Pengantar
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.504 pulau termasuk pulau yang bernama dan belum bernama (Depdagri, 2002). Lima pulau besar yang terdapat di wilayah Indonesia antara lain Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.290 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan luas perairan 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan pedalaman 2,9 juta km2, perairan teritorial 0,3 juta km2 dan perairan ZEE 2,7 juta km2 (Dishidros-Oseanografi TNI AL, 1997; Atlas Sumberdaya Pesisir Kab. Teluk Bintuni, 2003)
Secara geografis, negara Kepulauan Nusantara ini terletak di sekitar katulistiwa di antara 94o45' BT - 141o01'BT dan 06o08' LU - 11o05'LS. Secara spasial, wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke timur sepanjang 5.110 km dan dari Utara ke Selatan 1.888 km (Sugiarto, 1982).
Sejak masa reformasi, tahun 2000-an, wilayah Indonesia terus mengalami pemekaran, mulai dari tingkat yang terendah desa/kelurahan sampai pada tingkat provinsi. Sampai tahun 2010 ini, pemekaran wilayah Indonesia telah melahirkan 5 provinsi baru, sehingga menjadi 32 provinsi yang terdiri dari +498 kabupaten/kota. Di antara 498 kebupaten/kota tersebut beberapa kabupaten/kota merupakan Daerah Otonomi Baru (DOB) hasil pemekaran wilayah sejak masa reformasi. Hal ini karena untuk memenuhi persyaratan pembentukan provinsi baru, sehingga kabupaten/kota yang terbentuk kebanyakan berada pada wilayah provinsi baru dan atau di provinsi induk.
Khusus pada daerah pemekaran, kebutuhan sumber daya alam bagi pembangunan infrastruktur sangat tinggi. Sumber daya alam ini mecakup juga kebutuhan ruang (spasial) yang terkadang berbenturan dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan sebelumnya. Tulisan singkat ini mencoba mencari upaya pemenuhan kebutuhan ruang bagi daerah pemekaran, yang aman dan berkelanjutan. Aman secara peraturan perundang-undangan dan lingkungan serta berkelanjutan dalam mendukung pembangunan daerah pemekaran dan meningkatkan kesejahteran masyarakat.
Pemekaran Daerah
Pemekaran Daerah adalah pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, tantang Pemerintah Daerah pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pembentukan daerah baru dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Namun yang sering terjadi adalah pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sebagai contoh yang terjadi di Papua adalah :
- Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat,
- Pemekaran Kabupaten Manokwari menjadi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Teluk Bintuni,
- Pemekaran Kabupaten Sorong menjadi Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat.
Adapun penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah baru, berdasarkan pengamatan penulis belum pernah terjadi di Indonesia. Namun demikian berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, hal tersebut dapat dilakukan dan sangat mungkin terjadi.
Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, syarat teknis dan syarat fisik kewilayah. Syarat administrative maliputi persetujuan DPRD dan pemimpin daerah (gubernur/ bupati/walikota) dari daerah induk, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Untuk pembentukan provinsi baru harus ada persetujuan dari DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi (pasal 5 ayat (2) dan (3)).
Syarat teknis dalam pembentukan daerah baru meliputi faktor-faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah. Syarat teknis ini mancakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (pasal 5 ayat (4)). Syarat fisik sebagaimana dimaksud adalah meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Gambaran Kinerja DOB
Pada bulan Juli 2008 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Bekerja Sama Dengan United Nations Development Programme (UNDP) menerbitkan sebuah buku yang berjudul Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Ada 4 aspek yang dievaluasi dalam buku tersebut, yaitu aspek ekonomi, aspek keuangan pemerintah, dan aspek pelayanan publik dan aparatur pemerintahan.
Setelah lima tahun pemekaran, beberapa aspek memang menunjukkan gejala yang positif seperti meningkatnya pembangunan prasarana fisik, munculnya fasilitas layanan publik di DOB. Namun demikian, daerah yang tidak mekar pun secara umum menunjukkan kinerja yang serupa. Studi ini juga mengevaluasi kondisi umum pada saat sebelum pemekaran (tahun 1999) dilakukan, dan ternyata kondisi daerah pemekaran tidak jauh berbeda dengan daerah kontrol. Namun setelah terjadi pemekaran daerah pada periode 2001-2005, posisi daerah DOB jauh tertinggal dari daerah induk maupun daerah kontrol. Sehingga dapat dikatakan, bahwa ketidakseimbangan dalam aspek perekonomian terjadi setelah lima tahun pemekaran ini diberlakukan. Dari aspek ini terdapat dua masalah utama yang dapat diidentifikasi:
1. Pembagian Potensi Ekonomi Tidak Merata.
Perkembangan data yang ada menunjukkan bahwa wilayah-wilayah DOB memiliki potensi ekonomi yang lebih rendah daripada daerah induk. Hal ini terlihat pada nilai PDRB daerah DOB yang lima tahun terakhir ini masih berada di bawah daerah induk, meskipun PP 129/2000 mensyaratkan adanya kemampuan ekonomi yang tidak jauh berbeda antara daerah induk dengan calon daerah otonom baru. Secara riil potensi yang dimaksud adalah kawasan industri, daerah pertanian dan perkebunan yang produktif, tambak, pertambangan, maupun fasilitas penunjang perekonomian lainnya.
2. Beban Penduduk Miskin Lebih Tinggi.
Daerah pemekaran umumnya memiliki jumlah penduduk miskin yang relatif lebih besar. Hal ini membawa implikasi bahwa untuk menggerakkan perekonomian daerah sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat diperlukan upaya yang jauh lebih berat. Penduduk miskin umumnya memiliki keterbatasan sumber daya manusia, baik dalam hal pendidikan, pengetahuan maupun kemampuan yang dapat menghasilkan pendapatan. Di samping itu, sumber daya alam di kantong-kantong kemiskinan umumnya juga sangat terbatas, misalnya, tanah yang hanya dapat ditanami tanaman pangan dengan produktivitas rendah.
Grafik Indeks Kinerja Perekonomian Daerah
Grafik diatas menunjukan bahwa kinerja perekonomian DOB paling rendah dibanding dengan daerah induk, daerah kontrol dan daerah mekar. Hal-hal yang diduga menjadi penyebab rendahnya kinerja perekonomian DOB antara lain, pertama, pembagian sumber-sumber perekonomian antara daerah DOB dan induk tidak merata. Daerah induk biasanya mendominasi pembagian sumber daya ekonomi seperti kawasan industri maupun sumber daya alam produktif. Kedua, investasi swasta di DOB relatif kecil sehingga selama lima tahun terakhir tidak banyak terjadi perubahan yang cukup signifikan untuk mendongkrak perekonomian daerah. Ketiga, perekonomian di DOB belum digerakkan secara optimal oleh pemerintah daerah baik karena kurang efektifnya program-program yang dijalankan, maupun karena alokasi anggaran pemerintah yang belum optimal.
Grafik di atas menunjukan bahwa pada tahun 2005, meski daerah DOB memiliki nilai PDRB per kapita hampir sama dengan daerah rata-rata, namun ternyata tingkat kemiskinan di daerah DOB relatif tinggi (mencapai 21,4% dari total penduduk) dibandingkan dengan daerah induk (16,7%). Di samping itu, angka kemiskinan daerah pemekaran (gabungan daerah induk dan DOB) masih lebih tinggi dibandingkan daerah kontrol. Hal ini menandakan bahwa meski daerah pemekaran memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kontrol, jumlah penduduk miskin di daerah pemekaran juga lebih tinggi.
Di sisi keuangan daerah, studi tersebut menyimpulkan bahwa daerah baru yang terbentuk melalui kebijakan Pemerintahan Daerah menunjukkan kinerja yang relatif kurang optimal dibandingkan daerah kontrol. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah, yaitu ketergantungan fiskal yang lebih besar di daerah pemekaran berhubungan dengan besarnya alokasi belanja modal di daerah pemekaran; optimalisasi pendapatan dan kontribusi ekonomi yang rendah; dan porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah yang rendah. Semua ini mengindikasikan belum efektifnya kebijakan keuangan daerah terutama di daerah otonom baru dalam menggerakkan aktifitas ekonomi di daerah baik yang bersifat konsumtif maupun investasi.
Mengenai aspek kinerja pelayanan publik studi ini mengidentifikasi bahwa pelayanan publik di daerah pemekaran belum berjalan optimal, disebabkan oleh beberapa permasalahan, antara lain tidak efektifnya penggunaan dana; tidak tersedianya tenaga layanan publik; dan belum optimalnya pemanfaatan pelayanan publik. Dari aspek kinerja aparatur pemerintah daerah diidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan yang tersedia; kualitas aparatur yang umumnya rendah; dan aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment.
Dampak Pemekaran Terhadap Kawasan Hutan
Dimuka telah disebutkan bahwa kebanyak DOB memiliki potensi sumber ekonomi yang lebih rendah dari daerah induk. Sebagian besar atau bahkan semua potensi ekonomi eksisting dikuasai oleh daerah induk. Tidak hanya itu, bahkan sarana infrastruktur pemerintahan pada DOB belum tersedia sama sekali. Kondisi semacam inilah yang antara lain menjadi penyebab tingginya kebutuhan sumber daya alam dan kebutuhan ruang pada DOB.
Kebutuhan ruang bagi DOB sangat mendesak karena semua DOB membutukan ruang untuk membangun infrastruktur daerah mulai dari jaringan jalan sampai ruang untuk membangun gedung perkantor serta fasilitas umum lainnya. Selain itu DOB juga membutuhkan ruang untuk pengembangan ekonomi, yaitu ruang budi daya yang lebih luas, mengingat sebagian besar ruang budi daya berada pada daerah induk.
Gambar Jalan Trans Papua Barat Lampiran Peta Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.672/Menhut-II/2008 tanggal 29 Oktober 2008.
Sebagai gambaran akan kebutuhan ruang tersebut, dapat dilihat dari rencana pembangunan Jalan Trans Papua Barat. Rencana pembangunan jalan tersebut telah mendapat persetujuan/ijin prinsip dari Menteri Kehutanan, yaitu dengan terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.672/Menhut-II/2008 tanggal 29 Oktober 2008 tentang Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Ruas Jalan Guna Menghubngkan Daerah Terisolir/Pedalaman dan Pesisir Pada Kawasan Hutan. Dalam peta lampiran SK. Menteri Kehutanan tersebut dicantumkan bahwa ruas jalan yang dimaksud seluas 5.330,85 ha dengan panjang 1.332,71 km. Ruas jalan sepanjang itu terdiri dari 1.332,71 km jalan baru dengan lebar 14 m dan luas 1.865,81 ha dan jalur hijau dan jalur pengembangan sepanjang 1.332,71 km dengan lebar 26 m dan luas 3.465,04 ha.
Gambar Pembangunan Kota Waisai, sebagian masuk dalam kawasan CA. Waigeo Barat
Gambaran lain adalah apa sekarang tengah terjadi di DOB Kabupaten Raja Ampat. Kabupaten Raja Ampat terbentuk sejak tahun 2002 dengan terbitnya UU nomor 26 Tahun 2002. Kabupaten yang sebagian wilayah daratnya merupakan kawasan hutan konservasi ini, sejak saat itu telah melakukan upaya pembangunan infrastruktur daerah, khususnya di Kota Waisai yang menjadi pusat pemerintahan. Infastruktur yang dibangun selama ini antara lain; rumah sakit umum, perumahan 100, perumahan 200, perumahan 300, PAM, perumahan DPR, Polres, stadion olah raga, pembangunan jalan yang menghubungkan antara Kota Waisai dengan distrik/kampung di sekitarnya sepanjang + 53.792 meter. Semua fasilitas tersebut berada dan menfaatkan ruang yang berdasarkan peta hutan dan perairan berfungsi sebagai kawasan hutan. Bahkan dalam rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Raja Ampat merencanakan rasionalisasi kawasan hutan konservasi luasan 7,63% dari luas hutan konservasi darat seluas 519.137 ha.
Dua gambaran di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan ruang DOB berpengaruh nyata terhadap eksistensi kawasan hutan termasuk di dalamnya hutan konservasi. Hal ini tentunya akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya alam dalam kawasan hutan. Dampak ini akan semakin besar, jika pemanfaatan dan rasionalisasi (baca alih fungsi) kawasan hutan tidak sesuai dengan prosedur dan uji kelayakan kawasan. Karena bisa jadi pemanfaatan dan fungsi baru tidak sesuai dengan karakteristik sumber daya alam, bentang alam dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat yang ada.
Bagaimana Dengan Konservasi?
Kegiatan konservasi dengan segala macam variannya sering dipandang sebelah mata bahkan dicibir sebagai penghalang/penghambat pembangunan dan sangat bertentangan dengan semangat DOB. Konservasi dikenal hanya dari sisi perlindungan dan pengawetan saja dengan mengabaikan sisi pemanfaatannya, sehingga konservasi dalam konteks pembangunan dinilai negatif yang senantiasa dibenturkan dengan pembangunan.
Dengan dalih pembangunan, perolehan PAD dan penyediaan ruang budi daya yang lebih besar, kebanyakan DOB melakukan terobosan-terobosan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dengan dalih ini juga sebagian atau bahkan semua DOB menginginkan resionalisasi kawasan hutan termasuk di dalamnya hutan konservasit secara pintas tanpa melalui pengkajian yang seksama dan tanpa mengikuti prosedur yang telah tetapkan.
Hal bukan berarti bahwa DOB harus pasrah dengan pola dan struktur ruang yang ada. Namun yang dimaksudkan adalah bahwa penetapan pola dan struktur ruang DOB harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan secara nasional (RTRWN), secara regional (RTRWP) dan jika dibutuhkan perubahan pola dan struktur ruang harus mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentunya hal ini bukan untuk membatasi gerak daerah dalam pemanfaatan ruang, akan tetapi untuk tujuan pembangunan yang lebih luas dan masa depan yang panjang.
Dengan demikian tidak ada lagi benturan kepentingan antara konservasi dengan pembangunan dan semangat DOB, antara kawasan lindung dan kawasan budi daya. Hal ini, kerena semua merupakan bagian dari pembangunan yang tentunya memiliki peran masing sesuai dengan fungsi peruntukannya.
Akhirnya kita berharap agar semangat pembangunan pada DOB, khususnya dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, dilakukan sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga fungsi kawasan hutan (budi daya dan lindung) lebih terasa dan lestari dalam mendukung pembangunan daerah.
Sumber bacaan:
- Anonim. 2003.Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Teluk Bintuni. Bintuni.
- Anonim. 2007. Drar Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Raja Ampat.
- Darmawan Dkk. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bekerja Sama Dengan United Nations Development Programme (UNDP). BRIDGE (Building and Reinventing Decentralised Governance). Jakarta.
Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut