Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Sabtu, 25 Desember 2010

JIKA IKLIM BERUBAH... (Edisi 3 2009)

Iklim senantiasa berubah dan akan terus berubah. Secara alami, iklim terus mengalami perubahan bahkan jauh sebelum manusia menggunakan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas (yang belakangan ini disebut-sebut sebagai penyebab berubahnya iklim). Diantara sebab-sebab alami itu adalah matahari, gunung berapi dan perputaran bumi mengelilingi matahari. Sebagai buktinya dapat kita lihat berubahnya jaman es (ice age) ke jaman yang lebih hangat. Tidaklah heran jika pada masa post-industri dimana gas-gas rumah kaca antropogenik (gas rumah kaca akibat aktivitas manusia) semakin besar maka perubahan iklim terasa semakin nyata.

1.Kenapa isu perubahan iklim kontroversial ?
Perubahan iklim menimbulkan kontroversi kuat di hampir semua kalangan masyarakat, mulai dari masyarakat awam, politisi, ilmuan, praktisi maupun akademisi. Informasi tentang perubahan iklim yang terus bergerak sangat cepat bahkan dalam hitungan hari serta terkadang adanya literatur yang mempunyai perbedaan sangat mencolok meskipun penerbitannya dalam waktu yang berdekatan membuat isu tentang perubahan iklim semakin menantang. Isu ini seperti sebuah dokumen hidup (a living document) yang perlu terus kita ikuti dan cermati. Karena kita semua mau tidak mau, sadar atau tidak sadar terlibat di dalamnya dan saling mempengaruhi. Para ahli memperkirakan bahwa untuk mengatasi perubahan iklim agar tidak mengganggu kehidupan umat manusia diperlukan adanya kerjasama internasional dan solidaritas seluruh umat manusia yang belum pernah ada sebelumnya. Jadi bisa dibayangkan betapa hal ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh semua orang.

2. Perlukah kita terlibat ? 
Indonesia mulai aktif terlibat dalam konvensi perubahan iklim sejak KTT Lingkungan dan Pembangunan pada Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Karena kita sadar bahwa negara berkembang dan khususnya di daerah tropis, berdasarkan analisa berbagai ahli, yang terutama akan menderita dampak dari pemanasan suhu bumi. Mencairnya es di kutub dan mengembangnya massa air sebagai akibat pemanasan bumi mungkin terasa sangat kecil dan tidak berpengaruh banyak bagi sebagian masyarakat. Akan tetapi bagi beberapa masyarakat dan ekosistem tertentu akan sangat rentan menghadapai perubahan tersebut. Kenaikan muka air laut akan menghalangi mengalirnya air sungai ke laut dan terjadilah banjir. Hal yang paling mencemaskan adalah ketahanan pangan kita. Berubahnya pola musim hujan-kemarau dan ketersediaan air tawar akan memukul ketahanan pangan kita yang berbasis air. Keadaan akan semakin parah jika kemampuan masyarakat dan ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim rendah. Dan jika kita tidak melakukan pembenahan diri serta bersiap sedini mungkin bukan tidak mungkin negara ini hanya akan berkutat dalam putaran bencana alam dan pembiayaan finansial yang tidak kunjung berhenti, hilangnya pulau, punahnya keanekaragaman hayati serta derita manusia. 

3. Isu global dengan perhatian lokal
Isu ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga hampir dipastikan tidak ada orang yang tidak pernah mendengar tentang perubahan iklim. Pasang surut proses perundingan di tingkat global  membuktikan banyaknya kepentingan yang berada di sana. Proses perundingan ini ada dalam kerangka PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change-UNFCCC) yang telah disepakati secara universal sebagai komitmen politik internasional tentang perubahan iklim. Berbagai kelompok ada pada proses perundingan tersebut, yaitu : negara-negara maju berada dalam kelompok Annex - I dan Annex - II yang mempuyai kepentigan yang berbeda satu sama lain, dan negara-negara berkembang berada di kelompok Non Annex - I dengan masih terfragmentasi ke dalam kelompok yang lebih kecil lagi sesuai kepentingan masing-masing misalnya OPEC (negara penghasil minyak), AOSIS (negara-negara kepulauan) dan G77+Cina (totalitas negara-negara berkembang). 

Indonesia sendiri termasuk dalam kelompok negara-negara berkembang (G77 + Cina) tetapi Indonesia juga merupakan negara anggota OPEC dan secara fisik juga mempunyai banyak pulau-pulau kecil. Dengan melihat begitu beragamnya kepentingan yang dibawa bukan tidak mungkin justru hal ini akan membingungkan ke arah mana kita akan melangkah. Dalam negosiasi internasional ini keterwakilan suatu negara dilakukan oleh pemerintah pusat dan belum tentu suara dari pemerintah daerah akan tertampung. Era desentralisasi yang baru dimulai di negara kita belum sepenuhnya berjalan baik dan pemberdayaan pemerintah daerah juga masih berjalan lambat. Yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah daerah adalah menyuarakan suaranya melalui organisasi kepemerintahan daerah seperti Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) dan Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) dan meningkatkan kerjasama dengan organisasi sejenis di tingkat internasional. Karena bagaimanapun juga pemerintah pusat akan bersama-sama dengan pemerintah daerah serta beberapa aktor lainnya (lembaga donor, lembaga masyarakat adat, LSM, swasta dll) yang akan melakukan proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sebagai salah satu negara yang mempunyai luas hutan Cukup besar, Indonesia mempunyai kepentingan untuk mempromosikan penyelamatan dan penggunaan hutan dalam rangka mengurangi efek gas rumah kaca. 

4. Kawasan hutan konservasi dalam kerangka perubahan iklim
Dalam UU no. 41 tahun 1999 kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Adapun tujuan dari pengelolaan kawasan konservasi ini adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Jelas sekali terlihat bahwa sudah seharusnya kawasan hutan konservasi tidak hanya tentang penjagaan dan pelarangan, perlindungan dan pengawetan tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat. Masalah sering timbul karena adanya perbedaan persepsi pemanfaatan kawasan hutan konservasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang biasanya didorong oleh kebutuhan peningkatan pendapatan daerah dan di saat yang bersamaan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan juga tinggi. Ditambah lagi pendanaan kawasan hutan konservasi yang sebagian besar hanya mengandalkan dana dari pusat seringkali tidak mencukupi. Hal tersebut di atas menjadikan tekanan terhadap kawasan hutan konservasi semakin meningkat dan mengakibatkan degradasi dan deforestasi. 

Jika ditilik lebih jauh kawasan hutan konservasi sangat besar peranannya dalam mitigasi/mengurangi perubahan iklim karena potensi penyerapan karbon dan stok karbon yang cukup tinggi, disaat yang bersamaan berarti mengurangi potensi emisi karbon ke atmosfir. Di sisi lain, peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan karbon hutan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pemanfaatan di kawasan konservasi. Pemanfaatan jasa lingkungan karbon hutan memberikan keuntungan tidak hanya lebih terjaganya sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya tetapi juga dapat memberikan pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi.

Kawasan konservasi sendiri lebih dari sekedar karbon. Kawasan hutan konservasi merupakan perlindungan daerah tangkapan air, pengatur tata air, pendaur ulang nutrisi, pengatur curah hujan dan juga pengendali penyakit. 

Kita masih tetap harus menunggu kesepakatan internasional tentang pemanfaatan jasa lingkungan karbon di kawasan hutan konservasi ini dan mudah-mudahan ada hasil positif dari UNFCCC ke-15 di Kopenhagen, Denmark pada bulan Desember mendatang. Dan yang perlu diingat adalah apapun bentuk mekanisme pemanfaatan jasa lingkungan karbon di kawasan konservasi nantinya, tetap memperhatikan kedaulatan negara di atas segalanya dan memberi keuntungan kepada masyarakat di dalam maupun sekitar kawasan.

Daftar Pustaka : 
  • Murdiyarso, D., 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Perubahan Iklim. Kompas. Jakarta.
  • Murdiyarso, D., 2007. Protokol Kyoto- Implikasinya Bagi Negara Berkembang. Kompas. Jakarta.
Oleh : Taufik Haryanto, S.Hut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar