Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Kamis, 17 Februari 2011

KABUPATEN KONSERVASI, UPAYA PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM DAERAH (Edisi 7 2010)

Latar Belakang 
Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya menerangkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kegiatan konservasi bertujuan untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Adapun kawasan konservasi adalah suatu kawasan yang berisi tentang keanekaragaman hayati yang sangat penting bagi kehidupan yang harus dijaga dan berfungsi untuk menjaga ekosistem lingkungan di sekitarnya, serta mempunyai status legalitas yang jelas sebagai kawasan konservasi. Berdasarkan UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan konservasi disebut dengan istilah hutan konservasi, yang meliputi Kawasan Suaka Alam (KSA) dan kawasan Pelestarian Alam (KPA). 

Keberadaan kawasan konservasi memegang peranan penting dalam menjaga kestabilan lingkungan khususnya di daerah. Namun demikian keberadaannya menjadi sorotan banyak kalangan, karena dianggap menjadi penghalang dalam pembangunan daerah. Hal ini dirasakan oleh pengelola, khususnya bagi kawasan konservasi yang berada pada daerah pemekaran, sehingga senantiasa dibenturkan dengan semangat pembangunan, perolehan Pendapatan Asli Dearah (PAD) dan lain-lain. Terlebih lagi, jika ternyata daerah pemekaran yang baru terbentuk memiliki hutan konservasi yang lebih luas dari fungsi hutan lain.

Tulisan singkat ini berusaha menggagas adanya kebijakan khusus berkaitan dengan kabupaten-kabupaten yang memiliki luasan hutan konservasi dan hutan lindung besar. Kabupaten-kebupaten yang demikian kita sebut dengan istilah Kabupaten Konservasi, dengan harapan, keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung pada daerah tersebut tidak menjadi beban dan berbenturan dengan semangat pembangunan. Bahkan sebaliknya keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung menjadi motivasi dan tolak ukur dalam membangun daerah serta sumber daya yang mampu mendatangkan PAD.

Untuk fokus, maka pembahasan dititikberatkan pada kawasan darat. Hal ini dengan pertimbangan bahwa kondisi daratan dapat dilihat oleh semua pihak dan baik-buruknya pengelolaan daratan akan berdampak nyata baik pada daratan maupun perairan.

Batasan Kabupaten Konservasi
Sebagaimana disebut dimuka, bahwa gelar/penyebutan kabupaten konservasi akan diberikan bagi kabupaten yang memiliki luasan hutan konservasi dan hutan lindung yang besar. Batasan ini belum spesifik atau masih sangat umum, karena belum menyebutkan secara nyata besarnya luasan tersebut, walau hanya dengan membandingkan dengan luasan kabupaten atau luasan fungsi hutan lainnya. 

Berapa standar luasan hutan konservasi dan hutan lindung yang ideal bagi sebuah kabupaten konservasi? Secara ilmiah hal ini belum pernah diteliti. Untuk memudahkan dalam penentuan batasan ini kita akan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, yang berkaitan erat dengan pemanfaatan ruang, yaitu UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Berdasarkan UU nomor 41 tahun 1999, dinyatakan bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas minimal cakupan luasan dan penutupan lahan tersebut adalah 30% dari luasan aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proposional. Hal yang sama disebutkan dalam UU nomor 26 tahun 2007. 

Secara nasional, berdasarkan UU nomor 26 tahun 2007, pemerintah menetapkan bahwa pola ruang nasional dibagi menjadi 2, yaitu kawasan lindung dan kawasan budi daya. Dua pola ruang nasional ini memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda, namun keduanya saling mendukung. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Secara umum kriteria kawasan lindung dan kawasan budi daya telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun 2008. 

Kita percaya bahwa pola ruang nasional yang ditetapkan dalam PP nomor 26 tahun 2008 tersebut telah sesuai dengan kriteria. Dengan demikian dalam penentuan kriteria Kabupaten Konservasi penulis sandarkan pada proporsi kawasan lindung (hutan konservasi dan hutan lindung) dengan kawasan budi daya (hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi konversi dan areal peruntukan lain). Secara ringkas sebagai berikut (perlu dikaji secara ilmiah) :

Tabel 1. Kriteria kabupaten konservasi

Tingkatan konservasi pada tabel diatas dapat naik dari kabupaten budidaya/produksi dan kebupaten lindung menjadi kabupaten konservasi jika kabupaten tersebut memiliki kawasan konservasi perairan yang mendominasi wilayah perairan.

Kondisi Luas Hutan Kabupaten di Papua Barat
Provinsi Papua Barat memiliki hutan seluas  9.720.310 ha atau sekitar 77,09 % dari luas provinsi, yang terdiri dari 1.751.648,350 ha hutan konservasi (HK), 1.612.277,570 ha hutan lindung (HL), sisanya sekitar 6.356.384 ha berupa hutan produksi (HP) dan areal peruntukan lain (APL). Posisi kawasan hutan tersebut tersebar pada 11 kabupaten. Papua Barat juga memiliki beberapa kawasan konservasi perairan yang luasanya sekitar 3,3 juta ha yang berada di Kab. Raja Ampat, Kab. Kaimana, Kab. Tambrauw dan Kab. Teluk Wondama.

Sebaran kawasa hutan tersebut di atas berada diseluruh wilayah kabupaten, namun dengan komposisi yang berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lain. Sebagaimana hal ini tergambar dalam grafik berikut :


Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa di Papua Barat terdapat 3 Kabupaten yang  memiliki persentase jumlah luas hutan konservasi (HK) dan hutan lindung yang lebih besar dari persentase jumlah luas hutan produksi (HP) dan areal peruntukan lain (APL). Adapun sisanya didominasi oleh kawasan hutan produksi dan APL. Ketiga kabupaten tersebut adalah Kab. Raja Ampat, Kab. Tambrauw dan Kab. Manokwari, dengan luasan HK+HL masing-masing sebesar 76,07%, 66,97% dan 50,02% dari masing-masing luas hutan. Jika dimasukan dalam kriteria/batasan kabupaten konservasi, maka ke-3 kabupaten tersebut berhak menyandang gelar Kabupaten Konservasi. 

Kemudian dengan manambahkan kawasan konservasi perairan ke dalam luasan HL dan HK, maka terdapat 2 kandidat kabupaten yang berstatus sebagai Kabupaten Konservasi, yaitu Kab. Teluk Wondama yang mememiliki Taman Nasional Teluk Cenderawasih seluas 1.383.300 ha dan Kab. Kaimana dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kaimana seluas 597.747 ha. 

Berdasarkan penjelasan di muka, maka dapat disimpulkan bahwa di Papua Barat terdapat 5 kabupaten konservasi, yaitu kab. Raja Ampat, Kab. Tambrauw, Kab. Teluk Wondama, Kab. Manokwari dan Kab. Kaimana. Secara khusus jika dilihat keberadaan kawasan konservasi (darat dan perairan), kelima kabupaten tersebut menyimpan kekayaan sumber daya alam yang sangat besar dan memiliki nilai konservasi yang tinggi baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Sebagian besar hutan konservasi dan hutan lindung pada ke-5 kabupaten tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan stretegis nasional dalam dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, antara lain, adalah kawasan pelindungan dan pelestarian lingkungan hidup PP nomor 26 tahun 2008.

Manajemen Kabupaten Konservasi
Manajemen yang dimaksud dalam sub ini lebih adalah manajemen dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pada kabupaten konservasi. Sebagai kabupaten yang wilayahnya didominasi oleh kawasan lindung, maka pola pengelolaan sumber daya alamnya harus hati mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan untuk kawasan tersebut. Kaidah-kaidah ini telah tercantum dalam UU nomor 5 tahun 1990, UU nomor 41 tahun 1999, UU 26 tahun 2007, PP 68 tahun 1998 dan PP nomor 26 tahun 2008.

Berdasarkan PP nomor 26 tahun 2008 disebutkan bahwa kebijakan pengembangan kawasan lindung meliputi 2 kegiatan, yaitu: 1) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian lingkungan hidup dan, 2) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Strategi yang ditetapkan untuk untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi :
  1. Menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;
  2. Melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
  3. Melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke  alamnya;
  4. Mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
  5. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
  6. Mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan 
  7. Mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.

Tujuh strategi tersebut harusnya menjadi acuan bagi Pemda Kabupaten Konservasi, khususnya dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRWK) dan rencana aksinya. Dengan demikian strategi pembangunan wilayah kabupaten konservasi juga mengacu pada strategi di atas, agar fungsi dan manfaat sumber daya alam serta kawasan lindung yang ada dapat dirasakan secara berkesinambungan secara khusus oleh masyarakat dan pemda setempat dan secara umum oleh masyarakat nasional dan internasional. Untuk itu pengelolaan sumber daya alam tidak boleh hanya dibebankan pada Pemda semata, tetapi harus didukung dan melibatkan semua pihak, baik pemerintah pusat maupun provinsi, individu maupun kelompok swasta (kelompok) bahwa dari pemda lain.


Pendanaan Kabupaten Konservasi
Pada tahap awal pengelolaan kawasan konservasi memerlukan pendanaan yang tidak sedikit bahkan sebagian orang menyebutnya dengan istilah cost center, artinya sarat dengan pembiayaan. Mungkin ini merupakan permasalahan yang aling kruisial, yang akan menjadi alasan pemda tidak untuk menolak keberadaan kawasan lindung (HK dan HL). Jangankan untuk pengelolaan kawasan lindung, untuk operasional pemerintahan saja diperkirakan akan sangat kecil. Hal ini mengingat rendahnya aktivitas produktif pada kawasan budi daya yang notabene lebih kecil dari kawasan lindung, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya pendapatan asli daerah.

Dengan  uraian dimuka maka Pemda Kabupaten Konservasi tidak boleh ditinggal sendirian, khususnya dalam pendanaannya, baik untuk pengelolaan kawasan lindung yang cost center maupun untuk operasional roda pemerintahan.  Dalam hal ini dukungan semua pihak terlebih pemerintah pusat dan provinsi sangat diperlukan khususnya. Alternativ pendanaan yang mungkin dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 
  1. Menggali potensi kawasan lindung yang dapat dimanfaatkan secara lestari dan mendatangkan PAD, sepert potensi jasa lingkungan, potensi perdagangan karbon dalam skema REDD Plus, potensi wisata alam dll. Dalam ini paling tidak kawasan lindung dibuat untuk dapat membiayai seperluannya sendiri;
  2. Melakukan van rising baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri;
  3. Melakukan subsidi silang dengan kabupaten budi daya/ produksi, yaitu adanya penerimaan PAD dari kabupaten yang memiliki kawasan lindung kurang dari 50% kepada kabupaten konservasi. Untuk hal ini diperlukan regulasi khusus pada tingkat pusat dan provinsi.

Sumber bacaan
  • Anonim.2010.Bahan Ajar Pelatihan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Papua dalam Kepungan Pertambangan.
  • BBKSDA Papua Barat, 2009. Dokumen Renstra BBKSDA Papua Barat 2010  2015. Papua Barat.
  • BBKSDA Papua Barat, 2010. Buletin Konservasi “Kepala Burung” Edisi. 05/ Januari-Maret/ 2010. Papua Barat.
  • NOAA, 2010. Pelatihan Perencanaan Pengelolaan Kawasan  Konservasi Perairan. Papua Barat.
  • Lokakarya koordinasi pembangunan desa konservasi dengan UPT dan Pemda dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Produktif Sekitar Kawasan Konservasi, 2010. Lampung.

Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar