Cerita pembuka di majalah Time, “A Nation of Finger Pointers”, menunujukan fenomena orang sibuk dan bayi menangis, yang mencerminkan “ketidaktoleransian dan keinginan menyalahkan orang lain atas apapun”. Menurut artiekel Time tersebut, orang sibuk ini membayangkan bahwa mereka bisa hidup, cantik, dan bijak selamanya, jika mereka berhenti dari kebiasaan merokok. Sedangkan bayi menangis “melihat mimpi Amerika bukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan, tapi sebagai hak yang tidak bisa didapat”. Orang sibuk dan bayi menagis mersa menjadi victim, karena tidak bisa mendapat apa yang mereka inginkan karena seseorang atau sesuatu yang lain telah mendapatkannya.
Cerita pembuka tersebut merupakan cerminan bahwa terkadang kita lupa hasil yang kita peroleh berbading lurus dengan usaha yang telah kita lakukan. Rimbawan, sebagai bagian dari sebuah sistem organisasi di Kementerian Kehutanan, kita punya tanggungjawab dan sesuai dengan peran masing-masing. Peran dan tanggungjawab sebagai pejabat akan berbeda dengan peran dan tanggungjawab staf. Kegagalan sebuah organisasi adalah kegagalan dan tanggungjawab bersama. Rimbawan, tetapi kadang tanpa sadar, jika kita mendapatkan suatu kegagalan misalnya makin rusaknya hutan yang kita punyai. Buru-buru kita langsung mencari siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan tersebut. Perilaku dalam permainan “Blame Game” (permainan mencari kesalahan) sudah menjadi hal yang biasa dan banyak ditemui di organisasi kita. Blame Game adalah dua buah gejala dari sindrom “menghindar dari tanggungjawab”. Kita sering merumuskan dan mencari alasan-alasan, rasionalisasi dan argumentasi agar kita tidak dimintai tanggungjawab sepenuhnya. Lempar tanggungjawab dan sibuk mempersiapkan cerita victimisasi, bukan mencari apa yang seharusnya dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Tanpa sadar banyak waktu dan energy yang banyak yang kita keluarkan sia-sia untuk membuat alasan dan cerita victimisasi tersebut.
Rimbawan Kementerian Kehutanan di level bawah mungkin merasakan hambatan dalam kinerja, dan mereka membiarkan terjebak dalam sikap victimisasi, padahal mereka memiliki power untuk mengatasi dan mendapatkan hasil. Contoh, ada pegawai beranggapan bahwa mereka tidak pernah maju di kantornya karena pimpinan tidak memberikan arahan dan bimbingan yang dibutuhkan. Seorang pimpinan sering menyalahkan staf R & D nya karena yang lambat memperkenalkan hasil researchnya sehingga kehilangan kesempatan dan mengalami kinerja yang buruk. Seorang pengusaha mengeluh karena sulitnya menyelesaikan urusan dalam birokrasi yang dihadapinya. Orang menjadi victim setiap hari karena manipulasi orang lain, pesaing yang kejam, kolega yang curang, masalah ekonomi, tipuan maupun kejahatan. Apapun yang terjadi orang tidak pantas mengalami kejadian itu karena dia tidak sengaja menyebabkannya atau tidak bisa akuntabel terhadap itu. Orang tidak akan maju jika dia hanya duduk dan pasarah merasa lemah dan menyalahkan orang lain atas persolannya. Di lain waktu anda juga mungkin pasti pernah bertemu dengan orang yang memiliki sikap akuntabilitas, yang memaksa dirinya dan orang lain agar bertanggungjawab untuk meraih hasil yang diinginkan. Orang ini seperti berhenti untuk mencari alasan, sehingga saling tunjuk, menyangkal, mengabaikan, berpura-pura dan menunggu.
Permainan who done it (siapa yang melakukanya) sering terjadi dalam organisasi manakala terjadi kegagalan. Orang yang melakukannya berusaha untuk memindahkan perhatian supaya bergeser ke orang lain sehingga tidak terlihat dibalik alasan, penjelasan, justifikasi dan asosiasi yang telah disampaikan.
Lebih parah lagi manakala who done it bergeser ke craft your story maka orang akan terjebak dalam kesibukan untuk membuat karangan bukan memberikan hasil yang sebaliknya.
Kekuatan Perusak dari Victimisasi.
Kerusakan terbesar yang dialami masyarakat akibat pemujaan victimisasi adalah dogma bahwa orang tidak bisa menjadi apa yang dicita-citakan karena efek kondisi. Intinya, sikap victimisasi mencegah orang untuk tumbuh dan berkembang. Seorang rimbawan mengatakan “Itu tidak adil” bukan mencari standar ekuitas dan keadilan seperti apa yang dikatakan oleh pakar etika. Dia hanya berkeyakinan bahwa dunia dan lingkungannya tidak memberikan legitimate lain selain memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Banjir bandang datang, Kebakaran hutan membara... Siapa yang bertanggungjawab atas bencana tersebut? Siapa yang bisa dan harus mencegahnya? Sayangnya, seperti yang kita duga, stakeholder yang ada malah saling menyalahkan dan lempar tanggungjawab dan lebih ironis lagi mereka bilang tidak melakukan kesalahan. Atau mereka hanya diam dan menunggu keajaiban tanpa berusaha untuk mengatasi persoalan tersebut.
Kasus lain yang muncul adalah pembantaian orang utan di Kalimantan, siapa yang mesti bertanggungjawab, siapa yang bisa dan harus mencegah? Sekali lagi orang sibuk dengan argument dan alasan victim sehingga terhindar dari tanggungjawab.
Garis tipis meisahkan antara orang yang sukses dan gagal. Dibawah garis tersebut (below the line) terdapat pencarian alasan, penyalahan orang lain, dan sikap lemah layaknya pecundang. Sedangkan di atas garis (Above the line) adalah kesadaran, ownership, komitmen, solusi atas masalah dan aksi tegas. Ketika pecundang berada di Below the line dia dengan gagahnya mencari alasan-alasan yang menjelaskan mengapa ia gagal. Sedangkan pemenang di Above the line selalu berkomitmen dan bekerja keras.
Orang dan organisasi dikatakan berpikir dan bertindak dalam cara Below the line ketika merasa ingin menghindari akuntabilitas atas hasil individu dan kolekstif. Karena terjebak dalam siklus victim, mereka kehilangan semangat dan kemauan, sampai akhirnya merasa lemah sama sekali. Dengan bergerak ke Above the Line, naik menuju tangga akuntabilitas barulah mereka akan menjadi kuat kembali.
Ketika orang dan organisasi keseluruhan berada dalam Below The Line, mereka tidak sadar dengan realitasnya, lalu segalanya menjadi buruk dan tidak ada yang tahu mengapa terjadi. Bukannya menghadapi realita, pihak yang kalah sering mengabaikan dan berpura-pura tidak tahu akuntabilitasnya, menyangkal akuntabilitasnya, menyalahkan orang lain atas tindakannya, menyebut bingung sebagai alasan diamnya, meminta orang lain memberitahu apa yang harus dilakukan, mengatakan bahwa mereka tidak bisa melakukannya, atau hanya menunggu melihat situasinya membaik sendiri.
Rimbawan, untuk kembali ke Above The Line, dan keluar siklus Victim kita harus naik melalui steps to Akuntabilitas dengan menggunakan sikap melihat (See It), memiliki (Own It), memecahkan (Solve It), dan melakukan (Do It). Langkah pertama -See It- berisi rekognisi dan pemahaman realita dari sebuah situasi. Setelah anda bisa melihatnya, langkah ini menghadapi halangan terbesar karena sulit bagi banyak orang untuk melakukan penilaian yang jujur padahal itu penting untuk mendapatkan hasil. Langkah kedua adalah Own It- berarti menerima tanggungjawab atas realita yang anda ciptakan untuk anda dan orang lain. Dengan langkah ini kita bisa menuju aksi nyata. Langkah ketiga Solve It- berisi perubahan realita dengan menemukan dan mengimplementasikan solusi masalah yang tidak pernah anda pikirkan sebelumnya, sekaligus menghindari jatuh ke Below the Line ketika hambatan muncul. Keempat, langkah Do It, berisi penguatan komitmen dan keberanian untuk menggunakan solusi, mesti menciptakan sebuah nalar baik yaitu common sense. Kita yakin bahwa commonsense ini memberikan kekuatan besar untuk membuat kita bergerak ke Above The Line.
Bagaimanapun cara kita menyakininya, bagaimanapun kerja keras kita, kita semua tahu bahwa kita ingin hasil. Kita tahu bahwa kita memiliki tanggungjawab dan bahwa kita perlu mempelajarinya dan menjalankannya di level yang kita harapkan. Kita tahu bahwa kita sendirilah yang menentukan nasib hidup kita dan yang mengukur sendiri kebahagiaan kita. Di sitir dari Al Quran : Tidaklah Allah merubah nasib suatu kaum sampai kaum tersebut berusaha merubahnya sendiri.
Menekankan bahwa setiap individu mempunyai peran dalam suatu organisasi. Kelompok bisa berbagi tanggungjawab tapi setiap individu harus memikul tanggungjawabnya sendiri. Bila setiap orang bisa menerima tanggungjawab atas kinerja dan hasilnya setiap dari mereka pasti tahu bahwa ini butuh team work dan pembagian tanggungjawab untuk meraih target keseluruhan.
Rimbawan, kita juga telah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari, memikirkan dan meningkatkan cara individu dan organisasi dalam meraih hasil. Selama beberapa tahun, kita mengikuti perkembangan dalam pemikiran manajemen organisasi mulai dari teknologi kontrol kualitas sampai seni leadership. Sampai akhirnya kita berkesimpulan bahwa kesuksesan berpangkal dari satu prinsip, yaitu bahwa anda bisa gagal atau sukses. Hanya itu.
Menaiki Steps to Accountability.
Untuk berpindah dan menaiki tangga dari Below The Line (perilaku victim) ke Above The Line dengan cara menumbuhkan sikap konfidensi/kepercayaan diri bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Ketika anda terjebak dalam siklus victim, kita tidak akan bisa keluar jika kita tidak merasa bahwa kita berada di Below The line. Dengan mersakanan berarti kita menunjukan sikap See It, karena itulah perspektif yang kita butuhkan untuk menuju pada Above The Line. Feedback dari seorang teman yang objektif akan sangat membantu anda. Amati situasi, tumbuhkan sikap memiliki, selesaikan dan segera lakukan. Setiap proyek mempunyai resiko yang tidak terduga, yang membedakan adalah bagaimana setiap organisasi mengatasi dan merespon hal yang tidak terduga.
Butuh waktu dan tenaga, komitmen untuk menaiki steps accountability. Ada berbagai tangga untuk menuju steps to accountability :
- Melihat sikap dan perilaku akuntabel
- Meminta feedback dari orang lain perihal kinerjanya
- Mengenali realita (tantangan dan masalah)
- Menghindari hal-hal yang tidak bisa terkontrol
- Berkomitmen 100% tentang apa yang dilakukan
- Merasa memiliki kondisi dan hasilnya
- Segera mengetahui ketika berada di below the line dan bertindak cepat untuk menghindari victimisasi
- Memanfaaatkan peluang untuk mewujudkan sesuatu
- Menanyakan pada diri sendiri tentang apa yang bisa saya lakukan untuk naik dan mendapat hasil yang diinginkan.
Rimbawan, dengan bersifat akuntabel maka kita cenderung untuk selalu berfikir positif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada sesuai dengan peran dan tanggungjawabnya masing-masing. Kita hidup bukan hanya untuk hari ini tapi juga untuk masa depan.
Disarikan dari buku:
Connors, Roger et all. (1994).The Oz Principle : Getting Result through individual and Organizational Accountability. Prentice Hall Press.
Oleh : Khuswantoro Akhadi, S.Hut (Staf pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari)
Mantap artikelnya. Lanjutkan👍
BalasHapushttp://www.uma.ac.id/