Selamat Datang di Buletin Konservasi Kepala Burung (Bird's Head) Blog "sebuah Blog yang berisi artikel-artikel seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan merupakan media informasi, komunikasi, sosialisasi antar sesama rimbawan dalam menegakkan panji-panji Konservasi..."
Bagi Bapak/Ibu/Sdr/Sdri/Rekan-Rekan Sekalian yang ingin menyampaikan artikelnya seputar Konservasi atau ingin ditampilkan pada Blog ini, dapat mengirim artikel tersebut ke Email Tim Redaksi Buletin : buletinkepalaburung@gmail.com atau ke Operator atas nama Dony Yansyah : dony.yansyah@gmail.com

Minggu, 26 Desember 2010

CAGAR ALAM DAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KABUPATEN RAJA AMPAT (Edisi 2 2009)

Pendahuluan
Sektor Pariwisata menjadi salah satu sektor andalan Pemda Kabupaten Raja Ampat. Bupati, Drs. Marcus Wanma, M.Si menjelaskan sebagai sektor unggulan, sektor pariwisata perlu dikembangkan sehingga kedepannya mampu memberikan nilai tambah bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang mendiami 610 buah Pulau di Kabupaten Raja Ampat. Hal ini bukan tak beralasan, bahwa bentangan alam laut dan darat Kabupaten Raja Ampat merupakan daerah strategis bagi pengembangan pariwisata.

Pada tahun 2002, The Nature Conservancy (TNC) mengadakan penelitian ilmiah untuk memperoleh data dan informasi tentang ekosistem laut dan hutan di Kepulauan Raja Ampat. Survei ini berhasil mendata 537 jenis karang dan 828 jenis ikan serta diperkirakan di Kepulauan Raja Ampat terdapat 1.074 jenis ikan. Suatu hal yang menakjubkan bahwa 537 jenis karang tersebut ternyata mewakili sekitar 75 % jenis karang yang ada di dunia.

Melalui Survei multi taksa tanggal 4  30 Juni 2005 di Pulau Batanta, Salawati dan Waigeo (tiga dari empat kepulauan besar di Raja Ampat) para peneliti dari Conservation International (CI) Indonesia bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Cenderawasih (UNCEN), Universitas Papua (UNIPA), Balai KSDA Papua II, Museum Australia dan Pemda Raja Ampat berhasil menemukan sedikitnya 57 jenis amfibi dan reptil, 20 jenis kelelawar, 60 jenis anggrek, dan lebih dari 500 jenis pohon diPulau Batanta (sebagai focus utama), Salawati dan Waigeo. Bahkan mereka juga berhasil menemukan 8 kodok jenis baru, dan 12 jenis kelelawar baru. (Respect, No. 1 Vol. 1 Edisi 1 Januari  Maret 2009).

Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) Pusat Penelitian Biologi LIPI Tahun 2007 melakukan penelitian di wilayah Teluk Mayalibit. Berdasarkan hasil ekspedisi tersebut diperoleh jamur makroskopis sebanyak 25 famili yang terdiri dari 52 genus. Diketahui 3 diantaranya diduga merupakan jenis-jenis baru yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Mencatat kehadiran 11 taksa tumbuhan yang termasuk suku Pandanaceae, 5 taksa tergolong ke dalam marga Freycinetia dan 6 termasuk anggota marga Pandanus. Seluruh taksa pandan yang tercatat tersebut adalah rekaman baru (new records). Hasil eksplorasi tumbuhan paku diperoleh sebanyak 164 nomor koleksi yang terdiri dari 23 suku, 124 jenis tumbuhan paku. (hasil identifikasi sementara). Dikoleksi 48 nomor Piper spp. yang terdiri dari 15 jenis Piper. Selain itu dikoleksi pula 135 nomor tumbuhan tinggi.  Dari koleksi tumbuhan yang diperoleh terdapat variasi yang cukup signifikan baik famili maupun jenisnya. Beberapa famili yang banyak dijumpai pada lokasi penelitian antara lain; Rubiaceae (7 jenis), Anacardiaceae (5 jenis), Araliaceae (4 jenis), Meliaceae (4 jenis), Euphorbiaceae, Combretaceae, arecaceae dan lauraceae (masing-masing 3 jenis). Dari hasil survei herpeteofauna  didapatkan 194 spesimen, yang terdiri dari 12 jenis amfibia dan 32 jenis reptilia. Untuk kelas amfibi terdapat 1 sebagai jenis suspect new species (katak pohon hijau besar), 8 jenis new record untuk pulau Waigeo, dimana 2 diantaranya teridentifikasi sampai kategori genus saja.

Sedangkan kelas reptilia, 1 jenis suspect new species (ular), 14 jenis sebagai new record untuk pulau Waigeo dan 3 jenis teridentifikasi sampai kategori genus. Jenis-jenis burung yang berhasil dijaring 66 individu dari 28 jenis di kawasan Pulau Waigeo. Dari 28 jenis ini, 7 jenis diantaranya diduga sebagai endemik Pulau Waigeo, yaitu Megapodius freycinet, Gerygone chrysogaster, Poecilodryas hypoleuca, Pitohui ferrugineus, Melilestes megarhynchus, Oedistoma pygmaeum, Meliphaga aruensis. Salah satu jenis diataranya yaitu Paradisaea rubra, memiliki status NT (Near threatened), juga telah dimasukkan ke dalam Appendix II Cites dan telah dilindungi pula dalam PP No. 7, PP No. 8 dan UU No. 5. Tim Mamalia dari Ekspedisi Widya Nusantara di Pulau Waigeo, berhasil mengungkap 22 jenis mamalia. 13 jenis dari bangsa Chiroptera (kelelawar), 5 jenis dari bangsa Rodentia (mamalia pengerat), 3 jenis dari bangsa Marsupialia (mamalia berkantung) dan 1 jenis dari bangsa Artiodactyla. Berdasarkan hasil tersebut, 4 jenis merupakan catatan baru untuk keberadaannya di Pulau Waigeo, yaitu Pteropus conspicillatus, Macroglossus minimus, Synconycteris australis dan Aselliscus tricuspidatus. Menurut Corbet & Hill (1992), Wilson, D.E. & D. M. Reeder (1993), Flannery T (1995) dan Suyanto, et. al. (2002) jenis-jenis tersebut sebelumnya tidak dijumpai di Pulau Waigeo.

Dari 124 koleksi spesimen yang berhasil diperoleh selama ekspedisi tersebut, 1 jenis yaitu, Spilocuscus papuensis (kuskus waigeo) merupakan koleksi baru bagi Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), sedangkan 19 jenis yang lainnya merupakan tambahan koleksi jenis mamalia yang sebelumnya belum pernah diperoleh dari Pulau Waigeo. Hal ini tentunya memberikan sumbangan yang sangat berharga untuk nilai khasanah koleksi fauna dan pengembangan ilmu pengetahuan Indonesia di MZB.

Keragaman hewan ini pernah menarik perhatian ilmuwan Inggris Alfred Russel Wallace untuk melakukan penelitian. Wallece datang ke Pulau Waigeo pada 1860. Di sana ia tinggal selama tiga bulan meneliti keanekaragaman hewan, khususnya burung dan serangga. Hasil penelitian Wallace itu ditulis dalam bukunya berjudul The Malay Archipelago. 

Disadari atau tidak bahwa keanekaragaman hayati (biodiversity) tersebut di atas adalah pusat dari semua sektor yang penting bagi kehidupan manusia. Banyak diantara bahan-bahan kimia yang dikandung pada berbagai species dari keanekaragaman hayati tersebut sangat berguna bagi kesejahteraan umat manusia, diantaranya digunakan sebagai bahan pangan, sandang, papan, bahan bakar, obat-obatan, kosmetika, flavouring agents, pestisida, herbisida, fungisida, zat warna dan bahan-bahan baku industri (chemical prospecting). Kalangan industri nasional maupun internasional (industri farmasi dan agroindustri) sadar akan potensi kimiawi dan sumberdaya penghasilnya (natural resources)  dan kesadaran ini bahkan semakin meningkat dalam dua dasawarsa terakhir ini dengan berkurangnya potensi sumber daya alam yang ada akibat terjadi degradasi hutan tropis baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya (Chairul 2000).

Geliat Pengembangan Ekowisata di Kabupaten Raja Ampat
Kegiatan ekowisata di Kabupaten Raja Ampat kian berkembang dari waktu kewaktu. Hal ini dapat dilihat dari semakin bertambahnya jumlah pengunjung yang ingin menikmati keindahan alam Gugusan Kepulauan Raja Ampat baik wisatawan dalam negeri (domistik) maupun  wisatawan manca negara.  Pada tahun 2004 jumlah wisatwan yang berkunjung sebanyak 217 orang, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 746 orang (Anonim. 2006). Laporan Respect Edisi I Januari  Maret 2009 menyebutkan bahwa pada tahun 2007 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat mencapai 1033 orang (983 wisatawan manca negara dan 50 orang wisatawan domistik) dan meningkat pada tahun 2008 (sampai bulan Juni) mencapai 1124 orang (995 wisatawan manca negara dan 129 wisatawan domestik).

Meningkatnya kunjungan wisata tersebut membawa dampak positif bagi peningkatan perolehan pendapatan asli daerah (PAD). Dilaporkan bahwa pada tahun 2004-2005 sektor pariwisata hanya mampu menyumbangkan PAD sebesar Rp 45.600.000,- dan pada periode tahun 2007-2008 (sampai bulan Juli 2008) meningkat menjadi Rp 1.033.750.000,-
Jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung pada tahun 2004 berjumlah 217 orang dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 746 orang.

Geliat perkembangan ekowisata tersebut tidak terlepas dari campur tangan Pemerintah Daerah yang menempatkan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor andalan dalam upaya peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Raja Ampat. Selain itu juga didukung oleh potensi sumber daya alam yang masih utuh dan sangat beragam. Sabagai salah satu sektor andalan, Pemerintah Daerah terus mendorong perkembangan sektor pariwisata di Kabupaten Raja Ampat, bahkan Bupati Raja Ampat, Drs. Marcus Wanma secara khusus meminta kepada setiap pimpinan Satuan Kerja  Perangkat Daerah (SKPD) agar dalam program tahunannya mengakomodir kepentingan pengembangan pariwisata di Raja Ampat (Respect, Edisi I Januari-Maret 2009).

Beberapa kebijakan Pemerintah Daerah untuk mendorong perkembangan pariwisata di Raja Ampat antara lain; pembuatan data base potensi ekowisata di Kabupaten Raja Ampat, pengenaan biaya masuk melalui penjualan pin kepada wisatawan, pengembangan ekowisata berbasis komunitas, dan penciptaan produk-produk wisata yang berbasis dan ramah lingkungan/sumber daya alam dan budaya masyarakat.

Peran Cagar Alam Dalam Pengembangan Ekowisata Di Kabupaten Raja Ampat
Kekayaan sumber daya alam terestrial di Kabupaten Raja Ampat sebagaimana yang telah disebutkan hampir semua berada atau berasal dari kawasan konservasi. Hal ini tidak mengherankan karena sebagian besar kawasan terestrial Kabupaten Raja Ampat, sekitar 80 %, merupakan kawasan konservasi termasuk cagar alam. Kawasan cagar alam yang berada di-4 pulau besar di Kabupaten Raja mencapai luasan 458.867 ha, yang terdiri dari : CA. Pulau Batanta Barat (16.749 ha), CA. Pulau Salawati Utara (58.412 ha), CA. Pulau Misool Selatan (111.476 ha), CA. Pulau Waigeo Barat (153.000 ha), CA.Pulau Waigeo Timur (119.500 ha).

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa CA-CA tersebut menyimpan kekayaan sumber daya alam yang sangat luas, yang dapat mendukung proses pembangunan di Kabupaten Raja Ampat secara utuh. Kemudian timbul sebuah pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana peran CA itu sendiri dalam mendukung geliat perkembangan ekowisata sebagai salah satu sektor pembangunan andalan di Kabupaten Raja Ampat? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita tidak bisa terlepas dari regulasi, peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menyangkut kawasan konservasi khususnya CA. Beberapa peraturan yang menjadi panyung hukum dalam pengelolaan CA, antara lain: UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.

Berdasarkan UU No 26 tahun 2007 kawasan konservasi dimasukan dalam kategori kawasan lindung, yaitu wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Selanjutnya UU No 41 tahun 1999 dan UU No 5 tahun 1990, memasukan CA ke dalam kategori kawasan suaka alam (KSA) yaitu kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Sebagai KSA, CA selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, yaitu satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Perlindungan sistem penyangga kehidupan tersebut ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (pasal 6 dan 7 UU No 5 tahun 1990). Hal ini juga dijelaskan PP No 68 tahun 1998, bahwa pengelolaan kawasan konservasi (KSA dan KPA) bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Adapun pengelolaan kawasan konservasi disesuaikan dengan fungsinya; sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; dan untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pemanfaatan yang dapat dilakukan dalam kawasan CA sesuai PP No 68 tahun 1998, meliputi kegiatan:
  1. Penelitian dan pengembangan (penelitian dasar dan penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budi daya),
  2. Ilmu pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem,
  3. Kegiatan penunjang budidaya dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan atau penggunaan plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam kawasan CA.
Dengan melihat penjelasan di atas, maka terlihat bagaimana peran penting CA dalam mendukung perkembangan ekowisata khususnya di Kabupaten Raja Ampat. Beberapa peran penting tersebut digambarkan pada fungsi dan pola pemanfaatan kawasan CA. 

Berkaitan dengan fungsi kawasan, peran CA dalam mendukung perkembangan ekowisata khususnya di Kabupaten Raja Ampat antara lain :
  1. Sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; pada fungsi ini, jika terjaga baik sumber daya alam dan luasannya, CA memberikan dukung dalam bentuk perlindungan sumber daya alam yang manjadi obyek ekowisata seperti perlindungan tanah dari erosi dan longsor sehingga tidak terjadi sedimentasi di daerah hilir atau muara yang dapat merusak ekosistem pantai/pesisir, terciptanya iklim mikro, stabilnya kualitas dan kuantitas jasa lingkungan (udara bersih, air bersih estetika/keindahan alam, dan panorama alam).
  2. Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa; tumbuhan dan satwa merupakan salah satu obyek yang dapat menjadi atraksi ekowisata, bahkan terkadang merupakan ruh ekowisata itu sendiri. Pada fungsi ini CA bertindak sebagai bank dan atau rumah bagi satwa, adapun daerah tujuan/lokasi ekowisata disekitar CA merupakan daerah jelajah (home range) satwa dalam bermain dan mencari makan. Khusus tumbuhan sangat mendukung bagi terbentuknya suasana dan iklim mikro daerah tujuan wisata alam karena fungsi ekologinya. Sebagai contoh di Waiwo (Pulau Waigeo), pada pagi dan sore hari kita dapat melihat ratusan bahkan ribuan burung bayan, burung taung-taung (julang papua) yang berasal dari CA Waigeo Barat melintasi daerah ini. Daerah Waiwo merupakan daerah jelajah bagi burung bayan yang hidup di CA Waigeo Barat. Pada malam hari di Waiwo dapai dijupai kukus waigeo yang juga berasal dari CA Waigeo Barat.
  3. Untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; pada fungsi ini hanya berlaku untuk 3 aktifitas, yaitu penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan dan pendidikan serta penunjang budi daya. Berkaitan dengan fungsi dalam kawasan CA. berarti juga dapat dijadikan sebagai daerah tujuan ekowisata dengan catatan masih dalam kerangka 3 aktifitas tersebut terutama untuk aktifitas penelitian dan pengembangan serta ilmu pengetahuan dan pendidikan. 
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 22 Peraturan Pemerintah No 68 tahun 1998, yang menyebutkan bahwa kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan dilakukan dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistem CA. Dalam konteks pengenalan dan peragaan ekosistem dimungkinkan kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan di CA dikemas menjadi suatu produk ekowisata dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam kawasan CA. 

Dengan memperhatikan ketentuan tersebut di atas, terlihat bahwa sebetulnya CA selain berperan sebagai pendukung utama pengembangan ekowisata di Kabupaten Raja Ampat juga dapat berperan sebagai daerah tujuan ekowisata khususnya untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan. Pengembangan peran CA sebagai daerah tujuan ekowisata ke depan sangat potensial dan sangat bermanfaatan terutama untuk menjaring dukungan pengelolaan kawasan dan pengembangan pendidikan konservasi di Kabupaten Raja Ampat. Lebih jauh manfaat pengembangan ekowisata tersebut dapat memberikan masukan dana bagi pengelolaan kawasan konservasi CA itu sendiri dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar CA.

Tentang Pengembangan Ekowisata Di Cagar Alam (CA)
Pengembangan sebuah produk ekowisata di kawasan CA, merupakan tantangan tersendiri, mengingat persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan kawasan CA yang berkembangan selama ini tidak mendukung adanya pemanfaatan kawasan, selain untuk kegiatan penelitian. Masyarakat secara umum menerjamahkan peraturan perundangan yang berlaku sekarang menutup sama sekali kegiatan pemanfaatan kawasan CA, selain untuk penelitian. 

Hal ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang ada bahwa, ternyata regulasi yang berlaku mendukung adanya pemanfaatan kawasan CA, di luar kegiatan penelitian. Seperti yang telah disampaikan di muka, ternyata dalam kawasan CA dapat dimanfaatakan untuk kegiatan pengembangan dan penelitian, pengembangan dan pendidikan (dalam bentuk pengenalan dan peragaan ekosistam CA) dan kegiatan pengambilan plasma nutfah untuk mendukung kegiatan budi daya (sesuai dengan pasal 22 PP No 68 tahun 1998). 

Hal senada ternyata juga telah dinyatakan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) No 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung. Keputusan Dirjen PHPA tersebut menyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan CA dapat dilakukan pengembangan wisata terbatas dalam bentuk paket-paket pendidikan berupa pengenalan jenis tumbuhan dan satwa, tipe-tipe ekosistem dan pendidikan lingkungan. Untuk itu, berdasarkan keputusan Dirjen PHPA tersebut, selain sarana-prasarana pengelolaan dalam kawasan CA juga dapat dibangun sarana-prasarana wisata terbatas, seperti jalan setapak, perlengkapan wisata pendidikan, media intrepretasi dan pusat informasi serta laboratorium penelitian.

Dengan demikian maka, sebetulnya dukungan regulasi untuk pengembangan ekowisata pendidikan di kawasan CA sudah sangat mendukung. Yang menjadi tantangan kedepan adalah bagaimana mengubah imeg bahwa CA merupakan daerah terlarang untuk semua aktifitas diluar peneltian adalah persepsi yang salah. Kemudian yang juga perlu dipikirkan kedepan kesiapan institusi pengelola sendiri baik dari sisi SDM, perencana, pendanaan maupun implementasinya serta bagaimana memperoleh dukungan semua pihak dalam pengelolaan kawasan CA. Tentunya sebuah awal yang baik jika semua kawasan CA yang ada disusun rencana pengelolaannya, sehingga semua aspek pengelolaan kawasan termasuk aspek pemanfaatan untuk wisata pendidikan dapat terencana dengan baik. 

Akhirnya semoga tulisan singkat ini menjadi awal kita untuk mengelolan kawasan konservasi khususnya CA ke arah yang lebih baik, yang memadukan tiga unsur, perlindungan-pengawetan, pengembangan-penelitian dan pemanfaatan secara lestari.

Oleh : IKG. Suartana, S.Hut, Muhammad Wahyudi, S.Hut, Rachmad Hariyadi & Isman Tambing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar