Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Selasa, 22 Februari 2011

Belajar dari Banjir Bandang Wasior (Edisi 8 2010)

Flood Assassin (banjir pembunuh) merupakan istilah yang diberikan terhadap kejadian banjir bandang yang terjadi pada tanggal 4 Oktober 2010 di Wasior Kab. Teluk Wondama dengan waktu kejadian yang singkat mampu menelan korban jiwa hingga ratusan orang meninggal dunia dan korban harta benda lainnya ditaksir sekitar Rp 300 miliar. Apa sebenarnya penyebab banjir bandang tersebut ? berikut penjelasannya :

Apakah banjir bandang
Banjir bandang adalah banjir di daerah permukaan rendah yang  isebabkan oleh hujan deras dalam waktu singkat, disebabkan oleh badai yang bergerak lambat, badai berulang kali bergerak atas area yang sama, atau hujan deras dari badai dan badai tropis. Umumnya kejaidan banjir bandang kurang dari 6 jam. Banjir bandang biasanya ditandai dengan aliran air yang deras setelah hujan lebat yang melalui dasar sungai, jalan‐jalan perkotaan, atau ngarai gunung dan menyapu segala sesuatu di depan mereka. Banjir bandang dapat terjadi dalam menit atau beberapa jam dari curah hujan yang berlebihan. Banjir bandang juga dapat terjadi bahkan jika tidak ada hujan sekalipun, misalnya setelah tanggul atau bendungan yang jebol, atau setelah air yang tiba‐tiba dilepaskan oleh puing‐puing atau bongkahan es.

Bagaimana banjir bandang terjadi
Bebarapa faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya banjir bandang. Dua element kunci yaitu insensitas hujan dan durasi hujan. Intensitas adalah jumlah dari curah hujan dan durasi adalah berapa lama hujan terjadi. Selain itu topografi, kondisi tanah dan penutup tanah juga memainkan peranan penting. Banjir bandang terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam dari curah hujan yang berlebihan, kegagalan bendungan atau tanggul, atau pelepasan tiba‐tiba air yang dihasilkan oleh jebakan es. Banjir bandang dapat menggelindingkan batu, mencabut pepohonan, menghancurkan bangunan dan jembatan. Cepatnya air naik dapat mencapai ketinggian 10 meter atau lebih. Selain itu, banjir bandang yang disebabkan hujan juga dapat memicu bencana tanah longsor.

Kejadian Banjir Bandang Wasior
Banjir bandang wasior terjadi pada hari Senin tanggal 4 Oktober 2010 jam 08.30 WIT dengan lokasi di 2 Distrik yaitu Distrik. Wasior (desa. Wasior I, Wasior II, Rado, Moru, Maniwak, Manggurai dan Wondamawi) dan Distrik. Wondiboy (Desa Wondiboy). Akibat/Korban Korban meninggal 95 orang, luka berat 185 orang (125 dirawat RSUD Nabire dan 53 orang RSUD Manokwari, 6 orang di RSAL Manokwari, 1 orang dievakuasi keluar Papua Barat) dan luka ringan 535 orang. Sedangkan korban hilang tercatat 76 orang. Sementara itu, pengungsi yang telah terdata sebanyak 2.129 jiwa (± 1.994 jiwa di Manokwari dan 135 jiwa di Nabire). Kerusakan rumah 31 unit rusak berat/hanyut, sarana kesehatan 1 unit rumah sakit rusak berat, sarana pendidikan 2 unit sekolah rusak berat, jalan 1 ruas rusak berat, jembatan 4 unit rusak berat, dan hotel 1 unit rusak berat.

Letak dan Posisi
Secara administratif lokasi banjir terletak di Kabupaten Teluk Wondama terdiri yang dari 7 distrik dan 53 kampung/desa dengan luas daerah seluruhnya berjumlah 4.996 Km2. Daerah tersebut sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Fakfak, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong Selatan dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Paniai. Secara geografis terletak pada posisi koordinat 134o 01' 49”  134o 57' 5” BT dan 1o 58' 27”  3o 00' 32” LS.

Gambar 1. Lokasi Banjir Bandang Wasior

Kondisi Biofisik Lokasi
Lokasi kejadian banjir bandang di Kabupaten Teluk Wondama termasuk dalam daerah aliran sungai (DAS) Sobei dengan luas 48.120,77 hektar yang terbagi menjadi 9 (sembilan) Sub DAS 5 (lima) diantaranya yang terkena dampak banjir yaitu DAS Rado seluas 2.308 ha, DAS Sanduai seluas 2.275 ha, Angris yang luasnya 1.323 ha, DAS Manggurai mencakup 2.065 ha, dan DAS Wanayo seluas 1.638 ha, disamping empat DAS kecil diantara DAS yang lebih besar tersebut (Gambar 2).

Gambar 2. Peta DAS-DAS Pemasok Banjir dan Daerah Kebanjiran 
(Sepanjang Dataran Pinggir Wasior), Sumber Google

Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Karakteristik penggunaan lahan yang terdapat di DAS Sobei diperoleh dari interpretasi citra Landsat ETM tahun 2006, serta cek lapangan pada bulan Oktober 2010. Berdasarkan hasil interpretasi dan cek lapangan, maka jenis penggunaan lahan di lokasi DAS Sobei sebagian besar didominasi oleh hutan lahan kering primer dengan luasanmencapai 45.294 hektar atau 93,25 % dan kondisinya masih bagus belum ada campur tangan dari manusia karena merupakan kawasan suaka alam terletak di perbukitan dengan lereng yang curam, sementara di bagian bawah umumnya untuk pertanian lahan kering dan sebagian dirubah menjadi pemukiman penduduk. 

Tabel 1. Penggunaan Lahan di DAS Sobei

Kondisi Daerah Tangkapan Air atau DAS
  • Berdasarkan informasi dari pensiunan kehutanan yang mengikuti survey burung tahun 1980‐an mengatakan bahwa jalan rintisan tidak melalui jalur sungai, karena sangat terjal, tetapi mengikuti pungggung bukit. Wilayah yang berat rintisannya adalah DAS Angris.
  • Lebih lanjut diceritakan bahwa kondisi tutupan hutan masih murni tidak terganggu; namun dijumpai pohon tumbang dengan posisi akar di atas. Kondisi tutupan lahan dari foto penerbangan Wasior ‐ Manokwari seperti Gambar 3.
Gambar 3. Kondisi Penutupan Lahan DAS‐DAS di Wasior (Foto: Paimin, Okt. '10) Topografi/Lereng rata-rata

Topografi/Lereng rata‐rata
Topografi merupakan konfigurasi permukaan bumi yang dikontrol oleh kondisi relief permukaan bumi. Relief atau kesan topografi dapat memberikan informasi tentang konfigurasi permukaan bentuk lahan yang dapat ditentukan berdasarkan keadaan morfometriknya. Keadaaan morfometrik dicerminkan oleh kemiringan lereng dan beda tinggi Kondisi topografi daerah banjir bandang yang meliputi keadaan lereng, yaitu: kemiringan lereng daerah monev terdiri dari datar landai sampai sangat curam. Kemiringan lereng akan memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan volume limpasan permukaan. Semakin besar kecepatan limpasan permukaan akan semakin curam lereng tersebut, akibatnya air akan sulit untuk meresap kedalam tanah dan akan memperbesar aliran permukaan. Hal ini akan diperparah jika penggunaan lahannya tidak sesuai dengan peruntukannya.

Topografi Das Sobei bergunung dengan lereng terjal, gradien sungai terjal, dan di belakang pemukiman dibatasi bentangan lereng terjal sehingga sungai mengalir di celah perbukitan lereng terjal. Kondisi topografi DAS Sobei sebagian besar terdiri dari topografi curam sekali (25‐40%) dengan luas mencapai 42.604 ha atau 87,32 % dari luas DAS Sobei dan sebagian kecil terutama di muara sungai memiliki topografi landai (0‐8%) seluas 6.187 hektar atau 12,68 % dari luas DAS. Klas kemiringan lereng di DAS Sobei selengkapnya terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klas Kemiringan Lereng di DAS Sobei

Geologi & Tanah
Daerah ini dilewati sesar Australia, sehingga kemungkinan banyak terjadi patahan atau tanah ambles, dan tanah longsor seperti spot belakang Gambar 3. Tanah paling dominan adalah jenis Podslik dengan fraksi pasir (kwarsa) yang dominan seperti Gambar 4.
Menurut Kementerian ESDM Morfologi daerah Kabupaten Teluk Wondama dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) satuan morfologi, yaitu :
  1. Satuan Morfologi Perbukitan Terjal, sebagian besar (± 50%) menempati daerah bagian timur (Pegunungan Wondiboi /Daerah Wasior dan sekitarnya) dan sebagian daerah bagian barat. Satuan morfologi ini umumnya disusun oleh satuan batuan malihan, yaitu genes, amfibolit, filit, batusabak, batulanau malih dan batupasir malih. Kemiringan lereng yang membentuk satuan morfologi ini berkisar dari 300 ‐ 650 . Ketinggian satuan morfologi ini berkisar dari 229 m ‐ 2340 m diatas permukaan laut. Sebagian besar satuan morfologi ini merupakan kawasan cagar alam dan swaka marga satwa.
  2. Satuan Morfologi Perbukitan Bergelombang, sebagian besar menempati daerah bagian barat dan utara. Ketinggian satuan morfologi ini berkisar dari 200 m ‐ 614 m di atas permukaan laut. Batuan pembentuk satuan morfologi ini sebagian besar terdiri dari satuan batugamping, batuan malihan, batupasir, batulumpur dan batulanau. Pola aliran yang berkembang adalah dendritik  sub dendritik. Kemiringan lereng berkisar dari 100 ‐ 350 . Sebagian besar satuan morfologi ini merupakan hutan lindung dan hutan produksi.
  3. Satuan Morfologi Dataran, sebagian besar menempati daerah bagian barat, tengah dan daerah pesisir pantai. Batuan pembentuk satuan morfologi ini adalah terdiri dari satuan batuan malihan, satuan batulanau, endapan pantai dan satuan alluvium. Pola aliran yang berkembang adalah dendritik dengan lembah berbentuk huruf “U” yang mencerminkan bahwa tahap erosi sudah mencapai tingkat dewasa. Kondisi Geologi DAS Sobei secara lengkap dapat dilihat dari Tabel 3.
Tabel 3. Kondisi Geologi DAS Sobei Lokasi Banjir Bandang

Gambar 4. Tanah di DAS Sobei

Fungsi Kawasan
Sebagian besar fungsi kawasan di DAS Sobei masuk dalam Cagar Alam Darat yang terkenal dengan Cagar Alam Pegunungan Wondiwoi dengan kondisi vegetasi masih alami, tidak dijumpai adanya penebangan liar. Selengkapnya dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4 Fungsi Kawasan di DAS Sobei

Analisis Banjir Bandang Wasior
Berdasarkan hasil investigasi dan anlisis di lapangan yang disusun oleh Tim dari kementerian Kehutanan yang terdiri dari Ir. Paimin M.Sc, Ir. Djonli MF, dan Ir. Bowo Heri Satmoko Daerah Kabupaten Teluk Wondama yang dilanda bencana banjir meliputi seluruh dataran sepanjang pantai sekitar Distrik Wasior seperti Gambar 1. Pasokan air banjir berasal dari 9 (Sembilan) daerah tangkapan air atau daerah aliran sungai (DAS) Banjir bandang yang terjadi Wasior tidak hanya air mengalir tetapi aliran air disertai hanyutan material batu yang ukurannya sangat besar dan kayu dengan diameter diatas 50 cm, panjang > 10 meter beserta banir (bonggol batang), serta material tanah dengan dominasi fraksi pasir, bukan lumpur. Air bah beserta material terangkut terjadi dalam waktu singkat yakni sekitar 15 menit meskipun banjir baru surut setelah satu jam sesuai dengan berhentinya air hujan yang jatuh. Dengan luas daerah tangkapan air (DTA) sekitar 1.300  2.300 ha dan hanya didahului hujan satu hari sebelumnya tidak mungkin menghasilkan debit air banjir seperti yang terjadi yang mampu menghanyutkan batu besar, batang pohon panjang berbanir. Diduga debit air banjir merupakan jumlah air banjir normal ditambah akumulasi limpasan yang tertahan oleh sumbatan palung sungai akibat tanah longsor (banjir ekstrem) seperti yang terjadi antara lain di Panti, Jember, Jawa Timur, dan Bohorok, Sumatera Utara.

Wilayah Wasior dilewati sesar Australia, sehingga banyak terjadi patahan atau tanah ambles ehingga secara umum rentan terhadap tanah longsor. Lereng sungai yang terjal dengan lapisan tanah tebal mudal longsor, walaupun bervegetasi hutan, karena akar pohon tidak mencapai batuan sehingga terbawa gerakan tanah ke bawah tanpa tahanan. Bahan longsoran dari tebing akan menyumbat palung sungai sehingga limpasan air dari hulu sumbatan akan tertahan dan terakumulasi. Proses penyumbatan tidak hanya Oleh tanah longsor tetapi juga oleh pohon tumbang karena umur tua, oleh angin atau terbawa tanah longsor, seperti diceritakan oleh surveyor burung tahun 1980‐an. Selama penggenangan maka tebing yang terendam tanahnya menjadi jenuh dan tidak stabil sehinggga tanah longsor dan pohon tumbang dan terendam.

Akibat hujan yang terus menerus maka sumbat palung sungai tidak kuat menahan akumlasi air sehingga jebol dan mengakibatkan banjir bandang seperti air ditumpahkan. Gradien sungai yang terjal mendorong aliran air banjir berjalan sangat cepat sehingga tenaga perusak yang dihasilkan sangat besar. Dalam perjalanan alirannya maka kayu yang terendam tanah penyumbat terhanyut oleh aliran yang sangat besar. Selama dalam perjalanan alirannya maka batu yang berda di dasar sungai dan di tebing sungai ikut terseret gelombang aliran air. Disamping itu aliran yang deras juga akan menggerus tebing sungai sehingga tanah batu dan pohon di tebing sungai ikut terhanyut. Hipotesis ini dikuatkan dengan tanda atau indikator atau bukti lapangan sebagai berikut:
  1. Endapan pasir menunjukkan lapisan tanah yang terbawa banjir tidak hanya lapisan atas tetapi juga lapisan bawah berupa pasir kwarsa.
  2. Kayu yang besar, panjang, berbanir, dan terkelupas kulitnya sebagai tanda pohon yang tumbang beserta akarnya dan terendam cukup lama. Pohon yang masih kelihatan lebih segar merupakan pohon yang terhanyut aliran banjir sepanjang sungai.
  3. Dorongan tumpahan yang besar mendorong batu yang besarpun ikut terhanyut.
  4. Tumpahan air yang tinggi dibarengi material terangkut sehingga dimensi sungai tidak muat sehingga menjadi aliran liar mengikuti kondisi alami yang ada. Jembatan yang tersumbat oleh kayu maupun batu membuat aliran banjir menjadi meluas.
  5. Terseretnya kayu besar dan batu besar jauh dari mulut sungai menunjukkanbesarnya kecepatan aliran meskipun gradien aliran berubah lebih datar dan dimensi adan aliran lebih luas.
  6. Berdasarkan bukti lapangan tersebut maka kemungkinan terjadinya banjir bandang di Wasior akibat multi proses tanah longsor, sumbatan, tampungan air, banjir normal dan dam jebol.
Hubungan Banjir Bandang Dengan Illegal Logging
  • Kondisi penutupan lahan di semua DAS tidak berbeda yakni masih dalam tutupan vegetasi alami yang rapat.
  • Kondisi alami bentang alam yang ada menyulikan para pencuri kayu mencapai lokasi dan tidak memungkinkan pengangkutan kayu hasil tebangan (akses sulit).
  • Andaikan terjadi pencurian kayu hanya di bukit belakang pemukiman yang secara teknis tidak mempengaruhi banjir. Tapi dari observasi lapangan pencurian kayu pada bentangan bukit ini tidak nampak.
  • Kondisi tutupan lahan yang tidak berbeda tetapi menghasilkan banjir dengan material terangkut yang berbeda. Banjir dari sungai yang berasal DAS Rado, Sanduai, Angris, dan Manggurai menunjukkan banjir ekstrem dengan membawa material batu besar, pohon besar utuh, dan material pasir, sehingga menyumbat jembatan; sedangkan banjir dari DAS Wanayo merupakanbanjir normal hanya mengangkut batu dan kayu kecil tanpa menyumbat jembatan dan merusak daerah sekitar (Gambar 5).
  • Apabila illegal logging dikaitkan dengan pengusahaan hutan, maka konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang terdekat adalah PT Dharma Sakti Persada yang jaraknya sekitar 100 km dari lokasi banjir dan tidak ada akses ke lokasi banjir.
  • Dengan demikian banjir yang terjadi bukan karena illegal logging tetapi karena bentuk banjir ekstrem yang terjadi tidak hanya akibat curah hujan yang tinggi tetapi ada tambahan tenaga lain selain limpasan dari hujan yang terjadi saat tersebut.
Saran Tindak Lanjut
Saran tindakan ke depan dipilah antara tidakan pada daerah pemasok air banjir dan daerah yang terkena banjir. Pemilahan agar lebih bisa memudahkan pemahaman peran bagi setiap institusi terkait.
1. Tindakan pada Daerah Pemasok Air Banjir
Keadaan daerah pemasok air banjir atau daerah tangkapan air (catchment area) didominsi oleh kawasan cagar alam dan pelestarian alam yang dalam keadaan belum terganggu atau masih murni. Untuk mengurangi kemungkinan terulangnya multi proses banjir dan tampungan air limpasan di daerah tangkapan air, tindakan ke depan yang diperlukan adalah:
  • Pemetaan daerah rawan longsor pada kawasan hutan konservasi.
  • Inspeksi rutin jalur sungai terhadap kemungkinan terjadinya penyumbatan palung sungai, baik oleh pohon tumbang maupun oleh tanah longsor dari tebing sungai.
  • Pengendalian tanah longsor pada tebing sungai utama.
  • Penanaman kembali areal kosong (apabila ada) sesuai asas fungsi kawasan yang bersangkutan.
2. Tindakan pada Daerah Kebanjiran
Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa sungai‐sungai yang mengalir ke daerah sepanjang pantai Wasior sering banjir dan airnya meluap ke pemukiman sekitar sungai. Hal ini terlihat juga pada sungai Wanayo yang ketika terjadi pada tanggal 10 Oktober 2010 air melipah ke areal sekitar. Disamping itu tebing perbukitan di belakang pemukiman Wasior cukup terjal dan rawan terhadap tanah longsor, termasuk di belakang kantor pmerintahan Kabupaten Wasior. Berdasarkan kondisi tersebut maka tindakan pencegahan bencana banjir ke depan meliputi:
  • Peningkatan dimensi palung sungai sehingga mampu menampung air banjir puncak yang mungkin terjadi (peak run off). Hal ini dapat dilakukan dengan pembuatan tanggul sungai mulai mulut sungai di perbukitan sampai ke pantai.
  • Pembuatan tanaman jalur sekat di belakang pemukiman Wasior mulai dari kaki bukit hingga jarak 100m. Jalur sekat merupakan hutan lindung dengan jenis tanaman setempat yang meiliki sifat perakaran dalam dan daur panjang ditanam pada jarak relatif rapat secara selang‐seling (zig‐zag).
Sumber Pustaka
Laporan Investigasi dari Tim Kementerian Kehutanan Untuk Banjir Bandang Wasior dengan anggota :
  1. Ir. Djonli, MF, KaSubDit Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS, Dit Pengelolaan DAS, DitJen BPDASPS.
  2. Ir. Paimin, MSc, Peneliti Madya, Balai Penelitian Kehutanan Solo, Badan Litbang Kehutanan.
  3. Ir. Bowo Heri Satmoko, KaSubDit Penggunaan Kawasan Hutan Wilayah II, DitJen Planologi.
  4. Ir. Mintarjo, MMA, KaBag TU Pimpinan, Biro Umum.
  5. Dani Gunawan, Staf SubBag Protokol, Biro Umum.
Oleh : Muhammad Hendy Noordianto, S.Si (BPDAS Remu-Ransiki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar