Pengantar
Perlindungan berasal dari kata dasar lindung, yang mendapat imbuhan pe-an, yang bermakna proses, atau cara, perbuatan melindungi (Kamus Besar Bahasa Indonsia). Dengan demikian arti perlindungan hutan adalah proses, atau cara, perbuatan melindungi hutan atau sumber daya hutan. Dalam Pasal 47 UU nomor 41 tahun 1999, perlindungan hutan diartikan sebagai usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Sesuai dengan UU Nomor 41 tahun 1999, perlindungan hutan ditujukan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Adapun konservasi secara bahasa berarti pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan, pengawetan dan pelestarian (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Konservasi sumber daya alam didefinisikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Definisi ini sesuai dengan pengertian yang tercantum dalam UU Nomor 5 tahun 1990.
Dari pengertian di atas terlihat adanya keterkaitan antara perlindungan hutan dan konservasi alam. Keterkaitan itu antara lain bahwa perlindungan hutan merupakan bagian dari konservasi alam karena hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam. Hal ini sebagaimana yang sering diajarkan bahwa konservasi mencakup tiga aspek, yaitu aspek perlindungan (save), aspek penelitian dan pengembangan (reseach) dan pemanfaatan (use). Dengan demikian tidaklah akan berhasil usahan konservasi jika tidak disertai oleh upaya perlindungan.
Berbagai sumber menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,6-2,8 juta ha/tahun atau 3-5 ha/menit/hari (equivalen dengan 3-5 lapangan sepak bola/menit/hari). Kerusakan hutan tersebut sudah pasti mendatangkan kerugian yang luar biasa baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial, baik dalam jangka pendek mapun panjang. Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan hutan dan sumber daya alam, namun dari banyak faktor tersebut sebagian besar bermuara pada perbuatan manusia. Kita ambil contoh kebakaran hutan, yang terjadi hampir setiap tahun di musim kemarau, ternyata penyebabnya 34 % akibat konversi lahan dan 25 % akibat peladangan liar. Dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebut 10 aktifitas manusia yang dapat menyebabkan kerusakan hutan dengan ke-jahat-an dan sehingga aktifitas tersebut dilarang sepenuhnya. Ke-10 tindak kejahatan tersebut antara lain:
1. merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan,
2. melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan,
3. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; merambah kawasan hutan; dan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
4. membakar hutan,
5. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dan menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah,
6. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri,
7. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan,
8. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang,
9. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang,
10. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan.
Era Baru Melawan Kejahatan Kehutanan
Upaya perlindungan hutan dan konservasi alam di Indonesia telah dimulai sejak lama, sejak jaman Hindia Belanda dan terus berkembang baik dalam segi luasan hutan maupun oganisasi serta peraturan perundang-undangan sebagai perangkat lunaknya. Meskipun pada awalnya, upaya ini dipelopori oleh semacam perkumpulan pecinta alam, namun peran serta pemerintah cukuplah besar, karena memiliki kewenangan untuk dapat membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh semua lapisan masyarakat.
Seiring berkembangnya jaman dan jumlah penduduk, berkembang pula modus operadi kejahatan kehutanan dari yang sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok menjadi sebuah kejahatan besar yang terorganisir dan terencana secara sistemtik. Bahkan dewasa ini telah menjadi sebuah jaringan mafia yang menggurita di seluruh nusantara. Untuk membongkar dan menghentikannya merupakan pekerjaan besar yang memerlukan biaya, tenaga dan setrategi yang besar pula, tentunya juga dukungan semua lapisan masyarakat.
Sejak tahun 2005, upaya perlindungan hutan dan konservasi alam memasuki babak baru, yaitu dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2005 tanggal 18 Maret 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Instruksi Presiden yang ditujukan kepada 12 menteri Kabinet Bersatu, Jaksa Agung, Ka. POLRI, Panglima TNI, Ka. Badan Intelejen Negara (BIN), para Gubernur dan Bupati/Wali Kota Seluruh Indonesia ini memerintahkan untuk percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan tegas terhadap setiap orang atau badan yang melakukan tindak kejahatan kehutanan.
Instruksi Presiden tersebut dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap kondisi lingkungan Indonesia yang kian merosot akibat rusaknya hutan, yang ditandai dengan terjadinya bencana alam yang berkepanjangan seperti banjir dan tanah longsor serta kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah. Kerusakan hutan ini berdampak sangat luas tidak hanya dari segi ekologi (lingkungan), tetapi juga dari segi sosial dan ekonomi serta dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan maupun yang tinggal jauh di luar hutan.
Menindaklanjuti Instruksi tersebut pada tahun 2005 itu, Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia, langsung melakukan Operasi Hutan Lestari II (OHL II) dan menguatkan barisan pengamanan hutan dengan membentuk Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC). Sejak saat itu, genderang perang melawan kejahatan kehutanan benar-benar ditabuh.
Sumber : Statistik Penyidikan dan Perlindungan Hutan Tahun 2007
Sampai akhir tahun 2007 anggota SPORC memiliki kekuatan sebanyak 865 personil atau 12,86 % dari jumlah Polisi Kehutanan seluruh Indonesia, yang menyebar di 11 tempat kedudukan (satuan brigade). Untuk mendukung kegiatan perlindungan hutan dan konservasi alam anggota SPORC dibekali dengan berbagai ilmu, mulai dari ilmu intelejen, penggunaan senjata api, sampai penyidikan dll. Selain itu SPORC juga didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai serta dibekali dengan senjata api.
Setelah terbitnya Instruksi Presiden itu, kapasitas perlindungan hutan meningkat pesat dan dukungan perlawanan terhadap kejahatan kehutanan mengalir dari berbagai sektor khususnya dari aparatur penegak hukum. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah kasus kejahatan kehutanan (khususnya illegal logging) yang ditangani pada tahun 2005 dan 2006 dan menurun jumlah kasus di tahun 2007. Dari grafik penanganan kasus illegal logging tahun 2005-2007, nampak jelas bahwa penanganan kasus illegal logging pada tahun 2006 mengalami peningkatan cukup pesat, dan mengalami penurunan cukup tajam pada tahun 2007 pada semua tahapan proses penanganan kasus.
Bagaimana di Papua Barat ?
Kondisi di Papua tidak jauh berbeda dimana sejak tahun 2000-an potensi kekayaan hutan Papua menjadi sasaran perambahan hutan (illegal logging), setelah kondisi hutan di Indonesia Bagian Barat mengalami penurunan. Kegiatan illegal logging ini dibungkus baju KOPERMAS yang menjanjikan kepada masyarakat iming-iming materi yang cukup mengiurkan, walaupun sebetulnya besarnya iming-iming tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang diraup oleh cukong-cukong kayu dan kerusakan hutan yang ditinggalkan.
Sumber : Statistik Penyidikan dan Perlindungan Hutan Tahun 2007
Praktek kejahatan illegal logging ini di beberapa tempat sudah mulai merambah pada kawasan konservasi dan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 600 milyar perbulan dari sekitar 600,000 m3/bulan kayu merbau yang berhasil dibabatnya dan telah menghilangkan rata-rata 1,2 juta ha/tahun lahan hutan (Bisnis Indonesia, 5 Maret 2003; Kabar dari Teluk, November 2005, Tempo 6 Maret 2005). Khusus di Kabupaten Sorong kerugian mencapai Rp 265 milyar/bulan atau 3,2 trilyun/tahun. Selama tahun 2005 kegiatan OHL II di Papua Barat berhasil menyita 67.567,6818 M3 kayu olahan dan 81.322,14 M3 kayu bulat dan memvonis pelakunya dengan 3 tahun penjara dan denda Rp 50.000.000,- untuk pelaku utama dan 2 tahun penjara dan denda Rp 50.000.000,- untuk Nahkoda kapal.
Selain penebangan liar, yang cukup marak terjadi di Papua adalah perdagangan hidupan liar (sumber daya alam hayati). Beberapa jenis tumbuhan alam dan satwa liar sering diselendupkan keluar Papua, bahkan sebagian merupakan jenis yang dilindungi. Menurut data Conservation International (2004), penjualan tanduk dan daging (dendeng) rusa (Cervus timorensis) dan Nuri merah kepala hitam (Lorius lorry) merupakan jenis satwa yang banyak dijual (62%). Selama tahun 2004 Balai KSDA Papua II (sekarang Balai Besar KSDA Papua Barat) dari kegiatan operasi rutin berhasil menyita 253 ekor satwa (64 ekor jenis burung, 189 ekor jenis reptil). Selama tahun 2009, Balai Besar KSDA Papua Barat berhasil menyita 27 ekor Lorius Lory , 1 ekor Cacatua galerita dan 120 kg gaharu yang akan di kirim ke luar Papua.
Sejak terbentuknya SPORC, kekuatan perelindungan hutan dan konservasi alam dalam melawan kejahatan kehutanan di Papua Barat juga meningkat. Satuan SPORC di Papua Barat adalah Brigade Kasuari di bawah binaan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderwasih (BBTNC). SPORC Brigade Kasuari memiliki kekuatan 48 personil (26 orang dari Balai Besar TNTC, 19 orang dari Balai Besar KSDA Papua Barat, 1 orang dari Dinas Kehutanan Kab. Sorong, 1 Orang dari Dinas Kehutanan Kaimana, dan 1 orang dari Dinas Kehutanan Fak-fak). Kualifikasi SPORC Brigade Kasuari adalah 7 orang penyidik, 7 orang intelijen, 3 orang ABK, 2 orang penguji kayu gergajian, 1 orang bendahara dan 6 orang penguji kayu bulat. Selain sarana dan prasana perkantoran dan lapangan yang cukup memadai, Brigade Kasuari juga dilengkapi dengan senjata api yang jumlahnya mencapai 28 pucuk (18 Molot dan 10 PM1A1).
Tantangan
Walaupun kegiatan kejahatan kehutanan terus menurun setelah genderang perlawaman ditabuh, ternyata program perlawanan ini dari tantangan mau atau tidak mau harus diselesaikan. Tantangan ini cukup bervariasi antara daerah, apalagi antara wilayah Indonesia Bagian Barat dengan Wilayah Indonesia Bagian Timur. Di Wilayah Indonesia Bagian Timur khususnya di Papua, mungkin juga terjadi di Indonesia Bagian Barat tantangan terberat berasal dari pemekaran wilayah. Hal ini terjadi sejak penerapan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) nya. Sejak saat itu, untuk mempercepat laju pembangunan di daerah, beberapa kabupaten pemekaran dibentuk.
Pembentukan wilayah pemekaran baru, tentunya diikuti oleh pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan seperti pembangunan gedung perkantor, pembangunan sarana trasportasi (jalan, bandara, pelabuhan laut) dan sarana umum lainnya. Untuk pembangunan ini tentunya perlukan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya lahan (ruang) serta sumber daya manusia (SDM) yang tidak sedikit. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan ruang dan SDM inilah sering terjadi benturan kepentingan antar pemerintah daerah dengan pemerintah pusat khususnya yang menangani kehutanan.
Dalam pemenuhan kebutuhan ruang tersebut, pemerintah daerah seringnya melakukan konverasi kawasan hutan menjadi wilayah perkantoran dan sarana umum lainnya, tanpa melakukan koordinasi dengan pejabat yang berwenang dan menempuh jalur-jalur sesuai hukum peraturan yang berlaku. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menyelaraskan antara kebutuhan ruang untuk pembangunan wilayah pemekaran dengan pembangunan kehutanan. Untuk itu hendaknya setiap wilayah pemekaran (kabupaten baru dan provinsi baru) segera menyusun rencana umum tata ruang wilayah sesuai dengan UU No 26 tahun 2007 dan memperhatikan penata ruang (khususnya kehutanan) yang telah ada. Dengan demikian pemanfaatan ruang untuk pemekaran wilayah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjerumus pada tidak pidana seperti yang sekarang banyak terjadi.
Selain kebutuhan ruang untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah daerah seringkali hanya mengejar pendapatan asli daerah (PAD) dengan memanfaatan secara ekstratif sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral (tambang), tanpa memperhatikan fungsi kawasan dimana tambang tersebut berada. Beberapa daerah menerbitkan ijin kuasa pertambangan yang lokasinya berada pada kawasan lindung (hutan lindung dan hutan konservasi), tentunya ini sangat bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan pelakukan dapat dikenakan pidana.
Untuk menghindari benturan kepentingan dan untuk percepatan pembangunan wilayah pemerkaran tidak kata lain yang pantas terus didengungkan selain kata BERSATU. Artinya semua steakholders harus bersatu, bersatu dalam visi, bersatu dalam misi, dan bersatu dalam gerak langkah untuk mendukung pembangunan wilayah yang sesuai dengan peraturan perundangan, sehingga tidak ada lagi yang menjadi kambing hitam atau kambing putih.
Sumber :
- Anonim. 2008. Statistik Penyidikan dan Perlidungan Hutan tahun 2007. Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan. Jakarta.
- Anonim. 2007. Laporan Tahunan Balai KSDA Papua II Tahun 2006. Balai KSDA Papua II. Sorong.
- Anonim. 2008. Rencana Strategis Balai Besar KSDA Papua Barat Tahun 2009-2014. Balai Besar KSDA Papua Barat. Sorong.
- Anonim. 2009. Presentasi SPORC Brigade Kasuari Provinsi Papua Barat Dalam Rangka Pembinaan Personil Oleh Pembina SPORC Pusat (Power Point). Manokwari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar