Profil Hutan Papua Barat
Dengan pertimbangan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah, potensi sosial, ekonomi, budaya serta tingginya beban tugas dan volume kerja pemerintah Provinsi Papua, DPR-RI mengeluarkan Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kemudian pada tahun 2001, DPR-RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Selanjutnya untuk percepatan melaksanakan UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut pada tanggal 27 Januari 2003 Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor : 1 /2003. Dengan terbitnya Inpres ini proses pemekaran wilayah di Papua mulai kelihatan, yaitu dengan terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat) dan beberapa kabupaten baru. Pemekaran wilayah ini juga terlihat dari berkembangnya jumlah kota dan desa pada Provinsi Papua Barat (Renstra BBKSDA Papua Barat 2010-2014).
Provinsi Papua Barat yang baru berumur 5 tahun ini memiliki luas 12.609.300 ha dan menyimpan kekayaan sumber daya alam (hutan) yang luar biasa. Ilmuwan sering menyebut Provinsi Papua Barat dengan Kepala Burung atau Vogelkop (bahasa Belanda) atau sering disebut pula Bird's Head peninsula. Sebagian besar wilayah Papua Barat (sekitar 85 %) merupaka kawasan hutan alam yang menjadi habitat bebagai jenis tumbuhan dan satwa, dan mewakili berbagai tipe ekosistem. Sebagaimana hutan hujan tropis lainnya, kondisi hutan di Papua Barat juga senantiasa hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi tegakan lebih dari 30 m, bersifat hipokrit, banyak ditumbuhi liana dan epifit berkayu maupun herbal. Selain itu hutan di Papua Barat juga memiliki keunggulan terutama dalam keanekaragaman jenis hayatinya, tingkat keendemisan jenis yang tinggi, memiliki iklim mikro yang kontan dan tidak ada perbedaan musim, serta memiliki siklus hara yang tertutup.
- Pantai Utara Kepala Burung, yang dikenal sebagai habitat peneluran penyu belimbing, dan bebarapa jenis penyu laut yang terbesar di daerah Asia-Pasifik. Kawasan ini membentang dari Pantai Sausapor, Pantai Warmamedi, Wembrak, Wermon, Seday, Wibain, sampai Mubrani Kaironi.
- Kepulauan Raja Ampat, yang dikenal sebagai Jantung Segitiga Karang Dunia (Coral Trianggle). Kepulauan Raja Ampat merupakan warisan dunia yang memiliki keragaman jenis karang dan ikan tertinggi di dunia dengan kondisi yang terbaik pula. Kepulauan Raja Ampat juga merupakan salah penopang industri perikanan tangkap yang paling potensial di Wilayah Kepala Burung.
- Gugusan Mangrove Teluk Bintuni sebagai ekosistem mangrove terbesar di dunia. Selain sebagai tumpuan hidup masyarakat tradisional dan kawasan ini juga merupakan penopang utama industri komersial.
- Kawasan Teluk Cenderawasih, merupakan kawasan ekosistem laut yang unik dengan sklus yang relatif tertutup dan sekarang ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Laut dengan areal yang paling luas di Asia.
- Selain ke-4 kawasan tersebut, di Kepala Burung masih menyimpan berjuta mesteri yang sampai sekarang belum terungkap, seperti bagaimana kehidupan di daerah Pegunung Arfak, Pegunungan Tamrau, Pegunung Fakfak, Pegunungan Wondiboi dll.
Sebagai provinsi yang baru dimekarkan, Provinsi Papua Barat membutuhkan berbagai dukung sumber daya baik manusia (SDM) maupun alam (SDA) yang memadai untuk pembangunan wilayahnya. Selain kuantitas, dukungan ini tentunya juga dilihat dari sisi kualitas. Dukungan SDM dalam hal kualitas salah satunya akan terwujud dalam rencana pembangunan yang baik, yang tidak hanya mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata dengan mengorbankan SDA dan kualitas lingkungan hidup. Adapun keberadaan SDA tentunya harus dikelola dan dimanfaatkan secara bijaksana, sehingga secara mampu mendukung proses pembangunan sekarang dan yang akan datang.
Berdasarkan catatan BPS Papua Barat tahun 2007, dilihat dari kaca mata ekonomi sampai tahun 2006 sumbangan sektor pertanian termasuk di dalamnya sektor kehutanan terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai 27,16% dari nilai Rp 8.945.256.240.000,-, melebihi sektor industri dan pertambangan yang masing-masing sebesar 17,47 % dan 17,36 % dari nilai PDRB. Kontribusi terbesar dalam sektor pertanian adalah dari sub sektor Perikanan dan sub sektor Kehutanan yang masing masing mencapai 15,09% dan 11,12% terhadap total PDRB. Hal ini menunjukan bahwa sub sektor kehutanan memiliki peran nyata dalam pembangunan ekonomi Papua Barat.
Idealnya peran sub sektor kehutanan secara ekonomi di atas berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang tinggal atau berada di sekitar kawasan hutan, karena seagian besar masyarakat hidup di sana Berdasarkan data BPS Papua Barat tahun 2007 diketahui bahwa di Provinsi Papua Barat sebanyak 73,62 % (854 desa) berada di daerah pesisir, lembah/daerah aliran sungai dan lereng/pegunungan bukit. Ternyata sebagian besar masyarakat tersebut masih hidup kurang sejahteran, yaitu dari 33859 Kepala Keluarga di Papua Barat sebanyak 39,19 % KK hidup dalam Pra Sejahtera (PS), 29,47 % KK dalam Keluarga Sejahtera I (KS-1), 19,88 % KK dalam Keluarga Sejahtera II (KS-II), 7,21 % KK dalam Keluarga Sejahtera III (KS-II) dan 2,5 KK dalam Keluarga Sejahtera III+ (KS-III+). Artinya bahwa besarnya peran sektor pertanian dalam perekonomian Papua Barat belum dinikmati oleh sebagian besar masyarakat, yang justru hidupnya sangat tergantung pada sumber daya alam (hutan). Hal ini yang perlu dipikirkan sehingga pembangunan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, terutama yang senantiasa menjaga dan hidupnya tergantung pada sumber daya alam.
Mewujudkan Kesejahteraan Yang Sempurna
Kemiskinan, kesenjangan pendapatan dan pengangguran merupakan indikasi bahwa kegiatan pembangunan tidak berkelanjutan secara sosial dan ekonomi. Sementara devisit sumber daya alam yang ditandai dengan pesatnya laju degradasi bebagai ekosistem, tingginya tingkat polusi, tidak terciptanya iklim mikro dan bebagai bencana banjir, kekeringan, tanah longsor merupakan tanda bahwa pembangunan tidak berkelanjutan secara ekologi atau dengan kata lain pembangunan tidak ramah lingkungan. Yang menjadi pertanyaan adalah adakah pembangunan yang bekelanjutan? Yang memadukan semua unsur pembangunan, sehingga masyarakat benar-benar memperoleh kesejahteraan yang sempurna, sejahteraan secara finansial/ekonomi dan aman dari berbagai bencana alam.
Jawabannya hanya ada dua (2) pilihan, yaitu ada atau tidak ada. Tentunya kita akan memilih jawaban ada, agar kita lebih bersemangat dan merasa optimis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara sempurna. Jika demikian, maka kemudian kita akan bertanya-tanya, kira-kira pembangunan yang seperti apa itu? Atau kira-kira bagaimana kita dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan tersebut? Mungkin jawaban untuk pertanyaan ini sangat banyak atau beragam mulai dari perlunya pemerintahan yang baik dan bersih serta amanah (good/clean governance), perencanaan pembangunan yang terpadu, pelaksanaan pembangunan yang terkontrol sampai pada keadilan distribusi pembangunan dan dukungan kelembagaan SDM serta kerlibatan masyarakat. Dan mungkin pula diperlukan sebuah forum khusus untuk membahas dan menjawab pertanyaan tersebut.
Terakait dengan itu semua, suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan ke depan adalah pelaksanaan pembangunan tidak boleh Merusak atau memperburuk kondisi sumber daya alam (hutan/ekosistem) dimana sebagian besar masyarakat tinggal dan hidupnya tergantung pada keberadaan sumber daya alam. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan dengan sebuah perencanaan pembangunan yang baik pula yang tidak lagi mengedepankan ekstrasi terhadap sumber daya alam.
Selain itu juga perlu adanya perubahan indikator kesejahteraan dan pemerataan hasil pembangunan. Indikator kesejahteraan yang selama ini hanya melihat dari sisi ekonomi (materi) harus ditinggalkan karena hal ini akan mendorong pada kegiatan ekstrasi sumber daya alam dengan mengesampingkan fungsi sosial dan ekologinya. Penekanan pada indikator ekonomi saja akan berakhir pada devisit sumber daya alam yang ujung-ujung juga menurunkan nilai produksi sumber daya alam itu sendiri, terganggunya fungsi ekologi serta runtuhnya pranata sosial. Indikator kesejahteraan masyarakat yang perlu dimunculkan adalah kualitas lingkungan hidup dan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar sumber daya alam.
Mungkin akan bermunculan indikator-indikator kesejahteraan yang lain, namun dua indikator kesejahteraan tersebut merupakan sebuah keniscayaan, yang harus ada. Apalah artinya kekayaan jika hidup selalu terancam bencana dan kebodohan. Seberapa banyakpun harta tersimpan, akan lenyap seketika atau minimal tidak dapat digunakan jika bencana datang atau yang punya dalam kebodohan.
Akhirnya mari kita bersatu, dan hilangkan ego sektoral untuk mewujudkan sumber daya hutan yang lebih mensejahterakan masyarakat Papua Barat.
Sumber Referensi:
- Anonim. 2008. Rencana Strategis Balai Besar KSDA Papua Barat Periode 2010- 2014. Balai Besar KSDA Papua Barat (tidak dipublikasikan). Sorong. 2008.
- Anonim. 2007. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Menurut Lapangan Usaha. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat. Manokwari. 2007.
- Anonim. 2007. Statistik Provinsi Papua Barat Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat. Manokwari. 2007.
- Nugroho. Agung. Dan Rudiantoro. Bejo. 2008. Neraca Sumber Daya Hutan Defisit Di Tengah Keberlimpahan. Wana Aksara. Jakarta. 2008.
- Napitupulu. Lidia. 2004. Kemiskinan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artikel dalam Majalah Tropika Indonesia. Edisi Musim Panas (Juli-September) 2004. Vol.8.No.3. Conservation Indonesia dan Departemen Kehutanan. Jakarta 2004.
Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar