Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Rabu, 17 Agustus 2011

PELEPASLIARAN SATWA DILINDUNGI NURI KEPALA HITAM ( Lorius lorry ) (Edisi 9 2011)



Jumat, 22 Januari 2011 di TWA Sorong telah dilakukan pelepasan burung Nuri (Lorius lorry). Burung ini merupakan hasil tangkapan dari masyarakat yang telah dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku. BKSDA Maluku telah menunjuk TWA Sorong yang merupakan salah satu kawasan konservasi lingkup Balai Besar KSDA Papua Barat sebagai tempat pelepasliaran. Tentunya pelepasliaran ini mengingat burung ini merupakan burung endemik di pulau Papua. Sebanyak 8 ekor burung telah dilepasliarkan. Burung-burung ini telah lolos uji kesehatan dari pihak karantina Sorong. 

Pelepasliaran ini telah dilakukan serah terima burung dari pihak BKSDA Maluku kepada Kepala Balai Besar KSDA Papua Barat dan disaksikan oleh pihak BKSDA Maluku, karantina Sorong,  dan BBKSDA Papua Barat.

Burung  burung ini telah merasakan kebebasan di alamnya setelah dilakukan pelepasliaran. Mereka merasa bebas dan leluasa. 

Oleh : Tim Redaksi Buletin Konservasi Kepala Burung

PAHLAWAN PENYU BELIMBING (Edisi 9 2011)

SEKILAS TENTANG MASA TUGAS
Setelah lulus SKMA Manokwari memulai karir sebagai kepala survey dan pengawas blok RKT dan RKL pada HPH PT. Wapoga Mutiara Timber Grup (anak perusahaan KLI) selama kurun waktu 1994 - 1998. Dimulai pada tahun 1994 bertugas di Base Camp PT. Wapoga Mutiara Timber Group yang terdapat di derah Urfas Waropen Atas atau lebih di kenal dengan nama Wapoga Kampung tepatnya berada di tepi sungai Wapoga. Tahun 1995 dan tahun 1996 berhasil mengajak 3 (tiga) suku terasing keluar dari hutan ke kampung Wapoga yaitu suku Burate, Demisa, dan Sodate. Tahun 2000 lulus tes PNS dan SK Penempatan di Sub Balai KSDA Papua II yang sekarang menjadi Balai Besar KSDA Papua Barat dan mulai bertugas di  Kawasan Suaka Margasatwa Jamursba Medi Distrik Sausapor pada tanggal 15 Juni tahun 2000. Tahun 2004-2007 di kontrak oleh WWF Region Sorong untuk melakukan monitoring dan pendataan Penyu Belimbing di Pantai Jamursba dan Warmon. Selain itu ia juga terlibat langsung dengan kegiatan Penelitian yang di lakukan oleh NOAA dan UNIPA.

PROFIL

  • Nama : Betuel Samber
  • NIP : 19690731 200003 1 001
  • Jenis Kelamin : Laki-laki
  • Status : Sudah menikah
  • Agama : Kristen Protestan
  • Pekerjaan : PNS pada Balai BKSDA Papua Barat
  • Alamat Rumah : Jl. Sorong - Teminabuan Km. 16, Kelurahan Klablim  Kompleks Kolam Buaya

PROGRAM KEGIATAN dan PENGHARGAAN
1. Program Kegiatan
Program-program yang sudah dilakukan mengacu pada isu-isu terkait pengelolaan habitat dan populasi penyu di Pantai Jamursba Medi dan Pantai Warmon dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

2. Penghargaan
Mendapatkan Medali dan Piagam sebagai  ” Conservation Hero 2010” dari Disney Wordwide Conservation Fund dan SOLO (Save Our Leatherback Operation).

Oleh : Tim Redaksi Buletin Konservasi Kepala Burung

Selasa, 16 Agustus 2011

Kelayakan TWA Sorong Sebagai Kawasan Hutan Sumber Benih (Edisi 9 2011)



    Taman Wisata Alam Sorong merupakan suatu kelompok hutan yang terletak antara tanjung Sorong dan Sungai Warsamson seluas ± 945,9 Ha telah ditetapkan dengan SK Manteri Pertanian Nomor : 397/Kpts/Um/5/1981, tanggal 7 Mei 1981 sebagai kawasan dengan fungsi sebagai taman wisata dengan nama “Taman Wisata Alam Sorong”. Kawasan ini berada pada pemerintahan Distrik Sorong Timur Kota Sorong Provinsi Papua Barat. Dan kawasan ini berada dibawah wilayah kerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat.

Benih bermutu genetik unggul hanya dapat diperoleh dari sumber benih yang dikelola dengan baik, yaitu dengan menerapkan pengetahuan pemuliaan pohon dalam pengelolaannya, volume produksi kayu per satuan luas, daya tahan terhadap hama dan penyakit serta dapat memperpendek daur tanaman sehingga sangat menguntungkan dalam pengusahaannya. Dengan kata lain, benih unggul secara genetik merupakan faktor yang sangat efektif dan efisien guna meningkatkan keuntungan dalam bisnis pembangunan hutan tanaman.

Beberapa aspek yang merupakan kendala dalam penyediaan benih bermutu genetik unggul tersebut antara lain :
  1. Masih kurangnya sumber  sumber benih seperti kebun benih dan tegakan benih lainnya yang secara khusus memang diperuntukan untuk menghasilkan benih yang berkualitas tinggi.
  2. Lemahnya manajemen tentang pembangunan dan pemeliharaan sumber benih, sehingga sumber benih yang ada belum dimanfaatkan secara baik oleh pengelola, pemilik dan pengguna.
  3. Lemahnya sistem evaluasi sumber benih sehingga berdampak pada belum optimalnya pemanfaatan sumber benih.
  4. Belum tersusunnya petunjuk teknis pembangunan, identifikasi dan deskripsi serta evaluasi sumber benih.

Aspek lain seperti belum diterapkannya metode dan atau teknik pembangunan sumber benih yang baik.

Pustaka
Total luas hutan tanaman Damar (Agathis labillardieri Warb) di kelurahan Klablim adalah seluas 284,8 Ha, yang ditanam sejak tahun 1956 sampai tahun 1964. Pembungaan Damar (Agathis labillardieri. Warb)  di Taman Wisata Alam Sorong ini terjadi pada minggu III dan IV bulan Desember. Produksi buah/pohon  sebanyak 83 buah dengan persentase biji berisi dalam setiap kerucut sebanyak 81% dalam setiap kerucut. Dalam satu buah, jumlah benih 88  90 pada musim panen yang baik. (Balai Penelitian Kehutanan Manokwari).

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1976), Struktur vegetasi dapat dikatakan mencapai pertumbuhan klimaks apabila terdiri dari beberapa lapisan/strata tajuknya. Adapun pembagian stratifikasi dapat dicirikan sebagai berikut :
  • Startum A, merupakan lapisan teratas yang terdiri dari pohon  pohon dengan tinggi lebih dari 30 meter bentuk tajuknya tidak merata, batang bebas cabang tinggi.
  • Stratum B, merupakan lapisan kedua yang mana terdiri dari pohon  pohon yang tingginya antara 20 - 30 meter, tajuknya pada umumnya merata, pada batang pohon biasanya banyak cabang dan tidak begitu tinggi. 
  • Stratum C, merupakan lapisan ketiga dimana terdiri dari pohon  pohon yang tinginya antara 4 - 20 meter, pohon  pohon pada stratum ini rendah dan biasanya banyak cabang.
  • Stratum D, merupakan lapisan pohon perdu dan semak dan anakan pohon, yang tingginya antara 1  4 meter.
  • Stratum E, merupakan lapisan tajuk tumbuh  tumbuhan penutup tanah (cover) dengan tinggi kurang dari 1 meter.

Kusmana dan Istomo (1995) membedakan lapisan lapisan masyarakat tumbuh  tumbuhan sebagai berikut :
  1. Tingkat semai, apabila pohon  pohon yang mempunyai tinggi antara 0,3 sampai 1,5 meter.
  2. Tingkat pancang, apabila pohon  pohon yamg mempunyai tinggi antara > 1,5 dengan diameter < 10 cm.
  3. Tingkat tiang, apabila pohon  pohon yang mempunyai diameter antara 10 cm  19 cm.
  4. Tingkat pohon inti, apabila pohon  pohon yang mempunyai diameter antara 20 cm  49 cm.
  5. Tingkat pohon besar, apabila pohon  pohon yang mempunyai diameter > 50 cm.

Kriteria umum kelayakan sumber benih yang baik yang ditetapkan oleh Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Departemen Kehutanan adalah :

1. Aksesibilitas mudah
Tegakan diterima sebagai calon sumber benih jika mudah dikunjungi, dekat jalan dan topografi yang ringan. Sehingga mudah untuk dilakukan kegiatan pengamatan bunga dan buah setiap musim, pengumpulan dan pengangkutan benih dan pekerjaan lainnya.
2. Jumlah pohon
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika jumlah pohon cukup yaitu minimal 25 pohon. Pada hutan alam jarak antar pohon minimal 100 m, dan pada hutan tanaman jarak minimum tidak menjadi persyaratan.
3. Kualitas tegakan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika kualitasnya termasuk rata  rata hingga diatas rata-rata. Penentuan kualitas tegakan ini tergantung pada produk yang dihasilkan apakah sebagai kayu pertukangan pulp getah, daun, dsb. 
4. Pembungaan dan Pembuahan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika terlihat berbunga atau berbuah, ada infiormasi telah berbunga atau berbuah, dibawah tegakan terlihat banyak anakan atau terlihat sisa-sisa bunga dan buah yang gugur. 
5. Keamanan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika bebas dari perambahan, penyerobotan, penebangan liar, tebang pilih, gangguan ternak dan kebakaran.
6. Kesehatan
Tegakan diterima sebagai sumber benih jika bebas atau sedikit terserang hama penyakit, yang terlihat dari ciri-ciri kematian pohon yang acak dalam jumlah kecil dan tidak mengelompok.

Tegakan akan diterima sebagai sumber benih jika semua tolak ukur diatas dapat terpenuhi. Sebaliknya tegakan akan ditolak sebagai sumber benih jika salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi.

Kelayakan TWA. Sorong Sebagai Sumber Benih Ditinjau Dari Syarat Kebun Benih :
1. Aksesibilitas 
TWA. Sorong terletak di tengah kota Sorong, hal ini merupakan suatu keunggulan karena ada lokasi hutan di tengah kota, di samping itu kawasan ini berbatasan dengan jalan utama, sehingga mudah untuk dijangkau. 
2. Jumlah pohon
Tegakan Damar (Agathis labillardieri. Warb.) yang merupakan hutan tanaman yang ditanam  sejak tahun 1956 sampai tahun 1964 memiliki luas hutan 284,8 Ha. yang memiliki jumlah rata  rata per hektar lebih dari 25 pohon.
3. Kualitas tegakan
Kualitas tegakan untuk tegakan Damar (Agathis labillardieri. Warb.) pada TWA. Sorong memiliki kualitas yang tidak diragukan lagi dari segi peruntukannya baik untuk kayu pertukangan, maupun untuk dimanfaatkan getahnya. Hal ini dapat dilihat dari kwalitas tegakan yang sudah merupakan stratum A (diatas 30m) dan memiliki Ø (dimeter) rata-rata ≥ 50cm, disamping itu pula banyaknya getah (damar) yang keluar dengan sendirinya dari batang pohon Damar.
4. Pembungaan dan Pembuahan
Dengan usia tegakan yang cukup tua yang berkisar antara 47-55 tahun sudah dapat dipastikan bahwa tegakan damar pada kawasan ini telah mengalami pembungaan dan pembuahan disamping itu hal ini dapat didukung dengan bukti banyaknya anakan  anakan damar di bawah tegakan, disamping banyaknya siasa  sisa bunga dan buah yang gugur di bawah tegakan.
5. Keamanan
Dengan letaknya yang dekat dengan kantor pusat BBKSDA Papua Barat secara otomatis pengawasan terhadap kawasan ini akan menjadi prioritas utama sehingga penyerobotan dan penebangan liar bisa ditekan sekecil mungkin.
6. Kesehatan
Angka kematian tegakan damar pada kawasan ini cukup kecil, hanya berupa pohon tumbang karena sistem perakaran yang lemah akibat erosi dan beberapa tegakan mengalami kekeringan akibat usia yang cukup tua.

Secara keseluruhan 6 (enam) syarat yang ditentukan oleh Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Kementerian Kehutanan untuk suatu tegakan bisa ditetapkan sebagai sumber benih telah dipenuhi oleh TWA Sorong. Kini bagaimana kawasan ini ditetapkan sebagai sumber benih sehingga intensitas pengelolaan TWA Sorong bisa lebih ditingkatkan, di samping itu kebutuhan akan bibit dalam upaya reboisasi ataupun penghijauan bisa dipenuhi dari kawasan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1981. Mengenal Sifat  Sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Anonymous, 1999. Undang  undang Kehutanan No. 41 Departemen Kehutanan. 
Arief, A.2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 
Buletin Penelitian Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, 1996.
Informasi Singkat Benih. 2001, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan.
Dr. Ir. C. Kusuma, MS dan Ir. Istomo, MS. 1995.  Ekologi Hutan Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Marsono, DJ. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe  Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan Universitas Gadja Mada. Yogyakarta.
Petunjuk Teknis Identifikasi dan Deskripsi Benih. 2003, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan Departemen Kehutanan, Jakarta.

Penulis : Abd. Latif Lestaluhu

Jumat, 12 Agustus 2011

Peningkatan Pengunjung di TWA Sorong (Edisi 9 2011)


Semakin hari orang semakin disibukan dengan berbagai aktivitas pekerjaannya. Begitulah yang tergambar pada masyarakat Sorong secara luas saat ini. Kota yang semakin hari semakin berkembang dengan adanya pembangunan. Kondisi pasar perdagangan yang terus melaju telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setempat. Namun dengan fenomena tersebut tentunya ada dampak negatif yang harus diperhatikan, yaitu masyarakat semakin hari semakin sibuk, jalanan semakin macet dan semrawut, hingga memicu meningkatnya jumlah tindak kriminal. Dengan melihat berbagai peristiwa tersebut, secara tidak disadari masyarakat membutuhkan ruang tersendiri untuk refreshing, salah satunya adalah TWA Sorong. Secara tidak langsung, hal itu berdampak pada peningkatan kunjungan masyarakat ke TWA Sorong. Banyak masyarakat yang refreshing ke sana. Tidak hanya untuk berwisata saja, akan tetapi banyak kaum pelajar atau yang menamakan organisasi tertentu untuk ikut mengunjungi kawasan dengan maksud yang bermacam – macam, diantaranya melakukan kemah, outbond, penelitian, survey, dll.

Profil TWA Sorong
Secara administrasi TWA Sorong terletak di Distrik Sorong Timur Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, Papua Barat. Kawasan konservasi ini mempunyai luas sebesar ± 945,9 Ha. Kawasan TWA merupakan kawasan konservasi yang dipangku oleh Seksi Konservasi Wilayah II Bidang I Balai Besar KSDA Papua Barat.
A. Fasilitas umum (sarpras) di TWA Sorong
Lokasi TWA Sorong saat ini sudah ada sebagian fasilitas umum yang terbangun, seperti shalter, jalan track di sekitar camping ground, jembatan, dan toilet. Namun sebagian besar sarpras tersebut sudah rusak. Shalter  yang sebelumnya bagus dan bisa digunakan sebagai tempat teduh, saat ini telah rusak berat tidak bisa dipakai karena roboh, bahkan puing – puingnya pun sudah hilang entah kemana.
Camping ground yang menjadi tujuan utama pengunjung saat ini telah tertata rapi. Namun masih perlu dilakukan penyempurnaan lagi. Fasilitas yang ada di camping ground adalah jalan setapak yang sudah bagus, papan informasi panduan mengenai tujuan track jalan, tempat duduk, toilet, dan shalter. Namun yang masih bisa berfungsi secara baik adalah jalur track, tempat duduk, dan papan informasi. Sementara fasilitas yang lain harus diperbaiki dan kedepan harus dirawat secara berkala.

B. Fungsi TWA Sorong
TWA merupakan kawasan pelestarian alam yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Selain itu TWA juga berfungsi sebagai kawasan yang berfungsi untuk pengawetan makhluk hidup dan sebagai tempat perlindungan kawasan/ ekosistem.
TWA Sorong tentunya memberikan kontribusi yang besar terhadap masyarakat sekitar bahkan masyarakat Sorong secara luas. Kondisi alam menjadi terjaga dan berdampak terhadap tercegahnya bencana alam seperti tanah longsor maupun banjir. Masyarakat dapat merasakan manfaatnya diantaranya yaitu sebagai tempat wisata dimana udara iklim mikronya yang terasa segar sehingga memberikan kenyamanan tersendiri. Dengan potensi sumber daya alam yang ada dan sarana prasarana yang sudah tersedia meskipun belum maksimal, tentunya TWA Sorong terbukti bisa digunakan masyarakat umum sebagai alternatif tempat rekreasi alam. Banyak masyarakat luar baik perorangan amupun atas nama organisasi tertentu yang telah melakukan kunjungan ke TWA Sorong dengan maksud yang bermacam – macam, yaitu untuk berwisata, kemah , maupun penelitian/ pendidikan. Dengan adanya intensitas kegiatan masyarakat umum yang semakin meningkat di TWA ini telah memberikan kontribusi terhadap keberadaan TWA Sorong sendiri. Adanya aktivitas tersebut telah memberikan image bagi TWA Sorong bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan konservasi alam yang semakin dibutuhkan oleh masyarakat secara umum kedepan. Oleh karena itu, kunjungan ini menjadi salah satu katalis dalam pembangunan TWA Sorong sendiri, sehingga kedepan diharapkan TWA Sorong dapat berfungsi secara optimal.

C. Jumlah Pengunjung di TWA
Berdasarkan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) Januari 2010 - Maret 2011 di Kawasan Konservasi di Papua Barat adalah sebagai berikut:



Sumber : SIMAKSI Januari 2010 – Maret 2011 Balai Besar KSDA Papua Barat

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa pengunjung di kawasan konservasi di Papua Barat sebanyak 978 orang wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Sebanyak 960 kunjungan dilakukan di TWA Sorong dengan maksud tujuan yang berbeda – beda, yaitu wisata sebanyak 85 orang, praktek/ penelitian sebanyak 82 orang, dan kemah/ camping sebanyak 793 orang.


Diagram Kunjungan di TWA Sorong Tahun 2010 dan 2011

 D. Tindak Lanjut Pembangunan Sarpras TWA Sorong
Pembangunan secara intensif sarana prasarana di TWA Sorong tentunya harus segera dilakukan untuk meningkatkan jumlah pengunjung sekaligus memberikan kenyamanan dan memenuhi keinginan para pengunjung. Dengan pembangunan ini tentunya akan memberikan keseimbangan antara fasilitas yang ada dengan antusias pengunjung. Pembangunan TWA Sorong oleh pihak swasta kedepan diharapkan dapat dilakukan oleh pihak yang berani berinvestasi disertai komitmennya tetap menjaga kelestarian sumebrdaya alam yang ada.

E. Tetap menjaga dan meningkatkan promosi
Kegiatan dalam usaha mewujudkan terciptanya pembangunan TWA Sorong sesuai fungsinya tentunya membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, terutama masyarakat. Dengan pembangunan yang melibatkan semua pihak ini diharapkan akan meringankan beban yang menjadi permasalahan pengelolaan TWA, sehingga solusinya dapat dipecahkan secara bersama – sama secara bijak sekaligus dapat mengakomodir keinginan semua pihak, terutama bagi masyarakat sekitar kawasan. Hal penting yang selalu dibutuhkan adalah promosi. Kegiatan promosi ini merupakan diseminasi ke masyarakat luas yang sangat penting untuk memberikan informasi terkait daya tarik wisata alam TWA Sorong.  Dengan promosi maka pengunjung diharapkan kedepan semakin banyak dan TWA Sorong dapat dikenal secara nasional bahkan internasional.

Penulis : Alfa Sandy Aprazah, S.Hut.

TINJAUAN BLACK BOX PENGELOLAAN EKOWISATA DALAM KAWASAN YANG DILINDUNGI (Edisi 9 2011)

A. Latar Belakang
            Ekowisata merupakan suatu perjalanan bertanggung jawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata sesungguhnya adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial (Anonim, 1993).
            Strategi untuk membuat pengelolaan ekowisata merupakan bentuk dari suatu seni yang mempergunakan kecakapan dan sumberdaya dalam mencapai sasaran program jangka panjang dengan memperhatikan kelestarian alam dan peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Strategi pengelolaan ekowisata di suatu daerah akan sangat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat maupun dalam upaya pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Ekowisata dapat mendorong perekonomian masyarakat disekitarnya, dengan cara memberikan jasa keindahan alam kepada wisatawan dimana cara ini dapat memotivasi masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan alam di Kawasan Yang Dilindungi.
            Kawasan Yang Dilindungi memiliki ciri dan karakteristik tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan ekowisata dan wisata minat khusus lainnya, dimana Kawasan Yang Dilindungi mengandung aspek pelestarian dan pemanfaatan yang didasarkan pada keanekaragaman dalam ekosistemnya. Kawasan Yang Dilindungi yang dapat berfungsi sebagai ekowisata atau ekoturism yang berbasis lingkungan adalah kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam) kawasan Suaka Alam (Suaka Margasatwa dan Cagar Alam) dan Hutan Lindung melalui kegiatan wisata alam terbatas, serta Hutan Produksi yang berfungsi sebagai Wana Wisata.
            Dalam rangka mencari model pengelolaan ekowisata dalam kawasan Yang Dilindungi perlu diketahui faktor eksternal dan internal yang merupakan entry point pengelolaan dari kawasan tersebut. Faktor eksternal dari kawasan berupa kebijakan pembangunan baik sektor kehutanan, wilayah dan pariwisata, lokasi, pengelolaan kegiatan, publikasi dan informasi, peluang usaha bagi masyarakat, pembukaan lahan, habitat flora dan fauna, flora dan fauna endemik, pengaruh budaya barat, situasi keamanan, sampah dan biaya hidup masyarakat. Faktor internal dari kawasan berupa potensi sumberdaya alam, potensi wisata, aksesibilitas, lahan, adat istiadat, SDM, sarana dan prasarana, pengusahaan ekowisata, pengelolaan kawasan topografi, SDM dan tata ruang.

B. Pengertian dan Prinsip Ekowisata
            Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan pengelolaan ekowisata juga menggunakan strategi konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami (Dephutbun, 2000).
            Ekowisata sebagai bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan serta kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata itu tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga (Anonim, 1993).
            Ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area yang masih alami, selain itu ekowisata dapat menciptakan kegiatan bisnis. Dari perspektif ini ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999).
            Prinsip pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi seyogyanya dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengelolaan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata dapat menjamin pembangunan yang ramah lingkungan (ecologcal friendly) dan tentunya berbasis kerakyatan (Community based). Terkait dengan hal ini, ada 8 (delapan) prinsip The Ecotourism Society  yang diadopsi dari Epierwood (1999) yaitu :
  1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam (Kawasan Yang Dilindungi) dan budaya masyarakat lokal;
  2. Pendidikan kader konservasi lingkungan;
  3. Mengatur pengelolaan dan pelestarian kawasan ekowisata sehingga berpengaruh langsung terhadap penghasilan atau pendapatan masyarakat setempat;
  4. Masyarakat diikutsertakan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan ekowisata;
  5. Keuntungan secara nyata dapat secara langsung di rasakan oleh masyarakat dari kegiatan ekowisata agar masyarakat terdorong untuk menjaga kelestarian Kawasan Yang Dilindungi;
  6. Menjaga keharmonisan (harmonisasi) dengan alam Kawasan Yang Dilindungi;
  7. Optimalisasi daya dukung lingkungan Kawasan Yang Dilindungi;
  8.  Ekowisata merupakan sumber penghasilan Pendapatn Asli Daerah dan Negara.
 C. Konsep dan Tantangan Pengelolaan Ekowisata
            Pengelolaan ekowisata dapat dilaksanakan dengan model pengelolaan pariwisata lainnya. Pada umumnya ada dua aspek yang perlu dipikirkan, pertama aspek tujuan wisatawan, kedua adalah aspek pasar. Aspek pasar perlu dipertimbangkan sesuai dengan sifat dan perilaku obyek serta daya tarik wisata kawasan dan budaya lokal dengan tetap menjaga kelestarian dan keberadaan kawasan.
            Pada hakekatnya konsep ekowisata bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkan alam serta budaya masyarakat, sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam tetapi hanya menggunakan jasa alam untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan. Potensi dan keanekaragamn sumberdaya alam Kawasan Yang Dilindungi merupakan salah satu peluang dan prospek untuk pengelolaan ekowisata. Namun kemampuan untuk merubah potensi yang dimiliki tersebut menjadi potensi ekonomi belum dapat dilakukan secara optimal.
            Tantangan dalam pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi adalah lemahnya kemampuan dalam pengelolaan data dan informasi tentang sumberdaya alam hayati serta ekosistemnya. Dimana data-data dan informasi tersebut merupakan dasar untuk merancang dan menyusun program ekowisata di suatu Kawasan Yang Dilindungi. Faktor lain yang dapat menunjang kegiatan ekowisata adalah sarana dan prasarana serta kualitas SDM (Mardiastuti, 2000).
            Ada bahaya melekat lainnya yang merupakan tantangan dalam mempromosikan ide kawasan yang dilindungi sebagai daya tarik wisatawan. Pertama, banyak kawasan yang penting nilai pelestariannya kecil sekali daya tariknya bagi wisatawan (misalnya hutan tropika yang luas dan umumnya rawa bakau). Kedua, apabila pengambilan keputusan mendapat petunjuk hingga menganggap bahwa eksistensi kawasan terutama adalan untuk keuntungan ekonomi, dan bila ternyata harapan itu tidak terpenuhi, mereka mungkin mulai mencari alternatif pemanfaatan lain yang lebih menguntungkan. Juga akan bahaya bila pemerintah berusaha memaksimalkan keuntungan ekonomi dari kawasan melebihi daya dukungnya, misalnya pembangunan hotel besar, jalan raya, lapangan golf yang dirancang untuk menarik lebih banyak pengunjung dapat mengurangi nilai almia dari kawasan. yang akhirnya berubah menjadi kawasan dimana tujuan utamanya lebih besar kepada masa wisatawan daripada pelestarian (McKinnon at al, 1993).
           
D. Black Box Pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi
            Pengelolaan pariwisata hutan untuk ekowisata saat ini mengacu pada Kebijakan Pariwisata Alam yang berlandaskan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 18 dan No. 13 tahun 1994 sebagai berikut  :
1.   Kebijakan Umum
            Pengelolaan ekowisata dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
2.   Kebijakan Operasional
            Untuk menjabarkan kebijakan umum yang dimaksud, maka ditetapkan kebijakan operasional pengusahaan ekowisata terlebih dahulu, antara lain sebagai berikut :
  • Pengusahaan ekowisata diserahkan kepada pihak ketiga yaitu : perorangan, swasta, koperasi, atau BUMN.
  • Pengusahaan ekowisata dilaksanakan pada sebagian kecil area blok pemanfaatan, dan tetap memperhatikan pada aspek kelestarian.
  • Pengusahaan ekowisata alam tidak dibenarkan melakukan perubahan mendasar pada bentang alam dan keaslian habitat.
  • Pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pengusahaan ekowisata harus bercorak pada bentuk asli tradisional dan tidak menghilangkan ciri khas atau identitas etnis setempat.
  • Kegiatan pengusahaan ekowisata harus melibatkan masyarakat setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi.
  • Pengusahaan ekowisata harus melaporkan semua aktivitasnya secara berkala untuk memudahkan kegiatan monitoring, pengendalian dan pembinaannya.
            Pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi diberi batasan sebagai kegitan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat serta bagi kelestarian sumberdaya kawasan yang berkelanjutan. Lima aspek utama berkembangnya ekowisata adalah (1) adanya keaslian kawasan dan budaya lokal, (2) keberadaan dan dukungan masyarakat, (3) pendidikan dan pengalaman,                            (4) keberlanjutan, dan (5) kemampuan manajemen pengelolaan ekowisata. Sementara wisata minat khusus atau alternative tourism mengandung empat aspek yang menguntungkan bagi lingkungan dan masyarakat, yaitu (1) pendidikan, (2) keberlanjutan, (3) peningkatan perekonomian, dan (4) petualangan. Kedua bentuk pariwisata ini sangat prospektif dalam penyelamatan hutan (Choy dalam Fandeli, 2000).
            Model black box pengelolaan ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi sehingga sumberdaya alam kawasan itu dapat dimanfaatkan dengan cara yang bijaksana. Pengelolaan ekowisata alam dengan budaya lokal masyarakat dapat menjamin kelestarian kawasan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Ekowisata dalam kawasan konservasi merupakan upaya untuk menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam lintas generasi.
            Menurut Rasemary (1999) dalam Fandeli (2000), pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) promosi,                    (2) penambahan paket-paket wisata, (3) memperbesar exposure, (4) menyusun data base tamu selengkap mungkin agar dapat merencanakan langkah pemasaran yang lebih akurat, (5) melakukan pemasaran yang agresif baik sendiri ataupun dengan menunjukkan agen-agen, (6) memberikan pelayanan yang baik melalui penampilan karyawannya, keramahannya, ketepatannya dan lain-lain.
            Implementasi model pengelolaan ekowisata juga memerlukan tahapan-tahapan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah, dimana upaya-upaya penelitian dasar dan terapan dikembangkan untuk mengeksplorasi baseline data kawasan dan sosial masyarakat sekitar yang tentu perlu didukung oleh seluruh stakeholder yang berkompeten. Stakeholder sektor ekowisata cukup meluas, yakni pemerintah, swasta, LSM, penduduk lokal, perguruan tinggi serta organisasi internasional yang relevan.
            Pengelolaan ekowista hendaknya dianalisis secara komprehensif dengan memperhitungkan strategi Kebijakan Pengelolaan Model Ekowisata itu sendiri. Dalam pada itu, berikut ini diagram Black Box  yang menggambarkan uraian tentang faktor-faktor eksternal maupun internal yang berupa masukan hasil evaluasi faktor-faktor yang berpengaruh dan harapan yang ingin dicapai sebagai luaran atau tujuan pengelolaan.


Gambar Simplifikasi Diagram Black Box Analisi Model Pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi

            Simplifikasi diagram black box diatas diharapkan akan menjadi model suatu Pengelolaan Ekowisata dalam Kawasan Yang Dilindungi yang terarah, terukur dan sistematis dengan memperhatikan parameter input lingkungan, input terkontrol, input tidak terkontrol, output yang diinginkan, output yang tidak diinginkan dan parameter rancang bangun. Pengembangan ekowisata di dalam dan disekitar kawasan yang dilindungi sesuai model diatas diharapkan merupakan salah satu cara terbaik untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi kawasan terpencil, dengan cara menyediakan kesempatan kerja setempat, merangsang pasar setempat, memperbaiki prasarana angkutan dan komunikasi.
            Kawasan yang dilindungi dapat memberikan kontribusi banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan.  Kawasan yang dilindungi memiliki daya tarik yang besar bagi wisatawan, mendatangkan keuntungan ekonomi yang berarti bagi negara, dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat.
            Peranan pengelolaan kawasan yang dilindungi dalam menentukan tujuan dan fasilitas wisata harus dikembangkan melalui koordinasi erat dengan otorita pariwisata regional dan nasional. Badan pariwisata diharapkan dapat memberikan bantuan dana dalam pembangunan fasilitas ekowisata di kawasan. Pengelola kawasan yang dilindungi juga harus menjelaskan kepada otorita pariwisata daerah, sejauh mana kawasan yang dilindungi dapat dimanfatkan pengunjung agar kapasitas daya dukung tidak dilampaui.
            Akhirnya dengan kecenderungan permintaan wisata alam (ekowisata) akhir-akhir ini yang semakin meningkat sejalan dengan nilai kelangkaan, estetika dan edemisme sumberdaya Kawasan Yang Dilindungi yang masih asli, maka model pengelolaan ekowisata seyogyanya perlu memerlukan suatu model pengelolaan yang integrited dan holistik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1993. Ecotourism Guidance for Planner and Manager. The Ecotourism Society. North Bennington Vermont.
Anonim, 1996. Hasil Simposium Ekotourism Indonesia. INDECOM. Gadog. Bogor.
Dephutbun, 2000. Teknik Pengelolaan dan Kebijakan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati. Proceeding. Workshop. Bogor.
Eplerwood, M., 1999. Successfull Ekotourism Business. The right Approach. World Ekotourism Conference. Kota Kinibalu. Sabah.
Fandeli, C., 1999. Pengelolaan Kepariwisataan Alam Prospek dan Problematikanya. Seminar dalam memperingati Hari Bumi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Fandeli, C., 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Mardiastuti, A., 2000. Penelitian dan Pendidikan untuk Kegiatan Ekotourisme di Taman Nasional. Makalah dalam Lokakarya Pengelolaan Ekoturisme di Taman Nasional. Cisarua. Bogor.
McKinnon et al., 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Penulis : Azis Maruapey, S.Hut., MP. (Staf Pengajar Kehutanan Faperta Unamin Sorong Papua Barat)

Rabu, 10 Agustus 2011

RAJA AMPAT GERBANG EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT (Edisi 9 2011)

Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Papua Barat yang kaya dengan sumber daya alam hayati maupun non hayati. Kekayaan keanekaragaman hayati ini, sehingga Raja Ampat banyak di kenal bukan saja di dalam negeri tetapi sampai ke manca negara. Fenomena alam yang banyak menyimpan sejuta misteri di wilayah ini, baik di Marine maupun di wilayah Teresterial memberikan nuansa alamiah yang patut dilestarikan dan dibanggakan bersama. Prosesi bentang alam (landscape) dari pesisir pantai hingga bukit dengan gugusan gunung yang menyatu memiliki keselarasan yang kuat dengan unsur-unsur ekosistem lahan basah mendominasi kawasan-kawasan konservasi. Kenaekaragaman Hayati dan potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki menyebabkan daerah ini terkenal sebagai daerah tujuan (destinasi) wisata.

I. Pemetaan Suku Di Raja Ampat
Raja Ampat dahulunya disebut Kalana Fat. Dalam bahasa suku Maya, Kalana Fat berarti gugusan kepulauan. Kata ini memang tepat menggambarkan kepulauan yang memiliki 610 pulau. Empat di antaranya adalah pulau-pulau besar: Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool. Kisah mengenai asal usul Kepulauan Raja Ampat amat menarik. Menurut cerita yang diyakini warga setempat, empat kepala adat mereka konon berasal dari empat butir telur yang menetas. Kelak setelah besar, merekalah yang mula-mula menjadi pemimpin di empat wilayah Kepulauan Raja Ampat.

Berdasarkan sejarah ketatanegaraan adat setempat, wilayah kepulauan Raja Ampat ini terbagi atas empat wilayah pemerintahan persekutuan hukum adat, atau yang biasa disebut sebagai kerajaan tradisional. Wilayah kekuasaan Kerajaan atau Suku Wage (sekarang disebut Waigeo) meliputi seluruh Pulau Waigeo dan pulau-pulau di sekitarnya kecuali kawasan Teluk Aljui dan Teluk Mayalibit. Berikutnya adalah Kerajaan Salawat (sekarang disebut Salawati). Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan meliputi Pulau Salawati sebelah utara dan Teluk Aljui di Waigeo Selatan. Kerajaan Salolof (sekarang disebut Sailolof) memiliki daerah kekuasaan di Pulau Salawati sebelah selatan, Pulau Batanta serta pulau-pulau di sekitarnya, dan Teluk Mayalibit di selatan Pulau Waigeo. Kerajaan ke-empat adalah Umsool (sekarang disebut Misool). Kekuasaan suku adat ini meliputi wilayah seluruh Pulau Misool dan pulau-pulau di sekelilingnya. Keempat kerajaan ini dikenal selalu hidup berdampingan secara damai di gugusan kepulauan Raja Ampat. Keindahan keanekaragaman hayati di Kepulauan Raja Ampat telah mulai dikenal dunia semenjak beberapa abad silam. Tepatnya sejak abad ke-19, para penjelajah dan peneliti Eropa mengarahkan perhatian pada kepulauan yang terletak di perairan kawasan timur Indonesia itu.

II. Kondisi Geografis
Kabupaten Raja Ampat adalah kabupaten yang wilayahnya sebagian besar terdiri dari gugusan  pulau pulau yang terletak pada posisi   20 25’ Lintang Utara - 40 25’ Lintang Selatan dan 1300 - 1320 55’ Bujur Timur. Kabupaten ini memiliki luas wilayah ± 6.084,5 km2. Secara administratif  batas wilayah  kabupaten Raja Ampat adalah sebagai berikut :
  •  sebelah Utara : dibatasi oleh Samudera Pasifik.
  • sebelah Selatan : dibatasi oleh Laut Seram.
  • sebelah Barat : dibatasi oleh Laut Seram, Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara
  • sebelah Timur : dibatasi oleh Distrik Sorong Barat Kota Sorong, Distrik Aimas, Distrik Seget Kabupaten Sorong dan Laut Seram.
III. Sistem Kelembagaan dan Budaya Lokal.
Di Kabupaten  Raja Ampat terdapat 3 suku besar yaitu Suku Modik yang terdiri dari suku Modik Klaba dan Karon yang mendiami Pulau Salawati, Suku Biak yang terdiri dari suku Biak, Nufor, dan Beser yang mendiami daerah Waigeo Selatan, Misool dan sebagian Salawati; Suku Amer terdiri dari suku Amer, Fiawat, Kipil, Petrip, Mayo, Kawe, dan Kaldarum yang mendiami Salawati, Misool, Waigeo Selatan dan Waigeo Utara. Tiap Sukubangsa mempunyai lembaga adat istiadat dan budaya sendiri yang berbeda satu sama lain. Ciri-ciri budaya masyarakat lokal tersebut a.l. :
§  Hidupnya berkelompok dan berpencar berdasarkan sukunya serta bergantung pada alam, sehingga hidupnya ada yang sering berpindah kecuali yang mengenal budaya modern.
§  Tali persaudaraan sesama suku yang sangat kuat.
§  Menganut sistem keturunan garis ayah dan garis ibu.
§  Mengenal kepercayaan magis.
§  Memiliki tata cara adat.

Adat istiadat suatu suku bangsa merupakan wujud dari nilai kebudayaannya, yang merupakan suatu aturan atau tatacara yang mendasari tingkah laku. Adat istiadat yang berkembang di Kabupaten Raja Ampat tergantung dari adat istiadat kesukuan yang ada dikawasan tersebut. Adat istiadat yang memberatkan warga lainnya yaitu berhubungan dengan adat istiadat untuk membayar mas kawin yang ditanggunga bersama oleh suatu keluarga suku tertentu sehingga memberatkan bagi anggota keluarga lainnya. Peran tokoh kepala suku mempunyai peran yang sangat penting dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan di kawasan Raja Ampat. Kepala Suku atau tokoh adat masyarakat lokal secara umum mempunyai wilayah adat sendiri-sendiri  sehingga perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan  melalui musyawarah. Karena tanpa musyawarah akan sulit mendapatkan kesepakatan bersama.

IV.  Perilaku Ekonomi Masyarakat.
Sektor perikanan dan pariwisata merupakan potensi terbesar yang menjadi andalan sektor unggulan (leading sector) di Kabupaten Raja Ampat, karena memberikan penghasilan terbesar jika dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya. Perilaku ekonomi masyarakat Kabupaten Raja Ampat sebagian besar bergerak dibidang perikanan umumnya sebagai nelayan baik sebagai nelayan penangkap ikan maupun di industri pengolahan ikan seperti pengeringan ikan asin, yang sifatnya masih tradisionil. Kondisi demikian menggambarkan kegiatan usaha nelayan dan petani ikan masih dalam usaha skala kecil,  dengan teknologi penangkapan ikan dan pengolahan serta budidaya yang masih rendah sehingga produktivitasnya rendah dan dengan sendirinya pendapatannya juga rendah. Disamping itu mata pencaharian penduduk juga mengusahakan industri meski baru taraf industri rumah tangga. Industri yang ada umumnya masih berbasis sumberdaya alam seperti industri pengolahan ikan asin, pengolahan rumput laut, pembuatan tepung sagu, pembuatan furniture. Disamping itu terdapat pula Usaha jahit menjahit, bengkel pemeliharaan mesin tempel kapal motor.


V.  Pentingnya Peningkatan Ekowisata di Raja Ampat
Perkembangan sektor kepariwisataan di Kabupaten Raja Ampat saat ini diharapkan dapat melahirkan konsep pengembangan pariwisata alternatif yang tepat dan secara aktif membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan segala aspek dari pariwisata berkelanjutan yaitu; ekonomi masyarakat lokal, lingkungan, dan sosial-budaya. Pengembangan sektor kepariwisataan di Kabupaten Raja Ampat  khususnya ekowisata merupakan pembangunan wisata yang mendukung pelestarian ekologi dan pemberian manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika serta jiwa sosial terhadap masyarakat.

Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika, memberikan manfaat sosial terhadap masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian kehidupan sosial-budaya, dan memberi peluang bagi generasi muda sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. Menurut The International Ecotourism Society (2002) mendifinisikan ekowisata sebagai berikut: Ecotourism is “responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of local people.” Dari definisi ini, disebutkan bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam, sehingga lingkungan, ekosistem, dan kerifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaanya.

Perkembangan Ekowisata di Kabupaten Raja Ampat diharakan merupakan suatu kegiatan wisata berbasis alam yang informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk berinteraksi langsung dengan alam, mengetahui habitat dan ekosistem, baik marine maupun teresterial yang ada dalam suatu lingkungan alam, memberikan manfaat ekonomi kepada lingkungan untuk pelestarian keanekaragaman hayati, menyediakan lapangan kerja dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal guna meningkatkan taraf hidupnya, dan menghormati serta melestarikan kebudayaan masyarakat lokal. Kegiatan Ekowisata memberikan kesempatan bagi para wisatawan Mancanegara maupun dalam negeri untuk menikmati keindahan alam dan budaya serta mempelajari lebih jauh tentang pantingnya berbagai ragam mahluk hidup yang ada di dalamnya dan budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat.

V.1.   Wisata Bahari di Raja Ampat
Kepulauan Raja Ampat sangat terkenal dengan wisata bawah airnya. Salah satu kegiatan yang paling sering dilakukan oleh para wisatawan adalah Diving. Raja Ampat terletak di segi tiga karang (Coral Triangle) yang terdiri dari Indonesia, Filiphina, Malaysia, Papua New Guinea, Jepang, dan Australia. Kondisi ini menjadikan kawasan tersebut memiliki kekayaan organisme bawah laut yang sangat besar, termasuk terumbu karangnya.

Terumbu karang yang berada di perairan kabupaten Raja Ampat pertama kali ditemukan oleh pakar terumbu karang dunia, John Vernon, pada sebuah survey yang dilakukan oleh dua lembaga konservasi dunia, Conservation International dan The Nature Conservation, pada tahun 2002. Penelitian tersebut menemukan lebih dari terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75% dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, 700 jenis moluska, dan catatan tertinggi bagi gonodactyloid stomatopod crustaceans. Ini menjadikan 75% spesies karang dunia berada di Raja Ampat. Tak satupun tempat dengan luas area yang sama memiliki jumlah spesies karang sebanyak ini.

Ada beberapa kawasan terumbu karang yang masih sangat baik kondisinya dengan persentase penutupan karang hidup hingga 90%, yaitu di selat Dampier (selat antara pulau Waigeo dan pulau Batanta), Kepulauan Kofiau, Kepualauan Misool Timur Selatan dan Kepulauan Wayag. Tipe dari terumbu karang di Raja Ampat umumnya adalah terumbu karang tepi dengan kontur landai hingga curam. Tetapi ditemukan juga tipe atol dan tipe gosong atau taka. Di beberapa tempat seperti di kampung Saondarek, ketika pasang surut terendah, bisa disaksikan hamparan terumbu karang tanpa menyelam dan dengan adaptasinya sendiri, karang tersebut tetap bisa hidup walaupun berada di udara terbuka dan terkena sinar matahari langsung. Selain terumbu karang, objek bahari yang ditawarkan juga meliputi berbagai jenis spesies ikan, mulai dari yang biasa ditemui di perairan di Indonesia, hingga yang jarang ditemui. Spesies yang unik yang bisa dijumpai pada saat menyelam adalah beberapa jenis kuda laut katai, wobbegong, dan ikan pari manta. Terdapat lebih dari 1.084 spesies ikan terdapat di daerah ini yang secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok yang dominan, yakni ikan-ikan gobi (Gobiidae), ikan damsel (Pomacentridae), dan ikan maming (Labridae). Objek bahari lain di kabupaten Raja Ampat yang menarik perhatian banyak para wisatawan adalah pantai. Pantai-pantai yang terdapat di kepulauan Raja Ampat ini berbentuk pantai berpasir putih

V.2.   Potensi Wisata Alam Berbasis Kawasan di Raja Ampat

Kejelian didalam melihat potensi wisata amatlah penting dalam mencipta keragaman alam di suatu kawasan, serta mengemasnya menjadi objek dan daya tarik wisata yang unggul, dan menarik untuk dikunjungi wisatawan. Kawasan Konservasi Teresterial di Kabupaten Raja Ampat dengan fungsi Cagar Alam, memiliki banyak sekali objek dan daya tarik wisata yang dapat ditawarkan kepada dunia luar, antara lain : panorama dan fenomena Alam yang khas dengan tipe hutan dataran rendah, keanekaragaman hayati flora dan fauna, karakteristik budaya masyarakat lokal menjadi suatu tujujan wisata yang sebenarnya menarik, nyaman serta berkesan bagi wisatawan nantinya, yang semuanya menunggu untuk dikelola bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan. Namun keindahan alam tersebut sampai saat ini dirasakan belum maksimal dikelola. Penggalian potensi wisata khususnya di kawasan Cagar Alam belum terasa geliatnya. Satu sisi pemerintah daerah Raja Ampat masih berkutat dengan pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat instant seperti bahan tambang, yang terkesan memberikan dampak yang merusak dibandingkan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat lokal.

Potensi objek dan daya tarik wisata yang masih terpendam ini menunggu seluruh komponen yang tertarik untuk menggalinya, sehingga mempunyai nilai tambah. Kolaborasi antara intitusi pengelola kawasan dalam hal ini Balai Besar KSDA Papua Barat dan Pemerintah Daerah Raja Ampat serta stake holders lainya perlu ditingkatkan.  Hal yang perlu dicermati adalah bagaimana mengemas objek dan daya tarik wisata tersebut dalam suatu konsep ekowisata yang komprehensif, dan berkelanjutan bagi kepentingan masyarakat lokal yang ada di Raja Ampat.  Melihat peluang yang dirasakan ini perlu untuk melakukan kajian pemahaman sifat dan karakter Objek wisata yang dimiliki kawasan-kawasan ini, baik secara umum maupun khusus, sehingga dapat dilakukan pengelolaan secara maksimal. Pemahaman akan sifat dan karakter objek wisata ini akan membawa dampak yang signifikan mulai dari perencanaan, pengelolaan serta upaya-upaya menggali potensi.
  
Secara umum basis pengembangan wisata minat khusus (ekowisata), meliputi :
·         Aspek alam seperti :  flora, fauna, fisik geologi, vulkanologi, hidrologi, bentang alam atau panorama alam.
·         Objek dan daya tarik wisata budaya yang meliputi budaya peninggalan sejarah dan budaya kehidupan masyarakat lokal. Potensi ini selanjutnya dapat dikemas dalam bentuk wisata budaya peninggalan sejarah, wisata kampung dan sebagainya dimana wisatawan memiliki minat utuk terlibat langsung dan berinteraksi dengan budaya masyarakat setempat serta belajar berbagai hal dari aspek-aspek budaya yang ada.

Potensi obyek dan daya tarik wisata alam yang dimiliki kawasan teresterial di Raja Ampat antara lain : keanekaragaman hayati melalui wisata Cendrawasih, keunikan dan keaslian budaya tradisional, keindahan bentang alam, gejala alam, peninggalan sejarah/budaya lokal yang secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat lokal disekitar kawasan. Beragamnya biodiversitas yang ada di kawasan Cagar Alam dan menjadi objek alam yang menarik salah satunya adalah keragaman ekosistem hutan yang membentuk suatu tipe flora dan fauna serta bentangan alam (topografi) yang unik. Keseluruhan potensi obyek dan daya tarik wisata alam yang ada merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan.
Luasan (Ha) Kawasan Konservasi di Raja Ampat :
1. Cagar Alam Waigeo Barat : 95.200
2. Cagar Alam Waigeo Timur : 119.500
3. Cagar Alam Salawati Utara : 58.412
4. Cagar Alam Batanta Barat : 16.749
5. Cagar Alam Misool Selatan : 111.476

Dari jumlah dan luasan kawasan konservasi diatas dapat dibayangkan betapa banyak potensi alam yang dapat dikembangkan, sehingga dapat diperkirakan berapa banyak jasa wisata yang bisa kita pasarkan dan tawarkan bagi dunia luar. Tahap awal yang perlu dilakukan adalah menganalisa keseluruhan dari potensi alam yang ada dalam bentuk kegiatan menemukenali potensi, baik potensi keanekaragaman hayati maupun objek daya tarik wisatanya. Selanjutnya data-data tersebut dapat ditawarkan kepada pihak investor yang beminat untuk mengelola. Pelibatan pihak swasta dirasakan cukup diperlukan. Memang disatu sisi privatisasi kurang efektif dalam peningkatan ekonomi, namun kenyataan yang ada pengelolaan yang dilakukan pemerintah selama ini terutama yang terkait dengan pengelolaan jasa lingkungan dirasakan kurang efektif dalam memenej investasi.


VI.  Perspektif Kawasan Cagar Alam Dalam Pengembangan Penataan Ruang dan Potensi Ekowisata di Kabupaten Raja Ampat.
Aspek potensi menjanjikan bahwa kawasan Cagar Alam di Kabupaten Raja Ampat menyimpan kekayaan sumber daya alam hayati yang tak diragukan dan sepenuhnya apabila dikelola dan dicermati secara bijaksana, maka sesungguhnya dapat mendukung proses pengembangan dan pembangunan di Kabupaten Raja Ampat. Tetapi dari aspek hukum, perspektif kawasan Cagar Alam sendiri terasa ada sekat dalam pengembangan potensi ekowisata yang tidak bisa terlepas dari aspek regulasi, baik Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah yang secara khusus mengupas tentang kawasan Cagar Alam. Payung Hukum (legal statment) pengelolaanya adalah  UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.

Kawasan Cagar Alam dikategorikan sebagai kawasan lindung dalam Pola Ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Raja Ampat, sebagaimana UU No 26 tahun 2007, dan ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) menurut PP 26 Tahun 2008. Pengkatagorian wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Selanjutnya UU No 41 tahun 1999 dan UU No 5 tahun 1990, menjastifikasikan Cagar Alam dalam kategori Kawasan Suaka Alam (KSA) yaitu kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Kawasan Cagar selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, yaitu satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Perlindungan sistem penyangga kehidupan tersebut ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 6 dan 7 UU No 5 tahun 1990). PP No 68 tahun 1998, menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Adapun pengelolaan kawasan konservasi disesuaikan dengan fungsinya; sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; dan untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Aspek pemanfaatan yang dapat dilakukan dalam kawasan Cagar Alam sesuai PP No 68 tahun 1998, meliputi kegiatan :
  • Penelitian dan pengembangan  (penelitian dasar dan penelitian  untuk menunjang pemanfaatan  dan budidaya),
  • Ilmu pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan dalam bentuk pengenalan jensi dan peragaan ekosistem,
  • Kegiatan penunjang budidaya dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan atau penggunaan plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan Cagar Alam.
Dengan melihat penjelasan di atas, ada catatan-catatan tertentu dalam pola pemanfaatan, terlihat ada penyempitan minat khusus dalam mendukung perkembangan ekowisata di Kabupaten Raja Ampat. Beberapa kaidah dan peran penting tersebut digambarkan pada fungsi dan pola pemanfaatan kawasan Cagar Alam. Berkaitan dengan fungsi kawasan, peran Cagar Alam dalam mendukung perkembangan ekowisata minat khusus anatara lain : Ataraksi wisata janis satwa, baik Cendrawasih maupun jenis paruh bengkok lainnya. Kedudukan Cagar Alam sebagai tabungan bagi kehidupan satwa. Adanya tumbuhan khas sangat mendukung bagi terbentuknya suasana panorama dan fenomena alam yang menjanjikan untuk aktifitas penelitian dan pengembangan serta ilmu pengetahuan dan pendidikan. 
Hal ini dapat dijustifikasikan bahwa dalam pengelolaan kawasan Cagar Alam dapat dilakukan pengembangan wisata terbatas dalam bentuk paket-paket pendidikan berupa pengenalan jenis tumbuhan dan satwa, tipe-tipe ekosistem dan pendidikan lingkungan. Selain dapat dibangun sarana-prasarana wisata terbatas, seperti : jalan setapak, trail, intepretasi, perlengkapan wisata pendidikan dan pusat informasi serta laboratorium penelitian. Guna melengkapi hal tersebut, langkah awal yang bijaksana adalah menyusun rencana pengelolaannya, sehingga semua aspek pengelolaan kawasan termasuk aspek pemanfaatan wisatanya dapat terencana dengan baik. (*danny*)

Penulis : Danny H. Pattipeilohy, S.Pi,.M.Si (Kepala Seksi Konservasi Wil.I Kab. Raja Ampat)