Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Selasa, 28 Desember 2010

MENGANGKAT KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN HUTAN LESTARI (Edisi 5 2009)


I. Eksistensi masyarakat adat, lokal, tradisional dalam pengelolaan Hutan
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat adat, lokal, tradisional yang pada umumnya tinggal dan berada di dalam maupun disekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini secara turun temurun. Pengelolaan hutan tersebut dilakukan berdasarkan kearifan, aturan dan mekanisme kelembagaan yang ada dan mampu serta teruji menciptakan tertib hukum pengelolaan, pengelolaan yang berbasis masyarakat dan pemanfaatannya berdimensi jangka panjang. Dapat dikatakan bahwa tingkat kerusakan hutan yang ditimbulkan sangatlah kecil.

Menurut data dari Direktorat Jenderal PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) saat ini terdapat sekitar 2.040 Desa di daerah penyangga kawasan konservasi yang jumlah penduduknya mencapai sekitar 660.845 keluarga. Sebagian penduduk tersebut bergantung pada sumber daya alam di kawasan hutan.
         
II. Kegagalan Pengelolaan Hutan di Indonesia
Sumber daya hutan di Indonesia sekarang berada dalam kondisi kritis. Arif Aliadi dalam Haeruman (1995) menge-mukakan pada Tahun 1970 luas hutan Indonseia 143,5 Juta hektar. Luas ini berkurang menjadi 104,6 Juta pada tahun 1990, dan pada tahun 2030 diperkirakan luasnya menjadi 61 juta hektar. Apabila dilihat dari nilai uang maka kehilangan riil dari asset berupa hutan mencapai 202 triliun rupiah pada tahun 1990 dan 422 triliun rupiah pada tahun 2030. Kondisi tersebut akan tetap buruk karena luas hutan tanaman baru pada tahun 2030 diperkirakan baru mencapai 4 juta hektar.

Pemetaan hutan yang dilakukan pada tahun 1999 oleh Pemerintah Indonesia dengan bantuan dari Bank Dunia seperti dikutip FWI/GFW (2001) menyimpulkan bahwa laju deforestasi terbesar selama periode waktu ini adalah Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan, yang secara keseluruhan kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Jika kecenderungan deforestasi ini berlangsung terus (sebagaimana telah berlangsung sejak tahun1997) hutan dataran rendah non-rawa akan lenyap dari Sumatera pada tahun 2005 dan di Kalimantan setelah tahun 2010 (Holmes 2000 dalam FWI/GWF, 2001). Perubahan kondisi hutan menjadi tata guna lahan yang lain seperti disebut diatas, baik secara langsung maupun tidak langsung, akhirnya menjadi penyebab berkurangnya keanekaragaman hayati dan kualitas lingkungan. 

Sesungguhnya untuk mengantisipasi kerusakan hutan tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya di antaranya dengan reboisasi hutan melalui program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan), upaya-upaya konservasi berupa pelestarian genetika, jenis dan ekosistem yang dilakukan dalam bentuk penetapan sejumlah kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, wisata alam dan hutan lindung. Kawasan konservasi tersebut ditetapkan untuk tujuan (a) perlindungan ekosistem (b) pelestarian sumber daya genetik dan (c) pemanfataan yang lestari. 

Program reboisasi yang dilaksanakan di kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat selalu gagal. Kasus ini menjadi menarik karena ternyata yang menjadi sumber persoalan adalah belum bertemunya dua titik kepentingan antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola. Program-program yang direncanakan dan yang sudah dilaksanakan jarang melibatkan masyarakat sebagai stakeholder pengelolaan hutan. Menurut Munggoro (1998) kegagalan mengatasi krisis lingkungan dan ekonomi telah menyadarkan berbagai pihak untuk menengok kembali apa yang disebut sebagai kekuatan lokal (empowering the local). Pada waktu yang sama, pengakuan akan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan dan menggunakan tradisinya untuk membangun hutan belum proporsional.

Kurang berhasilnya konservasi di Indonesia disebabkan oleh tidak dipertimbangkan faktor politik, ekonomi dan sosial-budaya. Aspek ekologi meliputi upaya akonservasi untuk mengatasi kerusakan alam. Secara politik ekonomi, konservasi sumber daya hutan harus dilihat berdasarkan kepentingan pusat dan daerah. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan kawasan konservasi masih ditangani oleh Pemerintah Pusat. Bagi Pemerintah daerah, sejak lama kawasan konservasi dirasakan sebagai beban karena tidak dapat menghasilkan pendapatan daerah yang signifikan. Hal ini seharusnya tidak beloh terjadi, karena bagaimanpun kawasan konservasi memiliki peran dalam pembangunan daerah, terutama dalam menjaga kelestarian sistem penyangga di seuatu wilayah administrasi. Namun demikian ke depan perlu digali potensi SDA dalam kawasan konservasi yang dapat berperan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

Secara sosial budaya, pengelolaan sumber daya hutan merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Banyak contoh menunjukkan keberhasilan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya hutan lestari. Namun, contoh-contoh tersebut seringkali terabaikan dalam mengelelola kawasan hutan. Misalnya Masyarakat yang mendiami kawasan Distrik Teluk Manyailibit, di Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat yang berada di sekitar kawasan Cagar Alam (CA) Waigeo Timur.   Pada dasarnya masyarakat di Teluk Manyailibit mempunyai sistem pengetahuan yang baik mengenai  keanekaragaman sumber daya tumbuhan dan kondisi lingkungannya secara turun-temurun.. Hal ini ditunjukkan dengan cara mereka mengenal keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut dan memanfaatkannya. Mereka mendiskripsikan bagian-bagian tumbuhan dengan baik dan memberikan penamaan di setiap bagian tumbuhan yang tentu saja sangat penting bagi mereka dalam membedakan jenis satu dengan jenis yang lainnya. Di samping itu, mereka juga mengenal dengan baik keanekaragaman kondisi lingkungan di sekitarnya. Sebagai contoh mereka mampu membedakan dengan baik berbagai macam bentuk tipe ekosistem yang ada di sekitarnya, baik yang asli maupun buatan. 

III. Kearifan Lokal dan Pengelolaan Hutan Lestari
Kelompok masyarakat tradisional yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya alam hayati dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Mereka berusaha mengenali, memahami dan menguasai agar mampu memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebelum masyarakat tersebut menerapkan teknologi adaptasi yang mereka miliki terhadap sumber daya alam hayati dan kondisi lingkungannya. Mereka mencoba mengenali karakter sumber daya alam dan lingkungan tersebut. Pengenalan, pemahaman, dan penguasaan tersebut merupakan tahapan penting bagi masyarakat tradisional yang tinggal di sekitar hutan. 

Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat selama berabad-abad. Menurut Mathias, 1995. Pengetahuan lokal dikembangkan berdasarkan pengalaman, telah diuji penggunaannya selama berabad-abad, telah diadaptasikan dengan budaya dan lingkungan setempat (lokal), serta bersifat dinamis dan berubah-ubah. Menurut Darusman dalam Suharjito (2000) kearifan lokal atau tradisional mengandung arti resultante dan keseimbangan optimum yang sesuai dengan kondisi yang ada. Kearifan lokal merupakan salah satu menifestasi kebudayaan sebagai system yang cenderung memegang erat tradisi, sebagai sarana untuk memecahkan persoalan yang sering dihadapi oleh masyarakat lokal. 

Data dan fakta lapangan yang dikumpulkan oleh para peneliti dan pegiat LSM dari berbagai pelosok nusantara telah membuktikan bahwa, wilayah adat yang pengelolaan sumber daya alamnya dikelola secara otonom oleh komunitas-komunitas adat ternyata mampu menjaga kelestarian. Realitas demikian merupakan pertanda bahwa masa depan keberlanjutan sumber daya alam di Indonesia berada di tangan masyarakat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumber daya alamnya. Sebagian dari masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh makhluk, termasuk manusia.

Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai, dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Penelitian yang pernah dilakukan Nababan (1995) di 4 provinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain :
  1. Masih hidup selaras dengan mentaati mekanisme alam dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 
  2. Bahwa suatu kawasan hutan tertentu masih bersifat eksluksif sebagai hak pengusaan dan/atau kepemilikan bersama (communal property resources) yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan dari pihak luar;
  3. Sistem pengetahuan dan struktur pemerintah adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, termasuk berbagai konflik dalam pemanfaatan sumber daya hutan;
  4. System alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh  orang luar komunitas;
  5. Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat selama ratusan tahun. Karenanya prinsip-prinsip ini pun bersifat multi dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi adat yang bersangkutan. Kalau komunitas-komunitas masyarakat adat ini bisa membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem lokal yang ada, apakah tidak mungkin bahwa potensi sosial budaya yang besar ini dikembalikan vitalitasnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan sekaligus untuk menghentikan pengrusakan terhadap masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara. Kearifan lokal yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial budaya untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan ekologis. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyakarat adat diyakini memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan ekologis di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan kritis (community based reforestation and rehabilition) dengan pohon-pohon jenis asli yang bermanfaat secara subsisten dan komersial. 

Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat diyakini mampu :
  • Mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumber daya alam lokal yang ada di wilayah adatnya (mis; community logging, community forestry, dsb); 
  • Mengatur dan mengendalikan “illegal logging” yang dimodali cukong-cukong kayu;
  • Mengurangi praktek-praktek “clear cutting” legal (dengan IPK) untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak dan tidak berkeadilan seperti IHPHH.
Daftar Pustaka
  • Aliadi,Arif. 2002 Pengetahuan Lokal Untuk Konservasi Sumber Daya Hutan. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi dan Budaya Lokal Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
  • Haeruman, H. 1995. Peranan Kehutanan Dalam Pembangunan Nasional Indonesia. Dalam E Suhendang (ed) 1995. Menguak Permasalahan Pengeloalaan Hutan Alam Tropis Di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  • Purwanto, Y. Efendi, Oscar. 2008. Etnologi Masyarakat Maya di Teluk Manyailibit, Pulau Waiego Kab. Raja Ampat. Ekspedisi Widya Nusantara. Puslit Biologi. LIPI. Bogor.
  • Anonim. 2002. Studi Hukum Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat. Kerjasama WWF dengan Institut Hukum Sumber Daya Alam (IHSA). Jambi. 

Oleh : Rachmad Hariyadi, A.Md (Penyuluh Kehutanan pada Balai Besar KSDA Papua Barat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar