Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Senin, 27 Desember 2010

Kebakaran Hutan, Sebuah Ancaman Bagi Kelestarian Sumber Daya Alam (Edisi 5 2010)

Pengantar
Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang telah berlangsung selama beribu-ribu tahun yang lalu, bahkan telah menjadi ciri hutan-hutan yang ada di Indonesia. Bukti ilmiah berdasarkan pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di Kalimantan Timur menunjukan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang kali terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu, selama beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode Glasial Kuarter (Goldamer, 1990; FWI-GFW, 2001).

Kejadian kebakaran hutan pada mulanya berskala lebih kecil dan lebih tersebar dengan frekuensi yang relatif lebih jarang dan waktu lebih panjang berbeda jika dibandingkan dengan kebakaran yang serupa pada tiga dasawarsa terakhir. Meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan ini diduga kuat karena besarnya proses deforestasi yang terjadi selama kurun waktu tersebut.

Kawasan hutan yang pernah terjamah dan dibuka berubah menjadi hutan sekunder yang memiliki kerapatan tajuk relatif lebih renggang dangan keragaman jenis lebih rendah jika dibanding dengan hutan primer. Pada hutan sekunder intensitas sinar matahari yang masuk sampai ke lantai hutan lebih besar, menjadi faktor utama terhadap meningkatnya suhu lingkungan dan penurunan kelembaban udara, sehingga hutan peka terhadap kebakaran. Pada sisi lain proses deforestasi menyisakan limbah hutan berupa potongan-potongan kayu dan ranting-ranting mati, serta menumbuhkan semak belukar yang merupakan unsur utama dalam proses kebakaran.

El-Nino dan Kebakaran Hutan
Pada tingkat makro, kondisi hutan yang rentan terhadap kebakaran tersebut, didukung oleh perubahan iklim global, yaitu fenomena iklim El-Nino. Fenomena iklim El-Nino ini menyebabkan musim kemarau dan kekeringan yang berkepanjangan melanda daerah-daerah tropis termasuk Indonesia. 

Fenomena El-Nino menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya ledakan kebakaran hutan yang tidak terkendali pada dua dasawarsa terakhir dengan rotasi tiga sampai lima (3-5) tahunan.  Dari tahun 1980 sampai tahun 2000 di Indonesia tercatat 5 kali kejadian kebakaran hutan berskala besar, yakni pada tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1993/1994, 1997/1998.

Pada tahun 1982/1983 kemarau panjang yang melanda Kalimantan antara bulan Juni 1982 dan Mei 1983 berakibat terbakar habisnya 3,2 juta hektar lahan; 2,7 juta hektar diantaranya merupakan hutan hujan tropis (2,1 juta hektar hutan sekunder dan hanya 0,6 juta hektar merupakan hutan primer). Pada akhir tahun 1987 sampai awal tahun 1988 kemarau panjang yang berujung pada kebakaran hutan melanda sekitar 0,3 juta hektar lahan di 27 propinsi dengan kerusakan yang lebih hebat. Dari luasan tesebut 80 % -nya merupakan areal bekas pembalakan. Kebakaran hutan kembali terjadi pada tahun 1991 pada 0,5 juta hektar lahan di 23 propinsi dengan fokus di Kalimantan, dan hampir 5 juta hektar lahan di 24 propinsi terbakar pada tahun 1994 (Forest & Land Fires in Indonesia; Plan of Action for Fire Disaster Management; United Nations Development Program (UNDP), September 1998, Volume 2; Slide Pelatihan Pencegaan Kebakaran Hutan 2001).


Pada tahun 1994 untuk pertama kalinya kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia menyeberang ke negara tetangga terutama ke Singapura dan Malaysia (BAPPENAS, 1999; FWI-GFW, 2001). Dengan kejadian pada tahun 1994 ini negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) mulai membicarakan kebakaran hutan di Indonesia sebagai masalah regional (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998; FWI-GFW, 2001).

Fenomina El-Nino kembali muncul pada 4 tahun kemudian yakni, pada tahun 1997/1998, dimana kebakaran hutan terjadi di 25 propinsi di Indonesia dengan fokus di Kalimantan dan Sumatera. Dilaporkan berdasar rekaman SATELIT NOAA titik api (hot spots) mulai terlihat pada bulan Juli 1997 dalam jumlah yang relatif kecil kemudian terus meningkat secara dramatis pada bulan Agustus dan September.  Api mulai reda pada bulan Desember, namun mulai muncul kembali pada bulan Januari 1998 dan mencapai puncaknya pada bulan Maret-April kemudian reda di bulan Mei 1998.

Luas lahan yang terbakar dalam kebakaran hutan tahun 1997/1998 ini mencapai hampir 9.8 juta hektar, kabut asap tebal yang dihasilkan menyelimuti areal hingga jarak 1.000 mil pada kawasan seluas 1 juta kilometer. Kabut asap juga telah mengakibatkan jarak pandang menjadi terbatas antara 20-50 meter sehingga banyak penerbangan dari dan ke daerah Kalimantan dan Sumatera dibatalkan. Bahkan penyebaran kabut asap tersebut sampai ke Singapura dan Malaysia yang berdampak pada memburuknya hubungan bilateral dengan kedua negara tersebut. 

Belum lagi hilang bekas duka kebakaran hutan tahun 1997/1998, El-Nino kembali melanda negeri ini pada tahun 2000. Kebakaran hutan kembali terjadi pada areal 2.960.000 hektar (hutan seluas 616 hektar dan lahan perkebunan seluas 12.830,76 hektar) di 7 propinsi. Walaupun luas lahan yang terbakar relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan kebakaran hutan tahun 1997/1998, namun kabut asap tebal yang dihasilkan menyebar jauh sampai ke daerah Thailand bagian Selatan.

Sejak tahun 2001 sampai sekarang, fenomena El-Nino dilaporkan belum terjadi, sehingga kebakaran hutan dan lahan relatif terkendali. Sajak tahun itu (1999-2005), rata-rata luas lahan yang terbakar hanya berkisar 11,737.14 hektar (Departemen Kehutanan; WWW/Wikipedia, 2010).

Penyebab Kebakaran Hutan
Secara umum dapat dilihat bahwa proses reaksi oksidasi exothermic yang melibatkan 3 unsur utama (oksigen, bahan bakar, api/faktor pemicu) yang terjadi di kawasan hutan dan lahan disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Dalam proses kebakaran hutan kedua faktor ini berfungsi sebagai unsur pemicu. Menurut Widodo (2005) kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia hampir 99 % disebabkan oleh faktor manusia baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan tersebut secara rinci adalah sebagai berikut: kegiatan konversi lahan menyumbang 34 %, peladangan liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan sosial 14,5 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam.

Diagram di atas memberikan gambaran bagi kita bahwa keberadaan api sebagai unsur pemicu banyak disebabkan oleh aktivitas/kegiatan manusia sementara yang disebabkan oleh alam hanya 1 % saja. Hal ini berarti pada awalnya keberadaan api pada dalam proses kebakaran hutan merupakan faktor yang disengaja oleh manusia, walaupun pada awalnya manusia tidak sengaja untuk membakar hutan (atau karena kelalaian). 

Sebagai contoh kita ambil kebakaran hutan karena api sisa api unggun saat manusia berkemah di dalam kawasan hutan dan api yang sengaja dibuat untuk membakar/mengasapi ikan/daging hasil buruan. Pada dua contoh tersebut awalnya keberadaan api disengaja dan dibutuhkan oleh manusia serta dalam kondisi terkontrol/terkendali sehingga memberi manfaat. Setelah kegiatan selesai manusia tersebut tidak mengira bahwa api yang dia tinggalkan dalam keadaan hidup, terterpa angin atau binatang sehingga menjalar kebenda-benda lain seperti rumput kering, semak dll, yang semakin lama-semakin membesar dan sulit dikendalikan.

Banyak kejadian kebakaran hutan terutama di Kalimantan dan Sumatera berawal seperti contoh di atas, namun dalam skala dan intensitas yang lebih besar, tidak hanya sekedar api unggun atau api untuk mengasapi ikan, akan tetapi api untuk membersihkan lahan dalam menyiapan lahan pada kegiatan peladangan masyarakat atau perkebunan. Dalam kejadian kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera sebagian besar api berawal dari ladang masyarakat, hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan pada saat kegiatan persiapan lahan dengan cara membakar. Dalam kegiatan pembersihan lahan tersebut dari awal api yang terbentuk memang sudah besar dan sulit dikendalikan sehingga menimbulkan api loncat dan menjalar keluar kawasan ladang atau perkebunan ke hutan sekunder dan terus menjalar ke hutan primer.

Dampak Kebakaran Hutan 
Berbicara dampak maka akan menyangkut dua hal, yaitu positif dan negatif. Dampak positif merupakan akibat dari adanya sebab yang membawa manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung dirasakan oleh manusia. Sedangkan dampak negatif diartikan sebagai akibat dari adanya sebab yang tidak membawa manfaat atau bahkan merugikan kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dampak positif kebakaran berkaitan erat dengan manfaat api dalam kehidupan sehari-hari, sementara dampak negatif merupakan hal-hal yang merugikan karena adanya api. Dalam kehidupan kita pasti terasa ada yang kurang jika tidak ada api. Jika tidak ada api maka kita tidak dapat memperoleh makanan atau minuman yang steril, kehidupan malam terasa gelap gulita dan lain-lain. Dalam kehidupan kita, api akan sangat bermanfaat manakala dia bisa kita kendalikan sehingga dapat dijadikan alat atau sarana untuk pemenuhan kebutuhan kita seperti untuk lampu penerangan, kompor dll. Sebaliknya jika api tidak dapat kita kendalikan maka bisa dipastikan dia akan menimbulkan dampak negatif bagi kita dan lingkungan kita seperti kebakaran rumah, kebakaran hutan dll.


1. Dampak positif dari kebakaran hutan dapat diperoleh dengan syarat-syarat sebagai berikut : Proses kebakaran dapat dikendalikan, artinya tingkah laku api yang tercipta dapat dikontrol secara seksama sehingga tidak menjalar atau meloncat (api loncat) keluar daerah yang dimaksud. Untuk memenuhi syarat ini maka hendaknya:

  • Tidak melakukan pembakaran pada periode yang terlalu kering.
  • Tidak membakar pada waktu angin bertiup kencang,
  • Membuat sekat bakar sebelum melakukan pembakaran.
2. Terjadi pada daerah yang tidak begitu luas. Hal ini untuk membatasi pergerakan api agar mudah dikontrol dan dikendalikan, sehingga tidak menimbulkan tingkah laku api yang ekstrim (tidak terkendali).

3. Frekuensi terjadinya kebakaran pada suatu tempat yang sama tidak terlalu sering.

Dengan demikian kebakaran pada kawasan hutan dan sekitarnya akan memberikan dampak positif jika dapat dikendalikan, tidak terjadi pada areal yang luas dan tidak terjadi pada tempat yang sama secara terus-menerus. Sementara dampak negatif ini timbul jika proses kebakaran tidak dapat dikendalikan dan keluar dari areal yang disengaja untuk dibakar, sehingga manfaat yang diharapkan berubah menjadi bencana yang merugikan dan bahkan mengancam keselamatan jiwa. Besar atau kecilnya dampak negatif ini sangat bergantung pada besar/kecilnya skala kebakaran, semakin besar skala kebakaran semakin besar pula dampak negatif  yang ditimbulkan. 

Menurut International Development Research Centre & Institute of Southeast Asian Studies Singapore, (1999) yang dikutip Departemen Kehutanan dan ITTO (2003), setidaknya kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan tahun 1997/1998 mencakup aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi, politik dan kesehatan. Sementara menurut BAPPENAS (1999) dalam FWI-GFW (2001) total kerugian dari semua aspek tersebut jika dikonversi kedalam nilai finansial mencapai angka US$ 9.298,00- juta. 

Dari angka tersebut ternyata kerugian terbanyak dialami oleh sektor kehutanan, baik berkaitan dengan manfaat hutan secara langsung (tangible) seperti nilai tegakan/kayunya dan non kayu, maupun manfaat tidak langsung (in tangible) seperti penyimpanan karbon, penanggulangan banjir, dll. Total kerugian kebakaran hutan khusus sektor kahutanan pada kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 mencapai nilai US$ 6.151,00 juta (lihat dalam tabel).

Tabel Penafsiran Nilai Kerugian Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan

Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Walau peristiwa kebakaran hutan baru tercatat sejak tahun 1982, namun sebenarnya usaha-usaha pencegahan dan penanganannya telah dilakukan jauh sebelum tahun tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen-dokumen penting kenegaraan yang mengisyarakat ada penanganan terhadap peristiwa kebakaran hutan. Dalam catatan sejarah upaya penanganan kebakaran hutan di Indonesia telah dilaksanakan sejak sebelum kemerdekaan, yaitu pada masa Pemerintah Kolonial Belanda sampai sekarang. 

Untuk lebih memudahkan penanganan secara hukum Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur penanganan kebakaran hutan. Berdasarkan Pasal 50 Huruf d, UU No 41 Tahun 1999 disebutkan “Setiap orang dilarang : membakar hutan”.  Pelanggaran terhadap pasal 50 Huruf d, tersebut di atas karena kelalaian dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 milyar.

Pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Beberapa catatan penting yang terdapat dalam PP Nomor 4 tahun 2001 adalah:
  1. Bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan kegiatan pembakaran hutan/lahan (pasal 4).
  2. Setiap orang wajib untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan atau lahan dilokasi kegiatannya (pasal 12 dan pasal 17).
  3. Setiap orang wajib melakukan pemulihan terhadap akibat dari kebakaran hutan dan atau lahan (pasal 20).
  4. Secara institusional kewenangan pengendalian kebakaran hutan dilakukan secara berjenjang, yaitu:
Menteri Kehutanan bertanggung jawab mengkoordinir pengendalian kebakaran hutan lintas propinsi dan lintas negara (pasal 23). Gubernur bertanggung jawab dalam hal mengkoordinir pengendalian kebakaran hutan lintas kabupaten  dan atau kota (pasal 27 dan 28). Pemerintah kabupaten dan kota sebagai instansi terdepan yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab secara operasional dalam pengendalian kebakaran hutan (pasal 30 dan 31).

Belajar dari peristiwa kebakaran hutan yang selama ini terjadi, kemudian pemerintah menetapkan daerah rawan kebakaran hutan dari tingkat kerawanan I sampai IV. Daerah Rawan I merupakan daerah yang sangat potensial dan atau sering terjadi kebakaran hutan dan lahan sehingga perlu penanganan lebih intensif dari Daerah Rawan II, III dan IV. Daerah rawan kebakaran hutan tersebut antara lain sebagai berikut:
  • Daerah Rawan I : Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimatntan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah;
  • Daerah Rawan II: meliputi Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT);
  • Daerah Rawan III: Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Bengkulu, Bangka, Belitung, Jawa Tengah, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku Utara, Maluku Selatan, Papua, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Gorontalo;
  • Daerah Rawan IV: Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Kebakaran Hutan dan Lahan Di Papua
Papua yang kondisi alamnya relatif lebih bagus dari pada Indonesia Bagian Barat, memiliki kondisi iklim yang relatif lebih stabil. Hampir tidak ada bulan tanpa hujan, bahkan Papua merupakan daerah satu-satunya di Indonesia yang sangat sulit dipotret oleh citra satelit karena senantiasa tertutup oleh awan/mendung. Dengan kondisi alam yang demikian, itu kebanyakan orang mengira bahwa Kebakaran hutan dan lahan tidak mungkin terjadi di Papua. Anggapan tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, kerena beberapa daerah di Papua ternyata juga rawan kebakaran hutan dalan lahan. Menurut data Bappenas, 1999, pada tahun 1997/1998 di Papua terjadi kebakaran hutan dengan luasan mencapai 1 juta ha, lebih dari 10 % dari total hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar waktu (FWI-GFW, 2001). Jika hal ini dikonversi dalam nilai uang maka kerugian atas kebakaran hutan dan lahan di Papua waktu itu yang terjadi sekitar US$ 929,80 juta atau Rp 8.4 triliun. sebuah angka yang sangat fantastis hampir sama dengan anggaran APBD Papua Barat.

Kejadian yang cukup hangat adalah kebakaran hutan yang terjadi di Kota Sorong pada akhir tahun 2009 dan awal 2010. Berdasarkan laporan Kepala SKW II Sorong, di TWA Sorong telah terjadi kebakaran hutan pada lahan seluas 2,306 ha (1.122 ha masuk dalam kawasan hutan dan 1.148 ha lahan perkebunan/ladang masyarakat). Sementara berdasarkan pantauan penulis, terlihat bahwa sebagian besar hutan dan lahan di Kota Sorong telah terbakar. Penyebab kebakaran hutan di Kota Sorong secara umum sama dengan apa yang terjadi secara nasional, yaitu kelalaian masyarakat. 

Kebakaran hutan dan lahan di Kota Sorong mungkin hanya kasus kecil dari apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Namun sekecil apapun kejadian ini harus ditangani dengan serius agar apa yang telah terjadi Kalimantan dan Sumatera tidak terulang di Papua, sehingga sumber daya alam Tanah Papua akan tetap lestari dan masyarakat sejahtera.

Sumber :
  • ----------- 2002. Alat Bantu Pengajaran Diklat Pencegahan Kebakaran Hutan, Departemen   Kehutanan dan ITTO. Bogor.
  • Keputusan Dirjen PHKA Nomor 21/Kpts/DJ-IV/2002. 2002. tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Di Indonesia. Jakarta
  • Kusumoantoro. 2004. Penyusunan Rancangan Kebakaran Hutan. Bogor. (tidak dipublikasikan).
  • Triwibowo dan Widodo. 2005. Melihat, Mendengar dan Merasakan di Dalam Hutan adalah Kunci Menjadi Rimbawan Profesional. Departemen Kehutanan dan JICA. Jakarta
  • http//id.wikipedia.org/Kebakaran Liar. 2010.
Oleh : Muhammad Wahyudi, S.Hut





Tidak ada komentar:

Posting Komentar