18 jalan raya Sorong-Aimas. Kondisi ini secara langsung merupakan tekanan dari masyarakat perkotaan yang membutuhkan lahan untuk perumahan, berkebunan, maupun pertambangan pasir dan batu. Disamping itu adanya jalan yang membelah kawasan TWA membuat akses menjadi terbuka untuk masyarakat keluar masuk kawasan.

Karena Letak TWA Sorong berdekatan dengan perkampungan dan banyak masyarakat berada di dalam kawasan tersebut untuk bermukim, sehingga mengakibatkan rusaknya kawasan hutan.

Dalam rangka pengembalian kondisi hutan agar mampu berfungsi secara optimal dengan adanya kegiatan RHL diharapkan fungsi sosial dan ekologis TWA Sorong dapat terjaga. Kegiatan RHL di TWA Sorong ini sebagai salah satu mitigasi dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Kegiatan RHL di TWA Sorong ini dilakukan pada kawasan seluas 100 Ha dengan rincian 25 Ha lokasi kampong Kolam Susus, 25 Ha lokasi sepanjang pagar, 25 Ha lokasi belakang Kantor Lurah Klablim, 25 Ha lokasi Jaring burung dan depan pintu gerbang TWA Sorong. Kegiatan RHL di TWA Sorong ini merupakan kerjasama antara BP DAS dan Balai Besar KSDA Papua Barat yang mana program ini merupakan program BP DAS yang didanai dari dana DIPA BP DAS Remu Ransiki Tahun Anggaran 2010. Sedangkan waktu pelaksanaan selama 74 hari dari tanggal 1 Oktober  2010 sampai 10 Desember 2010.


Peta Rehabilitas Hutan dan Konservasi Lahan di Taman Wisata Alam Sorong

Adapun kegiatan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di TWA Sorong adalah sebagai berikut :
a) Kegiatan yang melibatkan pihak ke-III adalah :
- Kegiatan pengadaan bibit yang dilakukan melalui Lelang.
- Pengadaan ajir /patok larikan, dilakukan melalui penunjukan langsung



Tempat Pembibitan Matoa dan kayu Besi

b) Kegiatan yang melibatkan masyarakat
Kegiatan ini melibatkan kelompok tani Taman Wisata Alam yang berada di sekitar kawasan hutan Taman Wisata Alam yaitu antara :
- Membuat piringan dan lubang tanaman
- Pemasangan ajir
- Penanaman bibit
- Pemupukan




Membuat Piringan, Pemasangan ajir dan Penanaman, pemupukan.

c) Jenis Bibit yang ditanam
- Motoa
- Kayu Besi

Hambatan dalam kegiatan penanaman yaitu adanya klaim lahan dalam kawasan konservasi oleh masyarakat yang tidak ingin lahanya di tanami dengan tanaman kehutanan. Selain itu kondisi lahan terbuka dalam kawasan berupa spot-spot sehingga membutuhkan waktu lebih dalam pendistribusian bibit ke lubang tanam.

Berdasarkan pengecekan di lapangan, bahwa pelaksanaan kegiatan RHL TWA Sorong telah diketahui dari jumlah sampel 2.000 bibit yang diamati, prosentase tumbuh tanaman mencapai 73,65 %. Dimana keseluruhan bibit yaitu sejumlah 40.000 bibit yang terdiri dari jenis Matoa (Pometia poinnata) dan kayu Besi (Intsia bijuga).

Penanaman pohon di TWA Sorong berjalan dengan lancar atas dukungan semua pihak terkait, Balai Besar KSDA Papua Barat, Para Staf Kelurahan Klabim, Kelompok Tani dan masyarakat. Semoga kegiatan penanaman ini sebagai awal kepedulian seluruh masyarakat Sorong, Papua Barat pada kondisi hutan sehingga dapat dilanjutkan kedepannya. Kegiatan di TWA Sorong ini bertujuan untuk memulihkan dan mempertahankan fungsi TWA Sorong sebagai kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.


“Hutan itu bagian dari paru-paru kita untuk bernapas”
“Jagalah hutan dan keanekaragaman hayatinya” 

Oleh : Gandi Mulyawan, S.Hut

Selasa, 21 Februari 2012

EKSPEDISI JENIS-JENIS HEWAN AIR TAWAR (Fish, Mollusca, dan Crustacea) DI TELUK ARGUNI (Kerjasama LIPI, CI Program Kaimana, PEMDA Kaimana, UNCEN, Balai Besar KSDA Papua Barat Melalui Seksi KSDA IV Kaimana, dan Masyarakat Adat)-Edisi 10 2011

Papua mempunyai tingkat kekhususan dan endemisme hewan yang tinggi, termasuk berbagai jenis ikan.  Hal ini berdasarkan sejarah penelitian ikan-ikan air tawar Papua Indonesia - Papua New Guinea yang telah ditulis oleh Allen pada tahun 1991.  Namun penelitian mengenai krustasea dan moluska air tawar di daratan Papua Indonesia terakhir dilakukan sekitar tahun 1958.  Berkenaan dengan hal tersebut, sampai saat ini penelitian berbagai jenis hewan air tawar belum pernah dilakukan di daerah Teluk Arguni baik kekayaan jenis dan potensinya. Dengan survey awal tentang keanekaragaman hewan air tawar di Teluk Arguni yang diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pengembangan daerah ini pada masa mendatang.

Survey telah dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober sampai dengan 7 November 2010.  Adapun kegiatan ekspedisi ini bertujuan: 1) Mengumpulkan data awal berbagai jenis hewan air tawar (ikan, udang, kepiting, keong dan kerang) di beberapa sungai dan danau, 2) Menambah kekayaan koleksi ilmiah Bidang Zoologi (dikenal secara internasional sebagai Museum Zoologicum Bogoriense), Pusat Penelitian Biologi  LIPI.  

Adapun tim ekspedisi tersebut, antara lain: Dr. Ir. Daisy Wowor, MSc bidang keahlian Krustasea, Dra. Renny K. Hadiaty bidang keahlian Ikan, Ir. Ristiyanti M. Marwoto, MSi bidang keahlian Molluska, Mulyadi teknisi LIPI, Drs. Sam Renyaan, MSc, bidang keahlian Ekologi Ikan Air Tawar dari UNCEN, Dr. Gerald R. Allen bidang keahlian Ikan Papua, Zeth Parinding, S.Hut MP dari Balai Besar KSDA Papua Barat, Roy Nimrod Tafre, S. Sos dari PEMDA Kaimana.  


Metode Survey yang digunakan, adalah sebagai berikut: 
1. Pengambilan contoh hewan air tawar dilakukan dengan menggunakan berbagai macam alat tangkap, seperti: electro fishing, berbagai macam jaring dan serok, 
2. Pengamatan dan pencatatan tipe habitat, 
3. Pelaksanaan survey dilakukan pada 20 lokasi di Distrik Arguni Atas dan Bawah Kabupaten Kaimana Propinsi Papua Barat, dan 
4. Pengawetan hewan contoh dengan berbagai bahan pengawet (alokohol dan formalin).

Berdasarkan hasil tim ekspedisi, disimpulkan bahwa potensi daerah Kaimana memiliki:
1. Laboratorium alam: masih banyak jenis baru, yang belum teridentifikasi secara ilmiah/ilmu pengetahuan dan juga terdapat lingkungan/habitat  yang unik dan berpotensi untuk jenis hewan air tawar lainya yang tidak ditemukan didaerah lain.
2. Lokasi pembiakan dan pembesaran: berbagai jenis hewan air ekonomis penting.
3. Tempat tinggal banyak jenis hewan air.
4. Wisata alam yang indah.

Hasil sementara dari pengelompokan Fish (ikan) ditemukan sebanyak 32 jenis, 17 famili, dan 7 ordo yang didominasi genus gobiidae dan eleotridae.  Diduga ditemukan 7-9 jenis ikan baru.  Jenis-jenis ikan yang ditemukan berpotensi sebagai ikan hias, ikan konsumsi, dan ikan yang menarik. 

Pengelompokan crustacea (udang dan kepiting) ditemukan beberapa jenis dan diduga ada jenis baru, antara lain: Cherax sp, Macrobrachium sp, Sesarmidae 1, Sesarmidae 2, Scylla sp, dan lain-lain.  Jenis-jenis krustacea ini, sebagian ditemukan pada daerah payau (antara air asin dan air tawar).  Hal ini disebabkan teluk arguni masih dipengaruhi oleh pengaruh air pasang surut.


Pengelompokan mollusca (Kerang dan siput) ditemukan beberapa jenis dan diduga ada jenis baru, antara lain: micro snail ( 3 mm) dari Gusimawa dan Danau Siwiki, Hidrobiidae dari danau Urnusu, dan Ameriana dari Wasermetie. Habitat dan jenis kerang Thiara sp, Ellobium sp, dan lain-lain.  Pengelompokan Mollusca, antara lain: keong atau siput (Gastropoda), kerang (Bivalvia), dan cumi-cumi atau gurita (Chepalopoda).


Penelitian yang dilakukan pada daerah distrik Arguni Bawah dan Atas belum mencakup keseluruhan wilayah, masih ter-spot pada daerah sungai dan danau yang masih mudah dijangkau, dan belum pada danau dan air terjun pada gua-gua pada gunung yang terjal dan perbukitan serta pegunungan.  Hal ini diduga, masih menyimpan banyak jenis-jenis yang baru (endemis Papua atau bahkan jenis baru yang belum ditemukan di dunia).  Oleh karena itu, maka di tahun-tahun mendatang perlu terus dilakukan penelitian lebih lanjut dan hasil yang diperoleh dapat digunakan bagi pembangunan sekarang ini dan masa mendatang.  Akhirnya, bagi siapa saja yang tertantang untuk meneliti disarankan di Kabupaten Kaimana Propinsi Papua Barat, guna memperkaya keanekaragaman hayati kita.

Oleh : Zeth Parinding, S.Hut., MP

Peluang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi di Papua Barat-Edisi 10 2011


Pendahuluan

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menurut UU No.5 Tahun 1990 adalah upaya pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem (sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi) yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Jelas bahwa upaya konservasi sumberdaya alam dimaksudkan untuk menjaga ketersediaan sekaligus berupaya meningkatkan nilai dan keragaman sumberdaya alam. Upaya ini terkadang dipandang sebelah mata bahwa konservasi sebagai upaya pasif dalam memanfaatkan sumberdaya alam karunia Tuhan Yang Maha Esa. Upaya konservasi mengandung makna luas dan membutuhkan waktu yang tepat untuk dapat merasakan manfaat sesungguhnya dari upaya tersebut. Apabila bencana alam datang seperti longsor, banjir, banjir bandang, wabah hama penyakit, sebagian dari kita ada yang berfikir telah terjadi ketidak seimbangan alam (hutan berkurang, pemanasan global, curah hujan tinggi dll). Di saat seperti itulah upaya konservasi akan menjadi “bahasan” yang dapat diterima dan dipahami sebagai upaya perlindungan sistem penyangga kehidupan. Dulu sering kali kita masih bisa melihat satwa-satwa liar di sekiling kita. Seiring dengan perjalanan waktu yang sebanding dengan pertambahan jumlah manusia, sekarang ini sudah jarang ditemui satwa-satwa tersebut. Paling tidak untuk melihatnya kita harus pergi ke kebun binatang. Kondisi seperti inilah mengapa konservasi menjadi penting untuk dilakukan demi menjaga kelestarian satwa-satwa tersebut.

Dalam upaya menjamin kesinambungan persediaan sumberdaya alam hayati (pelestarian) strategi mengkonservasi suatu kawasan telah diambil pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang bersama-sama dengan masyarakat. Upaya mengkonservasi suatu kawasan ini bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Menurut sejumlah sumber, manfaat langsung dari sebuah kawasan konservasi sendiri adalah sebagai berikut:
1. Sumber plasma nutfah 
2. Ruang hidup bagi masyarakat lokal
3. Penyimpan dan penata air
4. Pereduksi karbon dan penyedia oksigen 
5. Penyeimbang tata ruang wilayah
6. Sumber energi alternatif (minihydro power, bio-energi)
7. Penyimpan sumberdaya mineral, hydrocarbon minyak bumi), dan panas bumi
8. Tempat penelitian, pendidikan, dan penerapan iptek.

Selain itu masih ada lagi manfaat tidak langsung dari sebuah kawasan konservasi:
1. Pemurnian air dan udara 
2. Perlindungan banjir dan kekeringan 
3. Detoksifikasi dan pemusnahan limbah
4. Pembentukan dan penyuburan tanah
5. Pembentukan berbagai tumbuhan 
6. Pengendali hama potensial 
7. Penyebaran biji dan pemindahan zat hara
8. Pemelihara keragaman hayati, pertanian, obat-obatan, dan industri 
9. Pelindung bahaya ultraviolet
10. Pemantapan iklim 
11. Pengendali temperatur 
12. Pendukung budaya 
13. Penyedia estetika alam

Gambaran manfaat dari sebuah kawasan konservasi di atas tentunya bisa memberikan argumentasi betapa pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi kehidupan di bumi.

Jasa Lingkungan

Berbagai manfaat baik langsung maupun tidak langsung yang dapat diperoleh dari sebuah kawasan konservasi tentunya ada peluang ekonomi yang dapat diperoleh dengan tanpa mengganggu kelestarian kawasan tersebut. Dewasa ini fungsi konservasi yang meliputi 3P (perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan) telah mulai diarahkan pada penguatan aspek pemanfaatan yang sebelumnya lebih terfokus pada perlindungan dan pengawetan. Seperti dijelaskan dalam UU No.5 Tahun 1990 pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dilakukan melalui kegiatan:
1. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan
2. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar

Potensi biofisik yang terdapat dalam kawasan konservasi dapat dipandang sebagai sebuah peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan tanpa merusak kawasan dan kelestarian sumber daya tersebut. Seperti dijelaskan dalam undang-undang di atas pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam dapat dilakukan sesuai dengan arahan zonasinya. Sedangkan dalam Kawasan Suaka Alam pemanfaatan hanya dapat dilakukan di sekitar kawasan. 

Jasa lingkungan merupakan manfaat baik langsung maupun tidak langsung yang diperoleh dari lingkungan alam di sekitar kita. Berbicara kawasan konservasi berarti jasa lingkungan dari kawasan pelestarian alam (KPA) dan kawasan suaka alam (KSA). Sampai saat ini jasa lingkungan (jasling) yang telah teridentifikasi antara lain:
1. Jasling Wisata Alam
Jasa wisata alam berupa obyek daya tarik wisata baik alami maupun buatan yang dapat dimanfaatkan sebagai atraksi wisata alam.
2. Jasling Karbon
Jasa karbon adalah kemapuan vegetasi untuk menyerap/menyimpan karbon dalam rangka menurunkan pemanasan global akibat gas-gas rumah kaca.
3. Jasling Air
Jasa air adalah kemampuan suatu kawasan sebagai daerah tangkapan air bagi kawasan di sekitarnya
4. Jasling Biodiversity
Jasa biodiversity adalah keanekaragaman hayati yang terkandung pada suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan.
5. Jasling Panas Bumi
Jasa panas bumi adalah potensi panas bumi yang terdapat pada suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan.

Jasa lingkungan sebuah kawasan konservasi tentunya menjadi nilai penting bagi kawasan tersebut yang statusnya merupakan kawasan dilindungi dan tidak boleh dirusak/diganggu. Semakin besar jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan dari suatu kawasan diharapkan akan berdampak positif terhadap upaya pelestariannya.

Tata Aturan terkait Pemanfaatan Jasa Lingkungan

A. Jasa Lingkungan Wisata Alam

Tata aturan yang mendukung pemanfaatan wisata alam sampai dengan saat ini yang sudah ada adalah PP Nomor 36 Tahun 2010 yang dilengkapi dengan Permenhut Nomor P.48/Menhut-II/ Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Tahura, dan Taman Wisata Alam. Secara garis besar skema pengusahaan pariwisata alam tersebut adalah sebagai berikut:

B. Jasa Lingkungan Karbon

Tata aturan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan karbon masih terbatas pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung, yaitu: Permenhut Nomor P.36/Menhut-II/Tahun 2009 tentang Tata Cara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. 

C. Jasa Lingkungan Air

Tata aturan terkait pemanfaatan jasa lingkungan air belum ada dan menurut informasi masih dalam proses penyusunan. Namun demikian upaya pemanfaatannya dapat menggunakan skema kolaborasi sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA.

D. Jasa Lingkungan Biodiversity

Tata aturan yang mendukung upaya pemanfaatan jasa lingkungan biodiversity salah satunya adalah PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk:
1. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
2. Penangkaran;
3. Perburuan;
4. Perdagangan;
5. Peragaan;
6. Pertukaran;
7. Budidaya tanaman obat-obatan; dan
8. Pemeliharaan untuk kesenangan.

E. Jasa Lingkungan Panas Bumi

Tata aturan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi masih terbatas pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Salah satu tata aturan yang dapat dijadikan acuan adalah PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Potensi Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi di Papua Barat

Balai Besar KSDA Papua Barat mengelola 28 kawasan konservasi dengan total luas    1,849,784.20 Ha. Kawasan konservasi tersebut terdiri atas beberapa tipe ekosistem: hutan hujan dataran rendah, hutan hujan kaki gunung, hutan hujan lereng pegunungan, hutan mangrove, serta perairan.

Dua puluh delapan kawasan konservasi di Papua Barat masing-masing mempunyai ciri dan nilai penting yang khas. Sedangkan potensi jasa lingkungannya dapat dilihat pada tabel di bawah.



Peluang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi

A. Visi dan Misi Balai Besar KSDA Papua Barat

Visi Balai Besar KSDA Papua Barat adalah “Menjadikan 9 kawasan konservasi prioritas yang terkelola dalam 5 tahun dan optimal dalam 10 tahun, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang seimbang, serta terjaminnya manfaat lingkungan bagi masyarakat”. Kawasan konservasi yang menjadi prioritas dalam pengelolaan adalah sebagai berikut:

a. TWA Gunung Meja; 
b. SM Jamursba Medi; 
c. TWA Sorong; 
d. CA Pulau Waigeo Timur; 
e. CA Pulau Waigeo Barat; 
f. CA Pegunungan Wondiboy; 
g. CA Teluk Bintuni; 
h. CA Pegunungan Arfak; 
i. CA Pegunungan Fakfak. 

Balai Besar KSDA Papua Barat mengembangkan misi sebagai berikut:
1. Memantapkan status dan mengoptimalkan fungsi 9 kawasan konservasi prioritas;
2. Mengembangkan kapasitas kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi;
3. Meningkatkan perlindungan dan pengamanan hutan serta penegakan hukum;
4. Meningkatkan upaya pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
5. Mengembangkan upaya pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
6. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi;
7. Memantapkan koordinasi dengan para pihak pemangku kepentingan.

Jelas bahwa upaya pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menjadi salah satu misi utama Balai Besar KSDA Papua Barat. Hal ini membuka peluang bagi para pihak untuk mendukung misi tersebut. Bentuk bentuk kerjasama yang dapat dijalin antar pihak adalah kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi.

B. Kawasan Strategis Lingkungan Hidup Provinsi Papua Barat 

Dalam Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua Barat tahun 2008  2028 telah ditetapkan kawasan strategis lingkungan hidup. Kawasan-kawasan tersebut adalah Kabupaten Manokwari (Pegunungan Tambrau & Arfak), Teluk Wondama (Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih), Kabupaten Bintuni (Mangrove). Kawasan ini sangat penting karena:
1. Merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati.
2. Merupakan aset berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora yang hampir punah harus dilindungi dan/atau dilestarikan.
3. Memberikan perindungan terhadap keseimbangan iklim makro wilayah.
4. Rawan bencana alam.
5. Sangat menentukan dalam perubahan rona alam (rentan) dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.

Kebijakan pemerintah daerah ini tentunya dapat dikembangkan kepada pola pemanfaatan kawasan konservasi tidak hanya yang dijadikan kawasan strategis saja tetapi juga kawasan konservasi yang lain. Peluang kolaborasi pemanfaatan jasa lingkungan kawasan konservasi atau kawasan strategis lingkungan hidup kiranya terbuka luas dan akan didukung oleh pemerintah daerah.

C. Praktek Pemanfaatan Jasa Lingkungan oleh Masyarakat di sekitar Kawasan Konservasi

Masyarakat di sekitar kawasan konservasi telah merasakan manfaat langsung keberadaan kawasan konservasi. Di beberapa tempat di Manokwari dan Wasior telah ada Jasa Isi Ulang Air Minum dan Air Minum Dalam Kemasan yang sumber airnya berasal dari TWA Gunung Meja dan CA Pegunungan Wondiboy. Di Teminabuan telah ada tempat pemandian umum yang airnya berasal dari CA Bariat. TWA Gunung Meja dan TWA Sorong telah dijadikan lokasi wisata bagi penduduk lokal Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong. TWAL Kofiau merupakan salah satu tujuan wisata bahari di Kabupaten Raja Ampat. SM Jamurba Medi juga merupakan aset wisata penelitian Penyu Belimbing dan penyu lain yang telah mendunia. 

Penutup

Uraian di atas tentunya sedikit memberikan gambaran tentang peluang kedepan bagaimana pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di dalam kawasan konservasi khususnya di Papua Barat dapat dikelola dengan baik yang akan melibatkan para pihak yang berkepentingan. Jasa lingkungan konservasi adalah bentuk pemanfaatan dengan tanpa merusak kawasan tersebut. Harapannya dengan adanya jasa lingkungan dari sebuah kawasan konservasi, kepedulian terhadap kelestarian kawasan tersebut akan semakin meningkat.

Daftar Pustaka

Renstra Balai Besar KSDA Papua Barat 2009-2013
Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua Barat 2008-2028

Oleh : Eko Yuwono, S.Hut