Benarkah pemekaran daerah selalu mengorbankan konservasi? Pertanyaan tersebut menggugah jiwa konservasi ribawan sebagai pejuang konservasi yang berada di garis depan yang senantiasa berpikir keras agar konservasi tidak terlupakan bahkan dikorbankan dengan adanya pemekaran daerah.
Wancana pemekaran daerah baru terus bergulir sampai pada batasan ideal untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan pemekaran daerah sesuai PP Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yaitu membentuk daerah otonom yang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Tujuan tersebut sebagai upaya peningkatan taraf hidup masyarakat suatu daerah, percepatan pembangunan fisik (infrastruktur), pembagian wilayah administrasi dan pemerintahan.
Hal tersebut juga mendasari pembentukan daerah otonomi baru (DOB) termasuk Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan pembentukan beberapa daerah administrasi di Papua. Melalui UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres Nomor 1 tahun 2003, yang melahirkan Provinsi Papua Barat pada tahun 2003/2004. Pada awal pembentukannya Provinsi Papua Barat memiliki 8 kabupaten dan 1 kota (Kabupaten Manokwari, Sorong, Teluk Bintuni, Raja Ampat, Kaimana, Teluk Wondama, Fak-fak dan Kota Sorong).
Kemudian pada awal tahun 2009 lahir 2 kabupaten baru yaitu kabupaten Tambraw dan Maybrat. Faktor-faktor yang secara umum mendorong pemekaran di Papua khususnya daerah Kepala Burung antara lain; potensi kekayaan sumber daya alam, letak geografis yang strategis, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk dan mempunyai nilai history yang didukung oleh kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur, aksesibilitas, dan dukungan (aspirasi) masyarakat.
Berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001, masyarakat Papua memiliki kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat. Lahirnya kebijakan Otsus diharapkan dapat mengakomodir aspirasi masyarakat Papua, termasuk aspirasi pemekaran daerah. Namun demikian pada beberapa daerah, pemekaran daerah terkesan dipaksakan dan terlihat hanya untuk memenuhi kepentingan politik semata, bahkan telah mengorbankan sumber daya alam.
Pada awal terbentuknya, DOB akan giat melakukan optimalisasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan optimalisasi ruang untuk menunjang pembangunan.
Berbagai sumber daya alam dieksploitasi besar-besaran hanya untuk mengejar PAD dan banyak kawasan hutan dikonversi untuk memenuhi kebutuan ruang bagi pembangunan infrastruktur. Aktivitas pemanfaatan sumber daya alam dan pembangunan pada DOB seringkali mengabaikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 23 Tahun 1997 tengang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Renataan Ruang sering diabaikan bahkan dianggap bertentangan dengan UU tentang daerah otonom dll.
Berikut penulis sampaikan sebuah pelajaran berharga dari Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Raja Ampat yang dibentuk dalam rangka pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat, yang sekarang menjadi Provinsi Papua Barat. Kabupaten Raja Ampat dibentuk berdasarkan UU No 26 Tahun 2002. Raja Ampat merupakan wilayah kepulauan yang terletak di jantung pusat segitiga terumbu karang (Coral Triangle) dunia dan mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa, terdiri dari 610 pulau besar dan kecil, 34 pulau di antaranya berpenghuni, dengan panjang garis pantai 4.860 Km, serta 80% wilayah daratnya merupakan kawasan konservasi. Berdasarkan hasil penelitian CII dan TNC, Raja Ampat memiliki kekayaan 1.200 species ikan dan 600 species terumbu karang yang masih utuh dan memiliki 75% jenis dari keanekaragaman species hayati bawah laut yang ada di dunia.
Sebelum pemekaran, wilayah Raja Ampat merupakan kawasan perlindungan setempat dan kawasan perlindungan kabupaten Sorong serta Provinsi Papua pada umumnya. Bahkan saat ini dalam Rencana Tata Ruang Nasional, Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan perlindungan nasional dan kawasan strategis nasional serta telah diusulkan sebagai warisan dunia. Hal ini menunjukan pentingnya wilayah Raja Ampat baik secara lokal, regional maupun nasional serta internasional, sehingga perlu dilestarikan. Karena pentingnya Raja Ampat, sejak awal terbentuknya ada beberapa LSM internasional yang terjun langsung mengawalnya, agar pembangunan yang dilaksanakan didasarkan pada data-data ilmiah dan tidak mengorbankan kelestarian sumber daya alam dengan semata-mata bertumpu pada aspek ekonomi.
Setelah menjadi DOB, Raja Ampat harus memeras keringat untuk mengurus segalanya termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dan menggali sumber-sumber perolehan PAD. Pada tahun-tahun awal inilah, Pemda Raja Ampat seperti berada pada persimpangan jalan, antara pelestarian dengan eksploitasi sumber daya alam. Kebijakan yang diambil Raja Ampat pada tahun-tahun ini terlihat kontradiksi. Sebagai contoh kebijakan penetapan 7 jejaring Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), yang seharusnya didukung oleh pelestarian kawasan daratnya, ternyata dibaringi dengan penerbitan Kuasa Pertambangan (KP), yang jumlahnya relatif banyak. Setidaknya ada 9 KP tambang nikel yang telah diterbitkan, yang lokasinya berada dalam kawasan lindung (kawasan konservasi dan hutan lindung). Hal ini tentunya akan berdampak negatif pada KKLD yang telah ditetapkan, seperti adanya limbah, erosi dan sedimentasi di wilayah laut dll.
Contoh lain adalah deklarasi Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari pada tahun 2006 yang seharusnya didukung oleh pengembangan infrastruktur bahari (lautan) untuk mendorong perkembangan ekonomi daerah, namun ternyata yang dikembangkan adalah infrastruktur darat berupa jaringan jalan lingkar pulau yang menghubungkan kampung-kampung. Jaringan jalan ini selain tidak efektif karena bertentangan dengan adat kebiasaan (sosial budaya) masyarakat yang 90% hidupnya sebagai nelayan, juga telah merusak kehidupan masyarakat sendiri karena sebagian berada pada kawasan konservasi yang seharusnya dijaga.
Kondisi dan permasalahan di Kabupaten Raja Ampat, telah menjadi sorotan publik baik yang pro maupun yang kontra terhadap kebijakan pembangunan yang telah diambil oleh Pemda. Seakan sadar dari kesalahan yang ada, pada Mei 2010 melalui pernyataannya di Media, Bupati Kabupaten Raja Ampat Marcus Wanma, menyatakan bahwa Raja Ampat sebagai “Kabupaten Bahari” tidak lagi memberikan ijin Kuasa Pertambangan kepada Perusahaan Pertambangan yang beroperasi di Raja Ampat. Ia mengakui, “aktifitas pertambangan yang ceroboh akan banyak menimbulkan kerugian karena bakal merusak alam di darat dan laut. Contohnya, ada tawaran investor pertambangan nikel di wilayah Waigeo Timur dan Barat, tetapi ditolaknya karena terdapat potensi perikanan dan kelautan yang tinggi”. (Jubi, 2010, Kompas, 2010).
Pernyataan Bupati Raja Ampat tersebut kiranya menjadi pelajaran berarti bagi DOB-DOB lain, bahwa ternyata mengeksploitasi tambang hanya akan diperoleh kenimatan sesaat dalam jangka waktu yang sangat singkat dan selebihnya akan menuai petaka karena hilangnya kesimbangan lingkungan dan musnahnya sumber daya alam. Bahkan pertambangan juga akan melahirkan budaya baru yang menghancurkan budaya masyarakat dalam waktu yang sangat singkat pula. Namun pada sisi lian kesadaran ini harus didukung oleh stakeholders lain, sehingga upaya konservasi tidak menjadi momok bahkan berlawanan dengan upaya pembangunan pada daerah pemekaran.
Dalam mendukung pembangunan daerah tersebut, Balai KSDA Papua Barat sebagai salah satu stakeholders yang berkepentingan terhadap pelestarian sumber daya alam telah melakukan peran nyata, sebagai berikut :
- Memaksimalkan pengelolaan kawasan konservasi melalui dukungan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan terhadap kawasan konservasi,
- Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi,
- Meningkatkan kegiatan sosialisasi perlindungan dan pengamanan hutan, dan
- Meningkatkan koordinasi mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten sebagai upaya sinkronisasi penataan ruang agar kawasan konservasi tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung. (Balai Besar KSDA Papua Barat, 2008)
Daftar Pustaka
- Balai Besar KSDA Papua Barat. 2008. Kondisi dan Permasalahan Kawasan Konservasi Di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Sorong.
- Jubi. 2010. Kebijakan Tambang Ancam Potensi Kekeyaan Bawah Laut di Raja Ampat. www.tabloidjubi.com.
- Kompas. 2010. Tidak Boleh Ada Eksploitasi Tambang Dikawasan Raja Ampat. http://akuindonesiana.wordpress.com/2010/05/05/tidak-boleh-ada-eksploitasi-tambang-dikawasan-raja-ampat/.
- Peraturan Pemerintah Nomor 129. 2000. Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
- Undang-Undang Nomor 21. 2001. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
- Undang-Undang Nomor 45. 1999. Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
Oleh : Brian Stefano Korowotjeng, S.Hut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar