Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Selasa, 28 Desember 2010

CAGAR ALAM TELUK BINTUNI PENYANGGA PERIKANAN MASYARAKAT (Edisi 5 2010)

Kondisi Umum
Berdasarkan pembagian administratif pemerintahan, kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di wilayah kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat (IJB). Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten hasil pemekaran di propinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. Pada tingkat Distrik, kawasan Cagar Alam ini berada di dalam wilayah administratif Distrik Bintuni, Distrik Idoor, dan Distrik Kuri. Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam, CATB berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan Resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah KSDA III Bintuni, Bidang KSDA Wilayah II Manokwari, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat yang berkedudukan di Sorong. 

CATB terletak di bagian timur kawasan perairan Teluk Bintuni. Secara geografis terletak antara 02º.2'-2º.41' BT dan 133º.31'-134º.02' LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
  • Bagian utara berbatasan dengan areal HPH PT Yotefa Sarana Timber
  • Bagian selatan berbatasan dengan sungai Naramasa dan HPH PT BUMWI
  • Bagian Barat berbatasan dengan Sungai Wasian, dan perairan Teluk Bintuni
  • Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Distrik Idoor dan HPH PT Henrison Iriana
Berdasarkan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Provinsi dan perairan Papua, luas Kawasan CATB adalah124,850 Ha, dimana lebih 90% areal merupakan ekosistem hutan mangrove. Kawasan CATB dapat diakses dari beberapa tempat. Untuk mencapai kawasan CATB dari ibukota Provinsi Papua Barat (Manokwari) dan Sorong, dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat udara jenis Twin-Otter ke kota Bintuni (Ibukota Kabupaten Teluk Bintuni) selama kurang lebih 45 menit dan kendaraan roda empat (Toyota Hard-top) dari Manokwari dengan waktu tempuh kurang lebih 10-12 jam. Selanjutnya dari kota Bintuni kawasan CATB dapat diakses dengan dua cara, yaitu (1) menggunakan kendaraan roda empat dan roda dua ke batas utara kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 10-5 menit; (2) menggunakan perahu motor (longboat) menyusuri sungai Steenkol/Wasian ke batas barat kawasan dengan waktu tempuh kurang lebih 30-45 menit.

Nilai Ekologis
Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) pertama kali diusulkan oleh WWF pada tahun 1980-an. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan diusulkan areal ini sebagai kawasan konservasi adalah: luasan mangrove yang ada merupakan rumpun mangrove yang paling baik di Papua (Irian Jaya saat itu); Kawasan ini merupakan areal penting untuk menyangga kegiatan perikanan komersil dan industri udang yang ada; Kawasan ini merupakan habitat penting dan pusat populasi paling padat bagi berkembang biaknya jenis buaya muara (Crocoylus porosus), Di kawasan in hidup kurang lebih 160 jenis jenis burung, lebih dari 17 marsupial, dan kurang lebih 39 jenis mamalia (Petocz, 1987).

Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantaiadalah menjadi penyambung darat dan laut, serta peredam gejala-gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang, badai dan juga merupakan panyangga bagi kehidupan biota lainnya yang merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitamya. Selain itu fungsi ekologis hutan mangrove yang penting adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun Iepas pantai. Menurut Kusmana dan Onrizal (1998) pada tingkat ekosistem sebagai wetland secara keseluruhan hutan mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai (1) pembangunan lahan dan pengendapan lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4) melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan dan pelatihan.

Hutan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial di Indonesia seperti di perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya semuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan. Pada sisi lain diketahui bahwa menurunnya produksi perikanan di Bagan Siapi-api yang sebelum perang Dunia II merupakan wilayah penghasil utama ikan di Indonesia bahkan di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Noor et al. 1999).

Fungsi ekologi mangrove daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan

Fungsi ekologi mangrove daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan. Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di sekitar pohon mangrove. Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem hutan mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel partikel detritus.Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus, seperti cacing, mysidceae (udang-udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia (Sugiarto dan Willy 1995; Suhaeb 1999; Rencana Pengelolaan CATB 2005).

Penyangga Produksi Perikanan
Dengan mengetahui fungsi ekologi tersebut di atas, eksistensi hutan mangrove kawasan CATB menjadi sangat vital. Hal ini karena sebagian besar masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan CATB sangat menggantungkan kehidupan sehari-hari mereka pada hasil perikanan. Selain itu, keberadaan industri perikanan tangkap di daerah Teluk Bintuni, yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD), eksistensinya sangat tergantung pada bekerjanya fungsi ekologi tersebut di atas. 

Kegiatan di bidang perikanan merupakan cabang usaha yang dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat di Kawasan Teluk Bintuni, di samping kegiatan menokok sagu. Kegiatan nelayan di Kawasan Teluk Bintuni, terutama di Distrik Babo dan Distrik Aranday sebagian besar bersumber dari hasil tangkapan udang. Sedangkan pada Distrik Bintuni bersumber dari hasil tangkapan ikan dan kepiting.


Selain perolehan dari udang yang jumlahnya tertera dalam di atas pada beberapa Kampung di Kawasan Teluk Bintuni, Kelurahan Bintuni Timur juga memperoleh 70 kg kepiting seharga Rp 350.000 per bulannya. Sedangkan untuk pendapatan keluarga dari hasil ikan dan olahannya terlihat dalam tabel Nilai Pendapatan Keluarga Per Bulan Khusus Hasil Ikan dan Olahannya Beberapa Kampung di Sektor Perikanan di Kawasan Teluk Bintuni. Kampung Kalitami II juga menghasilkan ikan asap/asar 80 ikat per bulannya atau Rp 400.000 ditambah dengan jenis ikan asin 15 ikat atau seharga Rp 105.000. Sedangkan Kelurahan Bintuni timur menghasilkan tambahan untuk ikan asin 20 ikat atau Rp 140.000 rata-rata perbulannya. Di Distrik Bintuni (Kelurahan Bintuni Timur), umumnya nelayan menangkap ikan 2 sampai 3 kali per minggu. Hasil tangkapan setiap trip berkisar 4 sampai 10 kg, dengan harga jual Rp 6000 per kg. Selain ikan, kepiting juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan. Hasil tangkapan kepiting nelayan berkisar antara 5 sampai 12 ekor per hari, dengan harga jual per ekor adalah Rp 5.000 (Atlas Sumberdaya Pesisir Teluk Bintuni, 2003).

Selain masyarakat, ternyata juga telah berkembang industri perikanan di sekitar Teluk Bintuni. Sejak tahun 1970-an terdapat 5 perusahaan penangkapan udang yang mengoperasikan armadanya, namun sejak tahun 1990-an tinggal satu perusahaan penangkap udang yang secara intensif dan reguler mengoperasikan armadanya sepanjang tahun. Kepadatan stok udang dan ikan demersal di Teluk Bintuni masing-masing adalah sebesar 0,041 ton/km2 dan 1,059 ton/km2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua, 2001; Atlas Sumberdaya Pesisir Teluk Bintuni, 2003).

Sumber:
  • .........2003. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Teluk Bintuni, Proyek Pesisir USAID. Jakarta.
  • ...........2005. Rencana Pengelolaan Cagar Alam Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat 2005-2029. Balai KSDA Papua II. 
Oleh : Gusta Fitria Adi, S.Hut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar